Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konferensi ke-5 Komite Negosiasi antar-Pemerintah (INC) di Busan, Korea Selatan, batal menghasilkan hukum internasional pengurangan sampah plastik.
Pertemuan didominasi kepentingan negara penghasil minyak dan produsen plastik.
Sikap delegasi Indonesia juga dinilai tidak tegas mendorong komitmen yang lebih ambisius dalam mengurangi polusi plastik.
SEMBARI mengangkat stoples berisi boneka yang dipenuhi cacahan plastik, Aeshnina Azzahra Aqilani mengingatkan para tamu dari berbagai negara yang memenuhi Busan Exhibition and Convention Center di Busan, Korea Selatan, ihwal bahaya sampah plastik. Siang itu, dalam sidang penutupan rapat pleno Konferensi ke-5 Komite Negosiasi Antar-Pemerintah atau The Fifth Session-Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5), perempuan 17 tahun kelahiran Sidoarjo, Jawa Timur, itu mengibaratkan stoples berisi boneka tersebut sebagai rahim seorang ibu yang tercemar mikroplastik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Bahkan tempat paling aman di dunia sekarang tidak aman lagi," kata Nina—begitu panggilan Aeshnina—mengawali pernyataannya sebagai perwakilan River Warriors Indonesia pada Ahad, 1 Desember 2024. "Kami, anak-anak Anda, ingin hidup sehat tanpa polusi plastik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Nina berikutnya lebih menohok. Sebagian besar negara peserta INC, kata dia, telah menyatakan komitmen yang ambisius untuk memangkas produksi plastik dan menyetop penggunaan bahan kimia berbahaya. Namun pertemuan di Busan yang seharusnya menghasilkan kesepakatan hukum internasional untuk pengakhiran polusi plastik itu justru buntu dan berjalan mundur akibat sebagian suara yang menolak. "Kita telah menyaksikan bahwa pandangan kepentingan tertentu lebih diprioritaskan ketimbang kesehatan dan kesejahteraan generasi masa depan," katanya.
Aktivis lingkungan Indonesia, Aeshnina Azzahra Aqilani menenenteng replika boneka yang terjerat mikro plastik sebagai pengingat bagi negara-negara delegasi yang mengikuti konferensi pengakhiran polusi plastik di Busan, Korea Selatan, pada Ahad, 1 Desember 2024. Prigi Arisandi/Ecoton
Konferensi INC diinisiasi sebagai proses negosiasi untuk menjalankan hasil pertemuan UNEA di Nairobi, Kenya, pada Maret 2022. Kala itu, sebanyak 175 negara bersepakat membuat instrumen hukum yang mengikat secara internasional ihwal pengakhiran polusi plastik. Kerap disebut Traktat Plastik Global (GPT), instrumen hukum lintas yuridiksi negara tersebut ditargetkan berlaku pada 2025.
Pertemuan di Korea Selatan ini semestinya menjadi rangkaian terakhir dalam lima sesi pembahasan traktat, yang penyusunannya dimulai sejak INC-1 di Uruguay pada November 2022. Karena itu, dalam keterangan awalnya ketika pembukaan pertemuan pada 25 November 2024, Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) Inger Andersen mengingatkan agenda utama pertemuan di Busan.
"Tugas kita di Busan pekan ini jelas: menyepakati perjanjian yang akan membawa kita menuju masa depan bebas polusi plastik untuk selamanya," kata Andersen.
Namun tugas itu tak tuntas di Busan. Konferensi INC-5 hanya menghasilkan beberapa naskah traktat yang penuh dengan pasal-pasal dengan sejumlah opsi redaksional. Beberapa pasal juga masih dibubuhkan tanda kurung karena belum disepakati. Menurut rencana, pembahasan dilanjutkan dalam forum bertajuk INC-5.2 yang berlangsung pada Juli atau Agustus 2025.
Didominasi Kepentingan Negara Penghasil Minyak dan Plastik
Sebenarnya, sebelum pertemuan kelima digelar di Busan, perwakilan negara anggota telah membahas beberapa hal krusial dalam forum Intersessional Work di Thailand pada Agustus 2024. Negara-negara anggota Program Lingkungan PBB (UNEP), yang diberi mandat membentuk komite negosiasi penyusunan Traktat Plastik Global, mengundang pakar untuk membahas beberapa hal yang akan diatur dalam traktat, seperti mekanisme finansial, rincian produk plastik, bahan kimia, desain produk, serta daur ulang. Forum di Thailand itu menyepakati pembahasan akan dilakukan di INC-5 Busan dan dibagi dalam empat kelompok kerja.
Kelompok pertama, antara lain, diwajibkan membahas produk plastik serta bahan kimia yang menjadi perhatian dalam produk plastik. Kelompok kedua membahas pengelolaan sampah plastik, emisi dan pelepasan, serta pencemaran plastik. Grup ketiga membicarakan pendanaan dan mekanisme keuangan. Kemudian kelompok terakhir mengurus ketentuan implementasi dan kepatuhan, termasuk rencana nasional masing-masing negara dalam mengakhiri plastik.
Aktivis lingkungan Indonesia, Aeshnina Azzahra Aqilani menyampaikan protes dalam sidang delegasi INC-5 di Busan, Korea Selatan, 1 Desember 2024. Prigi Arisandi/Ecoton
Misi INC sejak awal amat jelas. Plastik telah menjadi permasalahan serius bagi iklim sehingga perlu ditangkal secara bersama-sama lewat hukum internasional. Tidak hanya di tingkat hilir berupa limbah plastik, hulu produksi plastik juga dianggap menjadi penghambat upaya meredam pemanasan global. Semua rantai produksi hingga konsumsi plastik telah menyumbang 7 persen gas rumah kaca global dan berpotensi meningkat menjadi 20 persen pada 2050.
Namun, menurut Nina, pertemuan di Busan yang semestinya bersejarah justru didominasi oleh dua kelompok. Kelompok pertama adalah delegasi negara-negara produsen petrokimia, seperti Arab Saudi dan Rusia. "Mereka berusaha mencegah perjanjian yang kuat untuk pembatasan produksi dan pengaturan bahan kimia tertentu dalam plastik,” katanya.
Penolakan dari Arab Saudi dan Rusia muncul karena pembatasan produksi bahan kimia dalam plastik bisa mengganggu kepentingan ekonomi mereka. Pengurangan produksi plastik akan mengurangi permintaan atas produksi minyak dan gas yang menjadi bahan baku plastik.
Adapun kelompok kedua berisi negara-negara produsen plastik yang mayoritas berada di Eropa. Mereka mengusulkan intervensi pada sektor hilir, misalnya dengan pengelolaan sampah dan daur ulang untuk mengatasi polusi plastik. “Padahal daur ulang adalah solusi usang yang justru memicu masalah baru, seperti pencemaran beracun,” ujar Nina.
Kepala Delegasi Greenpeace Graham Forbes menceritakan kekecewaannya terhadap aksi para pelobi yang membanjiri negosiasi perjanjian plastik. Kata dia, industri secara sengaja mengorbankan bumi dan meracuni anak-anak untuk mendapatkan keuntungan. "Semestinya para pelobi yang membela penggunaan bahan bakar fosil dan petrokimia, yang dibantu segelintir negara, tidak boleh mendikte hasil negosiasi ini.”
Delegasi Indonesia tanpa Sikap
Delegasi Indonesia dalam INC-5 dinilai condong pada kehendak negara produsen minyak. Pasalnya, Indonesia tidak menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengurangi produksi minyak. Sikap tersebut kontras dengan keteguhan negara-negara di Afrika, Kepulauan Pasifik, dan Amerika Latin yang selama ini terkena dampak polusi plastik, terutama di lautan, seperti dialami Indonesia. Mereka tegas mendorong kesepakatan yang lebih ambisius dalam upaya membatasi produksi plastik atau penggunaan bahan kimia berbahaya.
Direktur Jenderal Otoritas Manajemen Lingkungan Republik Rwanda, Juliet Kabera, mendapat dukungan dari 85 negara untuk mendorong negara-negara mewujudkan perjanjian yang lebih ambisius. “Sudah saatnya kita menganggap pencemaran plastik serius dan menegosiasi perjanjian yang sesuai dengan tujuan dan tidak dibuat untuk gagal,” tuturnya.
Sikap Juliet itu juga mendapat sokongan dari puluhan organisasi masyarakat sipil yang hadir dalam perundingan. Mereka turut membuat pernyataan bersama bahwa negara-negara produsen sampah mengabaikan komitmen. Hal ini dikhawatirkan bakal memperparah krisis plastik yang terjadi dan memicu kerusakan secara global.
Delegasi Indonesia sekaligus Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono menceritakan bahwa pemerintah sudah sepakat memulai negosiasi. Namun negara-negara penghasil minyak dan gas sengaja ingin menunda kesepakatan dengan mengulur proses negosiasi. “Kita harus memaksimalkan waktu yang kita miliki sekarang untuk mencapai kesepakatan yang baik di Busan ini,” ucapnya dalam konferensi.
Pada akhirnya, perundingan yang berlangsung selama sepekan itu tak membuahkan hasil. Forum pleno menyepakati memperpanjang sesi negosiasi pada tahun depan. Hal ini karena draf dalam naskah perjanjian plastik disebut kontroversial dan tidak memadai dalam upaya mengakhiri pencemaran plastik.
Ketua INC Luis Vayas Valdivieso mengusulkan agar draf yang telah disirkulasikan pada 1 Desember 2024 digunakan sebagai bahan negosiasi tahun depan. Artinya, tidak ada pasal yang dapat disetujui sampai semua pasal disetujui semua negosiator. Adapun sebagian besar negara masih mengusulkan pengurangan produksi plastik primer.
Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia sekaligus Aliansi Zero Waste Indonesia, Abdul Ghofar, menyayangkan kegagalan negara-negara menyepakati perjanjian plastik pada negosiasi kelima ini. Padahal terdapat lebih dari 100 negara yang sepakat mendorong pengurangan produksi plastik. “Tak dimungkiri tantangan besar datang dari negara produsen plastik yang menghambat perjanjian mengikat,” tuturnya.
Dia berharap negosiasi tambahan atau INC 5.2 yang akan berlangsung pada tahun depan menjadi momentum negosiasi terakhir. “Kami berharap negara-negara Asia, termasuk Indonesia, bergabung dengan koalisi negara-negara ambisi tinggi yang selama negosiasi kelima menunjukkan keberpihakan pada lingkungan hidup dan kesehatan manusia.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo