Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyiasati gaji suami

Pemda Sukabumi membuat sayembara pengumpul lampiran (strook) gaji terbanyak. Untuk mengetahui apakah gaji suami sampai ke tangan istri. Ada gejala karyawan menyunat gaji, sebelum diserahkan ke istri.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH sayembara yang rada unik telah diselenggarakan di lingkungan Sekretariat Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sukabumi. Sayembara diadakan khusus untuk mencari pengumpul strook gaji terbanyak, selama lima tahun belakangan. Dan sebagaimana layaknya sebuah sayembara, hadiahnya juga ada: Rp 50.000,00 untuk pemenang pertama, Rp 30.000,00 bagi pemenang kedua, dan Rp 20.000,00 untuk pemenang ketiga. Boleh percaya boleh tidak, lomba itu merupakan ikhtiar pemerintah daerah untuk menegakkan disiplin. Begitulah yang tercantum pada pengumuman sayembara, yang ditandatangani Sekretaris Wilayah atas nama Bupati. Para karyawan terkejut. Mereka bertanya-tanya, tapi ada juga yang menyesal. "Biasanya strook gaji itu saya buang ke tempat sampah, karena saya pikir tidak ada artinya," kata seorang karyawan yang keberatan namanya disebutkan. Kebiasaan melenyapkan lampiran gaji, agaknya, sudah umum di kalangan pegawai. Hal inilah yang menarik perhatian pihak penyelenggara. Tapi mengapa strook gaji begitu penting ? Ternyata, ada kisah di baliknya. Pada suatu ketika, seorang istri karyawan Pemda Sukabumi datang menghadap kepala bagian keuangan, Wahyu Hidayat. Istri itu mengeluh. Ia tidak mengetahui berapa persisnya gaji sang suami, karena jumlah gaji yang dlterimanya setiap bulan berubah-ubah. Merasa tak dihargai dan menduga suaminya menggelapkan gaji, si istri lalu melaporkan ulah suami. Wahyu kaget juga mendengar cerita itu. Dan ia lebih terkejut, ketika yang bersangkutan mengaku terus terang telah "menggelapkan" sebagian gajinya. Dalam kata lain, ia tidak menyerahkan seluruh gaji kepada sang istri. Wahyu khawatir. Jangan-jangan peri laku suami semacam ini cukup banyak di lingkungan kerjanya. "Ini menunjukkan ada disharmoni antara suami dan istri," kata Wahyu serius. "Sejak itu saya berusaha mencari cara bagaimana menghilangkan kebiasaan itu." Selang beberapa lama, Wahyu sampai pada kesimpulan bahwa bagian penting dari modus operandi penggelapan gaji adalah melenyapkan lampiran gaji. Bukankah di situ tercantum dengan akurat berapa gaji seorang karyawan? Dari kesimpulan itulah muncul gagasan, untuk menyelenggarakan sayembara lampiran gaji. "Ini semacam uji coba untuk menilai, ada tidaknya keharmonisan dalam keluarga, yang bisa dilihat dari apakah gaji suami selamat sampai ke tangan istri," katanya. Ide Wahyu tanpa kesulitan disetujui Bupati. Alasannya: perlu ada pendidikan penegakan disiplin. Karyawan dirasakan perlu menyadari pentingnya kecermatan menjalankan administrasi. "Strook gaji sangat berguna sebagai bukti administrasi, bila suatu kali diperlukan," ujar Wahyu lagi. "Karena itu, perlu dikumpulkan." Ketika sayembara ditutup dan hadiah akan diundi pertengahan Januari lalu, ternyata, tidak banyak karyawan yang punya minat mengoleksi lampiran gajinya. Dan 519 karyawan Kantor Sekretariat Wilayah, hanya 8 orang yang terjun mengikuti sayembara. Itu pun cuma 7 yang terkategori "suami" karena seorang di antaranya peserta wanita--partisipasinya memang tak bisa ditolak. Sayembara pun dinyatakan kurang sukses dan pengundian hadiah dibatalkan. Hadiah yang total Rp 100.000,00 akhirnya dibagi rata. Semua peserta yang cuma 8 itu pun kebagian rezeki. Hitung-hitung penghargaan bagi ketertiban beradministrasi, yang mereka jalankan selama ini. "Ini menunjukkan sebagian besar karyawan tidak memiliki disiplin dan ketertiban administrasi," ujar Wahyu kecewa. Tapi ia tak merasa terlalu gagal karena kini, katanya, para istri karyawan mulai kasak-kusuk, mempersoalkan gaji suami mereka. "Paling tidak kini mereka punya alasan untuk menanyakan strook gaji suaminya," ujar lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran tahun 1980 itu. Merasa belum kalah, Wahyu berencana menyusun peraturan yang mengharuskan istri ikut menandatangani lampiran gaji. Dalam penilaian Wahyu, Kosasih, S.H. Kepala Bagian Hukum Pemda Sukabumi - yang memasukkan 60 strook gaji - adalah tipe suami yang ideal. Pemenang sayembara memang Kosasih. Dialah kolektor lampiran gaji yang sejati, karena pria ini tak melihat ada alasan kuat untuk memusnahkan barang bukti itu. "Sejak saya menikah di tahun 1969 seluruh gaji saya serahkan kepada istri," katanya. Gaji, menurut argumentasi Kosasih, adalah "uang perempuan", sementara "uang lelaki" adalah hasil ngobyek. Apakah uang lelaki itu disimpannya sendiri? "O, tidak, saya serahkan juga pada istri saya," jawabnya. Sikun Pribadi, psikolog dan pemimpin Sekolah Tinggi Istri Bijaksana di Bandung, berpendapat, kecenderungan suami mengaburkan jumlah gajinya bisa juga dilihat sebagai usaha membatasi keborosan istri. "Tetapi ini tetap saja tidak baik," katanya, "sebab hubungan suami dan istri seharusnya terbuka." Untuk menciptakan keluarga yang harmonis dengan hubungan terbuka tadi, harus ada kejujuran. Menyembunyikan sesuatu, jumlah gaji atau lainnya, sudah termasuk permainan pat-gulipat. Di sini Sikun secara tak langsung ingin mengatakan bahwa pat-gulipat yang menyangkut gaji terutama benar-benar perbuatan tak terpuji. Dan dalam konteks pembangunan sekarang, hal seperti itu jelas melemahkan disiplin nasional. Waduh. Agung Firmansyah, Riza Sofyat (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus