WISATAWAN tidak hanya mendatangkan devisa, tapi dapat juga mendatangkan petaka. Setelah Departemen Kesehatan dibuat dag-dig-dug dengan kasus AIDS yang dibawa turis Belanda di Bali belum lama ini, kini giliran pihak Departemen Pertanian untuk waswas. Turis dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan kini diterima dengan waspada. Soalnya, mereka bisa menjadi pembawa penyakit hawar daun Amerika Selatan atau karat daun pada tanaman karet. "Wisatawan itu memang menarik, tetapi sekarang ada bahayanya," kata Menteri Pertanian Achmad Affandi. Karena itulah, Mentan segera pasang kuda-kuda. Usai menghadap Presiden Soeharto Senin pekan lalu, Affandi mengumumkan, setiap orang yang masuk Indonesia harus menglsl formulir karantina yang mengatakan bahwa 30 hari sebelum tiba di Indonesia mereka tidak berada di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Soalnya, dikawasan Ini penyakit yang ditakuti itu masih merajalela. Tindakan berjaga-jaga ini sangat beralasan: tanaman karet adalah penyumbang devisa US$ 1 milyar, atau nomor tia di bawah minyak bumi dan kayu lapis. Penyakit hawar daun Amerika Selatan atau South Amerian Leaf Blight (SALB) yang populer dengan sebutan Karat Daun tergolong musuh bebuyutan tanaman karet. Penyakit yang disebabkan cendawan Microcyclus Ulei ini pertama kali ditemukan sekitar tahun 1900 pada tanaman karet di Brasil. Penyebarannya cepat. Pada 1916, penyakit ini sudah menyebar di seluruh negara asal karet Itu, lalu menyerbu ke seluruh Amerika Selatan dan Amerika Tengah. "Kisah perjalanan panjang yang ditempuh oleh penyakit SALB inilah yang membuat kita harus waspada," kata Ir. A. Hidir Sastraatmaja, 60 tahun, staf senior Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan IPB. Tanaman karet yang ada di Indonesia sekarang ini berasal dari Brasil, yang dibawa oleh Wickham sckitar abad XIX. "Jenis tanaman karet di Indonesia termasuk klon yang rentan. Maka, perlu waspada," kata Ir. Tarang, staf Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan, Deptan. Penyakit SALB merupakan penyakit yang pahng dltakutl para petam karet. Spora ccndawan Microcyclus Uleidiscbarkan melalui angin, tetesan air hujan, atau terbawa oleh manusia. "Ditaksir sekitar 80% produksi karet alam dunia akan hancur jika penyakit SALB sampai ke Asia Tenggara, karena iklimnya sesuai dan klon-klonnya rentan," kata Tatang. Akibat serangan ini, pertumbuhan tanaman terhambat. Makota pohon jarang, jumlah daun sedikit, sehingga lilit batang akan kerdil. Akhirnya, tanaman akan mati. "Kalaupun hidup, produksi lateksnya akan merosot tajam," ujar Hidir. Di Brasil, akibat serangan penyakit hawar daun ini, produksi rata-rata/ha/tahun hanya mencapai 1/4 dari produksi rata-rata karet di Asia Tenggara. Akibatnya, kejayaan Brasil sebagai negara produsen karet alam terbesar di dunia, sekitar 98% sebelum tahun 1912, tumbang. Sekarang, negara-negara Asia Tenggara menguasai sekitar 90% dari total produksi karet alam dunia. Pengalaman pahit Brasil itu membuat para pakar negara-negara produsen karet alam di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1984 sepakat untuk membuat "barikade", dengan bergabung dalam ANRPC The Association of Natural Rubber Producing Countries) yang beranggotakan, antara lain, Singapura, Malaysia, Muangthai, Sri Lanka, India, dan Indonesia. Hasilnya, cendawan Microcyclus Ulei sampai sekarang tak mampu menembus kawasan Asia Tenggara. Barikade itu hampir jebol pada 1985. Ketika itu Medan kedatangan dua orang tamu dari Brasil yang hendak mengikuti seminar tentang karet. Untung, petugas sigap. Kedua tamu diperiksa. Kopor-kopornya dibuka dan isinya dikeluarkan. Isi kantung, Isi dompet, kamera, sepatu yang sedang dipakai diteliti. "Mana tahu mereka menyelipkan potongan daun karet atau potongan ranting karet yang telah kena cendawan SALB," kata Abdul Nasir Djaelani, Kepala Karantina Pertanian Polonia Medan. Ketika itu, kedua tamu Brasil itu sempat mengunjungi kebun karet dan memegang batang maupun daun karet. Nah, ini 'kan bahaya. "Supaya tidak menyinggung perasaan, begitu mereka meninggalkan tempat, semua benda yang bekas disentuh langsung disemprot dengan alkohol konsentrasi tinggi," kata Dr. Madjid, Kepala Balai Penelitian Perkebunan Sungai Putih, Medan. Kecurigaan ini perlu dipertahankan. Karet alam di Indonesia sekarang ini menduduki nomor dua didunia, setelah Malaysia. "Ya, siapa tahu, begitu produksi kita banyak, dan produksi di Brasil sudah melorot, lalu timbul iri hati. Dengan mengantungi selembar daun karet yang kena cendawan SALB, siapa pun dapat menghancurkan tanaman karet kita," kata Prof. Soemartono Sosromartono, staf Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman IPB. Apalagi sampai sekarang obat mujarab pemberantasan penyakit SALB ini belum muncul. Upaya yang sekarang dlanggap paling efektif adalah dengan membuat klon unggul. Yaitu dengan metode okulasi, memilih batang atas yang resisten terhadap serangan penyakit SALB. Tindakan Mentan mengharuskan turis melewati karantina itu didukung oleh Ditjen Pariwisata, yang melalui siaran persnya langsung mengumumkan, supaya kunjungan wisatawan asing ke perkebunan karet ditunda. Acara mengunjungi perkebunan bclakangan ini memang makin banyak dijual pada turis asing. Dan tampaknya laku. Belum jelas apa akibat larangan ini. Sepanjang 1987 ini, misalnya, menurut Piet Saragih, Manajer Tour PT Eka Sukma Wisata Tour, Medan, diharapkan Sum-Ut akan kedatangan 5.000 tamu asing yang mengikuti pariwisata perkebunan. Memang para turis itu berasal dari Belanda, Jerman Barat, dan kawasan Eropa lainnya. Tapi, siapa tahu mereka sebelumnya singgah di Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Gatot Triyanto, Laporan Bunga S. (Jakarta) & Monaris S. (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini