ADALAH seorang ibu tua, tinggal dalam satu flat bersama anak laki-laki dan istrinya. Tak istimewa: bukankah wajar, apalagi bila usia si Ibu sudah merayap menuju matahan yang makin sirna? Tetapi tinggal bersama itu sudah 15 tahun lamanya. Jantungnya sudah semakin lemah, sedang flat anaknya kecil dan sumpek. Anak dan menantunya tak rukun pula - mungkin karena suami-istri itu tak punya anak, sedang si suami sering berganti kerja. Dan di atas semuanya, menantunya itu cerewet - usil - lagi pula berani menghardik ibu mertua. Akhirnya, ibu tua itu sampai di puncak kebosanannya. Dia merindukan alam yang luas, udara segar dan bebas, suara bulung-burung yang lepas. Ah, itu tidak bisa lain dari harus kembali ke Bountiful, desa kecil tempat kelahirannya, tempat suami dan dua anaknya yang lain meninggal dan dikubur, tempat orangtuanya dulu mulai mengadu untung, mengolah tanah hingga menjadi lahan pertanian yang subur, tempat akhirnya mereka menutup mata juga di sana. Bountiful, desa yang cocok betul dengan arti katanya: melimpah ruah - pepohonan, burung-burung, dan panen yang selalu jadi. Memang, itu sudah lama betul berselang: sedikitnya 15 atau 20 tahwl desa itu tak pernah lagi dikunjunginya. Tetapi ibu tua itu merasa pasti, bila ia sekali muncul di Bountiful, sahabat karibnya sejak kecil akan dengan girang menerimanya. Maka, kerinduan pun makin membara. Mengendap-endap, ia lari ke stasiun bis - hanya dengan bekal cek uang pensiun dan beberapa dolar. Penjual tiket terheran-heran: dalam daftar kota, dalam buku pintarnya, tidak ada Desa Bountiful. Kalau begitu, ibu tua itu memutuskan, turun saja di Harrison, kota kecil yang masih 12 mil dari tempat tujuan. Dan, waktu akhirnya ia sampai di desa idaman, diantar seorang sheriff yang baik hati, mermang ditemukannya Bountiful sebagai desa yang sudah mati, tanpa penghuni. Sahabat karibnya sudah meninggal. Rumah-rumah, termasuk rumah pusaka keluarganya, nyaris jadi reruntuk. Toh ia gembira. Duduk berlama-lama di sisa beranda bangunan, ia melemparkan pandang ke mana-mana: lautan ilalang yang sekarang tumbuh subur di depan rumah, semak-semak yang sudah menghutan, bayangan rumah-rumah yang sekarang sudah jadi bangunan puing Tetapi udara yang segar tetap segar, dan suara burung yang berseilweran masih banyak mengisi udara yang bersih itu. Dipejamkannya matanya, dihirupnya napasnya, dan ia bahagia. Meski Buntiful memang tidak bountiful lagi, maksudnya kesampaian jua: pulang, pulang ke tempat asal. Akhirnya, anak dan menantunya, yang melacak kepergiannya, sampai juga di desa kenangan itu, di rumah yang nyaris runtuh. Kerinduan, nostalgia kepada masa yang lalu, merangkul kedua orang itu dengan mesranya. Namun, kenyataan yang keras juga yang akhirnya mengingatkan mereka kepada kewajiban untuk berangkat sekarang, ke kota, ke flat kecil yang sumpek, ke menantunya yang cerewet dan usil. Mungkin anaknya belum juga mudeng ataupun nyahok waktu ibunya menerima kenyataan itu dengan ikhlasnya bahkan menantunya diciumnya waktu menyampaikan "perjanjian baru" untuk kembali tinggal bersama. Itulah The Trip To Bountiful, sebuah film yang sederhana, linier, lempang, tetapi menyentuh dan mengharukan. Pulang adalah konsep yang penuh magic. Begitu kita menyatakan ingin pulang, terbayang di depan kita serentetan harapan akan berbagai surprise, kejadian yang tidak dan tidak boleh dinyana. Bagi pelajar atau mahasiswa yang mondok di kota lain, pulang berarti masuk kembali ke jagat lama yang sudah sangat mereka kenal: tempe bacem dan sayur lodeh masakan Ibu, kopi kental dan batuk-batuk Bapak, kamar mandi di belakang yang berbau pesing, tapi juga harapan akan pelukan keteduhan dalam lindungan rumah - dari kamar-kamar yang kurang sinar matahari, dari selimut kain Ibu yang usang, dan mungkin juga dari sentuhan jari-jari nenek yang keriputan serta cerita, gunjingan, gossip, tentang anggota keluarga yang sudah agak lama terputus. Bagi suami-istri yang sudah beranak-pinak dan tinggal lama di kota lain, mungkin pulang itu pulang ke jagat yang lebih jauh. Harapan itu akan berupa masuk kembali ke sebuah dunia yang sekaligus mereka akrabi tapi yang juga asing, dunia yang dulu memeluk mereka tapi kemudian merenggang digerogot waktu. Makin banyak saja unsur agat itu yang tampak aneh: pasar yang sudah disulap menjadi shopping center, tugu pahlawan di tengah kota kecil, jalan yang dibikin lebar dan rumah-rumah yang digusuri, jaringan keluarga yang berguguran, sedang yang sisa semakin tidak dikenal. Bagi para "urbanis", yang pada mengadu untung menjadi pembantu rumah tangga atau pekerja sektor informal, pulang justru peneguhan ikatan dengan rentangan sanak famili. Harapan magic menjadi harapan akan bisa sekah lagi menyaksikan magic dari sentuhan si anak hilang dengan jaringan kerabat, lewat oleh-oleh yang merata itu. Meskipun beberapa hari kemudian semacam keterasingan, dan mungkin ketakutan, merayapi mereka akibat melihat kondisi jagat lama yang tampak seakan semakin kusam dan buru-buru mungkin mereka mengepak tas mereka lagi untuk kembali ke kota, ke neraka yang aneh tetapi yang terus saja menarik mereka bagai besi berani. Dan, akhirnya, ya, pulang ke rahmatullah. Tentu, itu juga penuh harapan magic: titian serambut dibelah tujuh, api neraka di bawah dan pintu surga di arah depan.... Pulang, pulang, akan terus mengganggu kita. III Menonton film ternyata juga sebuah proyeksi dan identifikasi diri. Itulah sebabnya, konon, film-film Satyajit Ray, sutradara raksasa India itu, tidak laku di negeri sendiri: karya-karyanya itu terlampau jelas, meski indah, bicara tentang "pulang" ke sana - ke mana saja yang disebut "rumah", "desa", "jagat lama" dan sebagainya itu, yang di India hanya berarti kemelaratan dan kesedihan. Penonton, selain ingin proyeksi dan identifikasi, juga terutama ingin menyenangkan diri. Diingatkan kepada kemelaratan bukan termasuk rencananya waktu meninggalkan rumah menuju gedung bioskop. Saya harap, penonton di Indonesia pun tidak terlalu murung melihat perjalanan pulang Nyonya Watts ke Bountiful. Susah atau senang, di negeri kita dan kalangan kita, bukankah perjalanan pulang selalu kita lakukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini