Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Komoditi nan sakti

Apkindo melakukan gebrakan. Ekspor kayu lapis ke Jepang meningkat yang menyebabkan industri kayu lapis di Jepang banyak yang bangkrut. Terobosan ekspor ke RCC agak terhambat.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pengusaha kayu lapis Indonesia, rupanya, semakin piawai berdagang kayu di Negeri Samurai. Buletin Japan Lumber Reports edisi 30 Januari lalu menurunkan berita utama berjudul cukup seram, "Perang kayu lapis antara Indonesia dan Jepang." Isinya melaporkan indutri kayu lapis di sana, yang kini terpukul babak belur. Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Bob Hasan mengakui hal itu. "Pabrik di Jepang kini tinggal 108, dahulu ada 450 buah," kata Bob tak menyembunyikan rasa bangganya. Di dua negara naga lainnya, industri kayu lapis juga hampir tak berkutik. Di Korea dahulunya ada 60 kini tinggal 6 pabrik, di Taiwan susut dari 100 menjadi 25. Tutupnya pabrik-pabrik ini bukan hanya karena kebijaksanaan pemerintah yang menyetop ekspor bahan baku kayu gelondongan ke sana. Tapi mesti diperhitungkan juga gebrakan Apkindo yang bagaikan terjangan DewiMantili nan sakti. Ekspor kayu lapis Indonesia ke sana, dalam empat tahun terakhir menebal sepuluh kali lipat. Pada 1984 baru 97.000 m3, tahun silam sudah mencapai 1.223.000 m3. Berarti pangsa pasar kayu lapis Indonesia di sana memuai dari 1,36% menjadi 14%. Buletin Jepang itu mengakui pengusaha Indonesia cukup gesit. Padahal, tidak ada lagi fasilitas sertifikat ekspor. Yang cukup mengagumkan Jepang ialah peraturan Apkindo, yang mengancam denda US$ 50 per m3 kepada industri kayu lapis yang tidak bisa membuka 30% pasar baru. Selain itu, para produsen Indonesia dinilai mampu menjual lebih murah rata-rata 800 yen per lembar dengan mutu sesuai dengan standar Jepang. Kayu lapis Indonesia yang berukuran 900 mm X 1.800 mm X 11,5 mm, cukup kuat untuk dipakai sebagai lantai dan plafon rumah-rumah Jepang. Dewasa ini produksi kayu lapis Indonesia mencapai 85% dari produksi dunia, sebab itu pantas kalau Apkindo berambisi menguasai pasar dunia. "Saya sudah menganjurkan agar mereka menutup saja pabrik-pabrik kayu lapisnya. Sebaiknya mereka masuk ke industri teknologi tinggi, biar kita yang memegang industri kayu," kata Bob. Tapi jalan ke sana tak senantiasa mulus. Konsumen Jepang masih lebih suka memakai produk Jepang sendiri. Karena itU Apkindo belum menyusun target muluk-muluk. Tahun ini, kebutuhan kayu lapis di Jepang sekitar 7 juta m3 dan Apkindo ingin memasok 1,8 juta m3 atau 25% pasar Jepang. Tahun silam, ekspor kayu lapis Indonesia ke sana berjumlah 1,7 juta m3, senilai US$ 514,2 juta. Di tengah pertarungan itu, terbetik berita bahwa dobrakan ke pasar RRC agak terbentur. Sebuah sumber dari Departemen Perdagangan mensinyalir, kontrak dengan RRC yang diteken Oktober tahun silam terancam mandek, sehingga Apkindo harus banting harga. Menurut kontrak setiap tahun Indonesia akan mengekspor 1,2 juta m3--1,5 juta m3 kayu lapis, selama tiga tahun. Dua tahun silam, sewaktu RRC masih dikuasai pedagang perantara dari Hong Kong, para pengusaha hanya bisa mendapatkan harga sekitar US$ 215. Setelah hubungan dagang dibuka, ada 108 anggota Apkindo mendapatkan pesanan, dengan harga sesuai dengan pasar dan ditinjau tiga bulan sekali. Sinyalemen itu dibantah Bob Hasan. "Itu nggak benar. Juga tak benar bahwa kita terpaksa membanting harga untuk masuk ke RRC. Mereka malah terus merayu mau beli dari kita," katanya meyakinkan. Bantahan juga datang dari seorang dirut sebuah industri kayu lapis. "Yang dimaksud, mungkin, ekspor ke RRC berjalan agak lambat. Tetapi hal itu teknis saja. Misalnya soal pembayaran terlambat, sehingga terjadi saling tunggu," kata sumber TEMPO. Untuk melancarkan transaksi, Apkindo telah membuka kantor cabang di Hong Kong, tapi belum juga menemukan mekanisme yang cepat. "'Kan masih baru. Tentu saja repot untuk menangani jutaan m3 kayu dari 108 perusahaan," kata Bob. M.W., Linda Dajalil, Budi Kusumah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus