Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAKTU menunjukkan pukul empat pagi pada 30 Juli 1907 ketika gempa hebat mengguncang Sulawesi Tengah. "Ada 164 rumah dilaporkan rusak dan 49 lumbung di Kulawi ambruk," tulis E.C. Abendanon, ahli geologi Belanda, dalam catatannya yang kemudian dibukukan dengan judul Voyages Geologiquea et Geographiques A Travers La Celebes Centrale.
Sumber gempa berada di antara Kulawi dan Danau Lindu. Daerah itu kini masuk wilayah Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Abendanon tidak menyebutkan secara pasti berapa kekuatan lindu saat itu. Namun ia menggambarkan goyangannya masih terasa hingga dua bulan kemudian. Arahnya utara timur-barat selatan.
Lebih dari seabad kemudian, pada 18 Agustus 2012, bumi kembali bergoyang di Sigi dengan titik pusat gempa yang sama. Kekuatannya 6,2 magnitudo dan merusak 471 rumah serta menewaskan lima penduduk. Tim ilmuwan dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Institut Teknologi Bandung langsung turun ke lapangan untuk melakukan riset.
Dari hasil pengamatan dan foto citra satelit ditemukan retakan memanjang. Tampak segmen sesar Kulawi-Danau Lindu mengarah timur laut-barat daya. Tepat di bagian barat daya, sesar itu beradu dengan sesar utama atau patahan besar Palu-Koro. "Tim berkesimpulan karakter gempa pada 18 Agustus 2012 mirip dengan gempa 30 Juli 1907," ujar Mudrik R. Daryono, peneliti gempa dari LIPI, kepada Tempo dua pekan lalu.
Mudrik dan kawan-kawan kian tertarik setelah membaca catatan Abendanon di halaman berikutnya. Ia menulis bahwa telah terjadi guncangan sepanjang Februari-Juli 1909 di Sulawesi Tengah. Gempa besar mengguncang pada 18 Maret 1909 dan terasa kuat dari Kulawi sampai Gimpu. Sumber gempa diduga berada di sesar utama Palu-Koro, khususnya pada segmen (potongan) sesar yang disebut segmen Saluki.
Dugaan itu merupakan hasil identifikasi tim ahli ilmu kebumian yang beranggotakan Danny Hilman dan Benyamin Sapiie. Sesar atau patahan itu berarah relatif utara-selatan, yaitu dari Gimpu hingga Bora sepanjang 60 kilometer. Turun ke lokasi, Mudrik mendapatkan ciri morfologi pergeseran sungai, juga gawir sesar di permukaan.
Tim peneliti berupaya memastikan pola gempa sesar itu dengan penggalian lapisan tanah untuk riset paleoseismologi di Omu, salah satu desa yang dilewati Segmen Saluki. Mereka mendapatkan retakan permukaan tanah berarah utara-selatan dengan pergeseran 4 meter dan loncatan 0,75 meter.
Besaran itu hampir sama dengan catatan gempa bumi yang terjadi pada 18 Maret 1909 di buku Abendanon. "Buah kelapa muda berjatuhan dari pohon. Rumah yang selamat dari gempa 1907 hancur berantakan," tulis Abendanon. Alhasil, semua rumah di sepanjang daerah Bolapapoe hingga Lemo rata dengan tanah.
Seperti halnya sesar Palu-Koro, segmen sesar Saluki bergeser ke kiri. Jika dilihat dari sebelah timur dari garis sesar dan menghadap ke arah seberang, tanah sebelah barat sesar bergerak ke kiri dari posisi tersebut. Pergeseran tanah itu, kata ÂMudrik, menyebabkan pergeseran Sungai Saluki sejauh 510 meter.
Selain itu, lempeng sebelah kiri atau sisi barat sesar Saluki bergerak ke selatan. Adapun lempeng sebelah kanan atau timur sesar bergerak ke utara. Para ilmuwan mencatat pergerakan sesar di segmen Saluki, di barat daya Kota Palu, 4 sentimeter per tahun. Tim peneliti LIPI dan ITB lantas mencocokkannya dengan situs yang tanahnya digali.
Hasilnya, ada pergeseran sepanjang 4 meter dan kenaikan tanah 75 sentimeter. Artinya, diperlukan waktu 100 tahun untuk menggeser tanah itu. Mereka mengaitkan gempa 1907 dan 1909 dengan periodisasi gempa 100 tahunan. "Kita ada di posisi yang sudah waktunya, 100 tahun lebih dengan plus-minus," ujarnya merujuk pada gempa terakhir di wilayah yang sama pada 18 Agustus 2012.
Apakah ini pertanda akan ada gempa susulan pada tahun ini? Itulah pertanyaan yang terus menghantui Mudrik. Apalagi, berdasarkan perhitungan tim peneliti, kekuatan gempa mendatang di sekitar loÂkasi episentrum gempa 2012 sekitar 7,5 magnitudo. Yang jelas, kekuatan gempa pada 1909 lebih besar ketimbang pada 1907.
Banyak warga di sekitar sesar Saluki tak mengetahui riwayat gempa besar yang pernah menghantam kampungnya. Para tetua Kampung Omu dan Tufa juga tidak paham. Ikhsan, arkeolog Museum Palu yang ikut dalam penelitian dengan Mudrik, mengatakan desa itu pernah menjadi kampung mati karena ditinggalkan penduduk yang selamat dari gempa besar. "Sekitar 1950 datang lagi generasi baru yang menemÂpati lahan terbengkalai dan memberi nama desa yang berbeda," ujar Ikhsan.
Hitung-hitungan yang digunakan ÂMudrik dan timnya berdasarkan metode paleoseismologi, yang biasa dipakai pakar ilmu kebumian. Mereka mengumpulkan data sejarah gempa yang pernah ada, dari kekuatan, panjang segmen yang runtuh, sampai besar bidang geser. Dari data itu lantas dibuat prediksi. Kajian Mudrik itu dipresentasikan dalam acara The 3rd International Symposium on Earthquake and Disaster Mitigation di Yogyakarta, 17-18 Desember 2013.
Meskipun demikian, Irwan Meilano, pakar gempa dari ITB yang tidak ikut dalam penelitian di Sulawesi Tengah, meminta semua pihak berhati-hati dalam membuat prediksi gempa. "Sebab, perhitungan waktu gempa sangat kompleks dan perlu banyak data," ujar doktor lulusan Universitas Nagoya, Jepang, ini.
Menurut Irwan, sesar Palu-Koro bergerak 5-8 kali lebih cepat dibanding sesar Sumatera atau sesar di Pulau Jawa. Laju gesernya 32-45 milimeter per tahun. Karena itu, tak aneh jika terjadi gempa besar di sesar atau patahan yang mengiris Pulau Sulawesi bagian barat tersebut.
Angka laju geser itu dalam perhitungan periodisasi gempa secara sederhana diracik dengan sejarah kegempaan serta standar deviasi. Para ahli biasanya menggunakan periodisasi gempa dengan memakai patokan 100 tahun dan melihat plus-minusnya. Irwan mengambil contoh, sesar Saluki yang memakai periodisasinya 100 tahun dengan plus-minus 30 tahun. Artinya, perulangan gempa dari kejadian terakhir bisa 70-130 tahun kemudian. Untuk mendapatkan angka plus-minus itu sedikitnya perlu data tiga kali kejadian gempa. Nah, pada sesar Saluki perlu dicari lagi waktu kejadian tiga gempa sebelum 1909. "Jadi tidak bisa hanya dari satu riwayat pada 1907 atau 1909 itu," katanya.
Pencarian riwayat gempa sebelum 1909 itu bisa berdasarkan catatan sejarah di naskah atau lewat riset. Apa yang dilakukan Mudrik dengan menggali tanah di daerah retakan atau parit sesar hanyalah salah satu metode. Di laut, seperti yang dilakukan Danny Hilman di Sumatera, riset riwayat gempa diketahui dari perubahan terumbu karang.
Menurut Irwan, ada sesar lain yang sejajar paralel dengan patahan Palu-Koro atau segmen lain yang bisa bergerak sehingga dapat mempengaruhi segmen sesar Saluki. Ketika ada subsegmen atau sesar lain yang begerak, ada kemungkinan lokasi dan waktu potensi sesar yang diperhitungkan meleset. "Mungkin jadi tidak tepat prediksi gempa berikutnya pada 2014," katanya.
Bagaimana dengan perkiraan kekuatan gempa 7,5 magnitudo? Irwan memiliki hitungan berbeda. Sumber gempa daratan dangkal antara 2 dan 8 kilometer dikaitkan dengan segmen sesar Saluki yang panjangnya 60 kilometer, maka besarannya sekitar 7 magnitudo. Kalau panjang sesarnya 90 kilometer, baru didapati angka 7,4 Âmagnitudo.
Selama ini belum ada data yang menyajikan siklus gempa secara utuh, dari sebelum, saat terjadi, hingga setelahnya. "Alat pencatat gempa baru dipakai pada 1960-an, sehingga waktu gempa banyak yang terlewat," ujarnya. Para ahli masih kesulitan membaca pola gempa dalam waktu dekat. Umumnya yang bisa diperhitungkan adalah gempa jangka menengah dan panjang.
Widjo Kongko, Koordinator Tsunami Research Group Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mengatakan para ahli ilmu kebumian belum menemukan metode yang jitu untuk memprediksi gempa dilihat dari lokasi, kekuatan, dan waktunya.
Untuk menduga lokasi, biasanya dipakai pendekatan cluster kegempaan yang terjadi sebelumnya. "Dengan GPS dan kemajuan peralatan lainnya, pada masa mendatang lokasi gempa mungkin dapat diprediksi," kata lulusan Fakultas Teknik Sipil dan Ilmu Geodesi Universitas Gottfried Wilhelm Leibniz, Hannover, Jerman, itu.
Untuk kekuatan gempa, perhitungannya lebih sulit. Misalnya gempa pada 2006 kekuatannya 7 magnitudo. Perhitungan ini dikonversi ke momen dislokasi dan dibuat dugaan bahwa 200 tahun mendatang kekuatan gempanya sekian magnitudo. Paling sulit, kata Widjo, menentukan waktu kapan bakal terjadi gempa.
Karena itu, ia ragu terhadap prediksi yang dibuat Mudrik bahwa gempa di Palu-Koro akan terjadi tahun ini. Menurut dia, harus diketahui lebih dulu kaitan antara gempa 1907 dan 1909. Dalam seismologi ada banyak faktor yang kait-mengait, dan selama ini belum jelas kaitan dua gempa itu. "Jangan lantas kita meloncat mengaitkan gempa 2012 dengan potensi gempa tahun 2014," katanya.
Sebagai bentuk kewaspadaan, Widjo mengatakan, bisa saja dibuat prediksi gempa dan dipaparkan ke publik. Hal itu sejalan dengan pemikiran Irwan, yang mendukung pentingnya kesiagaan menghadapi ancaman lindu. Mudrik sendiri berharap perhitungan dan prediksinya salah. Sebagai peneliti, dia merasa perlu menyampaikan peringatan itu. "Sebab, pada mitigasi bencana gempa bumi, siap siaga lebih baik daripada tidak melakukan upaya apa pun," ujarnya.
Untung Widyanto, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo