AJAL di tangan Tuhan, begitulah agama mengajarkan, namun bicara soal umur, para psikolog Amerika menawarkan resep baru. Kata mereka, bila Anda ingin panjang umur, jadilah orang yang berpandangan optimistis. Saran ini dikemukakan tim psikolog dari Universitas California dan Universitas Michigan, Amerika Serikat. "Mereka yang terlihat punya kecenderungan pesimistis pada usia 20 tahun kebanyakan menderita penyakit berat pada usia 40 tahun dan meninggal pada usia 50 tahun," ujar Christopher Peterson dari Universitas Michigan - salah seorang dari psikolog itu. Pakar ilmu jiwa dari kedua universitas itu baru saja meneliti hubungan antara kondisi kejiwaan seseorang dan sejumlah penyakit berat. Kini rangkaian seminar dan konfirmasi studi dari sejumlah universitas lain sedang dilakukan, dan kesimpulannya diharapkan bisa dipublikasikan dalam The Journal of Personality and Social Psychology Juni mendatang. Kesimpulan itu ditunggu banyak kalangan, karena hubungan antara kondisi kejiwaan dan penyakit memang dipertanyakan santer pada dekade terakhir ini. Khususnya setelah angka penderita jantung meningkat, dan stres diduga menjadi salah satu penyebab utama. Hubungan antara jiwa dan proses organik tubuh sebenarnya sudah lama dikenal dalam psikiatri. Kondisi hormonal dan senyawa-senyawa kimia pada otak yang mempengaruhi keadaan fisik diketahui sangat dipengaruhi kondisi kejiwaan. Kadar hormon adrenalin dalam darah misalnya, belakangan diketahui secara otomatis meningkat bila seseorang dilanda stres. Juga, reaksi senyawa-senyawa otak yang tercermin pada kondisi fisik terbukti berkaitan dengan aktivitas pikiran. Produksi morfin tubuh - yang merupakan pertahanan menghadapi rasa sakit dan guncangan bisa terpompa melalui khayalan. Sementara itu, senyawa otak serotonin, yang mempengaruhi selera makan, merosot jumlahnya ketika seseorang mengalami depresi. Disorganisasi hormon dan senyawa-senyawa otak akibat kondisi psikologis sudah lama pula diketahui menjadi penyebab potensial berbagai penyakit di sekujur tubuh. Namun, bagaimana disorganisasi itu terjadi, dan kemudian menimbulkan penyakit, tak pernah terungkap dengan jelas. Paling akhir dilakukan penelitian intensif mencari hubungan antara disorganisasi hormon - juga keadaan psikologis yang menyebabkannya - dan satu saja penyakit tertentu. Maka, penyakit jantung, kerusakan lambung yang dikenal sebagai peptic ulcer, arthritis (radang persendian), asma, dan sakit kepala kronis diteliti secara khusus. Semua penyakit ini diketahui,berkaitan langsung dengan kondisi psikologis. Namun, sejauh ini berbagai penelitian belum menunjukkan kesimpulan yang konsisten. Menghadapi jalan buntu, dua psikolog Universitas California mendapat gagasan untuk menerapkan meta-analysis - sebuah metode baru dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, yang bisa memadukan kesimpulan dari beberapa penelitian yang dikerjakan dengan metode berbeda-beda - untuk mencari terobosan. Dua psikolog itu, Dr. Howard Friedman dan Dr. Stephanie Booth Kewley, mencoba merangkum kesimpulan dari 101 penelitian yang sudah ada. Akhirnya diperoleh kesimpulan penting. Menurut mereka, kondisi kejiwaan yang direkam pada jangka pendek ternyata tidak bisa diJadikan patokan. Di samping itu, kondisi psikologis juga tidak berhubungan langsung dengan suatu penyakit tertentu. Kesimpulan penelitian ini secara tak langsung menyangkal teori lama yang mengatakan bahwa stres adalah penyebab utama penyakit jantung. Faktor kejiwaan yang mengakibatkan tubuh menjadi rentan terhadap semua jenis penyakit bersumber dari kepribadian neurotis yang terbentuk dalam proses panjang. "Faktor kunci pada kepribadian neurotis itU adalah rasa pesimistis yang dibayangi kegelisahan panjang," ujar Friedman. Psikolog ini menyatakan, pesimisme berkaitan dengan kecenderungan berpikir negatif dan fatalistik - hampir semua kenyataan jadinya terlihat hitam. Akibatnya, orang dijangkiti rasa bermusuhan yang tak putusputus, rasa sedih berkepanjangan, dan rasa tertekan yang tak habis-habisnya. Hal ini bisa dilihat pada sebuah dokumen yang merekam wawancara, pada tahun 1939-1944, dengan sejumlah alumni Universitas Harvard yang berusia 20-an. Pada rekaman yang terbilang lengkap itu, mudah dikategorikan mana pandangan yang pesimistis dan mana yang optimistis. Evaluasi yang dilakukan Christopher Peterson berdasarkan dokumen itu menunjukkan dengan jelas, pada umur 30-40 tidak terlihat perbedaan kesehatan yang mencolok, antara kelompok yang optimistis dan mereka yang berpikir pesimistis. Namun, perbedaan menjadi nyata ketika usia mencapai 40-an. Kesehatan mereka yang bersikap fatalistis merosot, dan berbagai penyakit mulai menyerang. Kesimpulan ini menjadi lebih kukuh ketika mereka yang berpikir pesimistis itu sebagian besar meninggal pada usia 50-an. Menurut Peterson, kerentanan kaum pesimis ini berkaitan langsung dengan sistem kekebalan tubuh. Kesimpulan ini didapatnya setelah meneliti data penderita psikosomatis - gejala penyakit fisik yang berpangkal pada kondisi kejiwaan - pada Institut Kesehatan Nasional AS. Peterson menemukan bahwa penderita psikosomatis yang terkategori neurotis dan punya indikasi berpandangan pesimistis ternyata juga mempunyai frekuensi perawatan yang tinggi untuk semua jenis penyakit. Lebih gawat lagi, penyakit itu tidak cuma satu, tapi bermacam-macam, dari yang ringan sampai berat. Mereka yang benar-benar menderita khususnya kelompok umur di atas 40. Dua psikolog dari Institut Nasional untuk manula (manusia lanjut usia), Paul T. Costa dan Robert R. McCrae, memperkuat kesimpulan Peterson. Dalam sebuah proyek penelitian, mereka mengamati dengan cermat perkembangan kesehatan serta kondisi kejiwaan 347 orang dewasa berjiwa rapuh umumnya akibat takut menghadapi masa tua. Kepada mereka dilakukan pengecekan kesehatan dan psikotes secara tetap, selama kurun waktu 20 tahun. Hasilnya, 294 orang yang meninggal selama penelitian dilakukan tercatat memiliki sejarah ketegangan hampir sepanjang hidup. Mereka, menurut kedua psikolog itu, memang orang pesimistis. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini