Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Menahan erosi tanpa terasering

Disertasi Ny. Nurpilihan Hilmansyah dari UNPAD membahas penanggulangan erosi tanpa membuat terasering dengan mengambil lokasi penelitian di Arjasari, Bandung. Bisa mengatasi endapan lumpur & ekonomis.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAHORI, 50 tahun, bersemangat mencangkul lahannya. Ia membikin terasering - disebut juga teras miring atau "sengked" alias naraje. Petani dari Kampung (Cipeuteuy, Desa Mekar Asih, Kecamatan Malangbong, Jawa Barat, itu mempraktekkan hasil kursusnya yang diselenggarakan dinas pertanian setempat, lima bulan silam. "Supaya kami tahu bagaimana cara mengawetkan tanah, dan agar tidak longsor," ujar ayah tujuh anak itu. Karena itu, ia mengolah tanah miring itu lebih dari setengah hektar. Ia yakin terasering itu sangat bermanfaat. Lain dengan petani di Indramayu yang Juga di Ja-Bar itu. Akhlr bulan bulan lalu mereka temu wicara dengan Sekretaris Badan Pengendali Bimas, Dudung Abdul Adjid. "Ke mana kami harus membuang lumpur ini, Pak?" tanya seorang petani. Pertanyaan yang mendasar itu muncul karena di areal pertanian terasering mereka, yang di bawah itu, terjadi pengendapan lumpur. Persawahan di sana memang gawat, hingga ada petani mencarter truk untuk mengangkut bongkah tanah itu ketika musim kemarau. Ini bisa terjadi karena banyak pohon dan hutan di sana dicukur tangan jail, tanpa menghijaukan kembali. Sehingga, ketika hujan datang, tak ada akar yang menghalangi air mengangkut tanah. Apalagi erosi itu seperti didukung terasering yang kemiringannya di atas 30% - terjadi pada 23 % dari sekitar 483 ribu ha areal pertanian di Wilayah III Cirebon. Lahan jadi kritis. Ada yang tergolong berat, sedang, dan ringan. Di Cirebon, Kuningan, Majalengka - seperti diberitakan harian Pikiran Rakyat, Bandung - kekritisan itu hampir 136 ribu hektar. Lahan berlumpur itu bisa terelak jika penggarapan teraseringnya tak ceroboh. Soal pengolahan tanah miring itu sudah dua tahun terakhir ini diteliti Nurpilihan Hilmansyah. Sarjana pertanian Unpad, Bandung, yang juga dosen itu, pekan lalu mempertahankan disertasi doktornya, berjudul Keefektifan Kombinasi Strip Kontur Rumput dengan Pola Tanam dalam Mengendalikan Erosi pada Berbagai Kemiringan Lahan. Ibu tiga anak itu lulus dengan "sangat memuaskan". Dalam penelitiannya, ia melakukan percobaan di Desa Arjasari, Kabupaten Bandung, dengan variasi kemiringan lahan 8%, 16%. dan 24% tanpa membuat terasering. Pada ketinggian tertentu yang sama (kontur) ia menanam rumput bahia, Paspalum Notatum, dengan lebar sekitar 20 cm. Lalu di bawahnya dan di atasnya ditanami jagung pola tanam tunggal--selebar sekitar 4 m. Ia juga menerapkan pola.tanam ganda, tetap sesuai dengan konturnya, misalnya jagung, kacang tanah, pagi gogo. Di setiap tahap penelitian terdapat 18 kombinasi perlakuan, dan masing-masing tiga kali. Sehingga, semua penelitiannya mencakup 54 petak dengan lahan 6.000 m2. Hasil penelitian Nurpilihan: pola tanam yang diberi setrip rumput dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Sistem pola tanam ganda bisa menutup tanah lebih banyak daripada pola tanam tunggal jagung. Tingkat erosinya, pada tahap enam bulan pertama percobaan Nurpilihan - yang dimulai Juni 1984 -- mencapai 11,8 ton/ha, 22,5 ton/hal 26 ton/ha, masing-masing pada kemiringan 8%, 16%, dan 24%. Percobaan ini dengan pola tanam tunggal jagung tanpa setrip kontur rumput. Erosi ditekan lagi pada enam bulan kedua yang berakhir Juni 1985, dengan menerapkan pola tanam ganda yang bersetrip kontur rumput. Kesimpulannya: dengan urutan kemiringan dari bawah, tingkat erosinya hanya 6,4 ton/ha, 11,7 ton/ha, dan 15,1 ton/ha. "Dari analisa tersebut tampak keefektifan setrip rumput untuk menahan jumlah aliran air di permukaan, hingga tanah punya waktu meresapkan air," tutur Nurpilihan, 39 tahun. Bila prestasi itu teruji di areal yang lebih luas, jelas, ini mampu mengatasi pengendapan lumpur dan mengendalikan erosi, yang, menurut Dudung tadi sekitar 1.000.000 m3 (lebih dari I juta ton) untuk tiap hektar, per tahun. Keuntungan lain dari hasil penelitian Nurpilihan bisa dilihat dari segi ekomonisnya dan petani juga mudah mempraktekkannya. "Itu lebih murah karena secara teknis lahan tidak terganggu," ujar wanita kelima yang meraih doktor di Fakultas Pertanian Unpad itu. Maksudnya, petani tak perlu susah payah membentuk terasering. Dan itu perlu pengertian yang tepat, selam pengawasan yang lebih baik. Penanggulangan erosi seperti itu, yang bisa menghidari endapan lumpur di bagian bawah suatu lahan miring seperti pegunungan, kata Dudung- bisa sebagai alternatif. "Penelitian itu dapat memberikan tambahan data yang sangat penting," ujar Prof. Dr. Ir. Gunawan Satari, Ketua Program Studi Teknik Tanah dan Air Fakultas Pertanian Unpad. Ia juga pembimbing Nurpilihan yang menjadi Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian itu. Gunawan Satari menganggap hasil penelitian itu termasuk baru di Indonesia. Kondisi lahan seperti di Indramayu itu memang telanjur mengendap lumpur. Dan membuangnya iuga tidak tahu ke mana, karena tak ada lagi tempat yang lebih rendah. Ini belum dihitung ongkos ekstra yang dikeluarkan para petani. "Kita belum pernah punya program untuk itu," kata Dudung, yang semula memang tak mengira muncul masalah itu. Paling-paling petani diminta agar tidak menggarap, menggaru misalnya, pada saat lahan masih digenangi air. Soalnya, kata Dudung, itu juga bisa "menyumbang" lumpur ke sawah di bawahnya - ketika air dialirkan. Ini berarti lahan terasering bagian bawah yang digarap petani terus jadi "korban" pengendapan lumpur. Sedangkan di bagian atas, seperti dikatakan Nurpilihan, erosi tanah permukaannya (top soil) masih berlangsung. Sedangkan untuk memulihkannya, butuh waktu 300-1.000 tahun lagi. Beda dengan yang di Prancis. Menurut Moch. Ayat Wrekaspathy, Kepala Biro Pengendalian Produksi Tanaman Pangan dan Hortiklultura, Departemen Pertanian, di sana setiap enam tahun sekali ada penataan lahan pertanian yang diendap lumpur seperti di Indramayu itu. Suhardjo Hs. (Jakarta), Ida Farida & Hasan Syukur (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus