SANGGUPKAH "gajah putih" menaklukkan gajah Aceh yang liar? Itulah yang kini akan dicoba dilakukan oleh Viroj Siriumagul alias Usman bersama dua rekannya, Inthawa dan Sean Kachay. Tiga sekawan dari Muangthai ini akhir Juli silam datang bersama Thong Kun dan Khan Than, dua gajah jantan jinak. Mereka ditugasi menjinakkan dan sekaligus mendidik gajah liar yang bercokol di seputar bukit dan hutan di Kecamatan Kuta Makmur, Meurah Mulia, Syamtalira Bayu, dan Tanah Luas, Kabupaten Aceh Utara. Di kawasan yang lokasinya 35 km selatan Lhokseumawe ini mengalir Krueng (Sungai) Pase. Menurut rencana, awal September ini pawang dari Negeri Gajah Putih ini mulai beroperasi. Kawanan pawang Muangthai ini diturunkan ke Aceh setelah Pemda setempat beberapa kali gagal menggiring gajah liar ke hutan di perbatasan Aceh Utara dan Tengah. Berbagai cara telah dilakukan: secara tradisional dengan membunyikan kentongan dan bunyi-bunyian, bahkan juga dengan memakai pagar kawat yang dialiri listrik. Namun, Po Meurah (Tuanku Gajah) -- begitu masyarakat Aceh biasa menyebut tak juga bergeming. Untuk sementara, mereka memang meninggalkan wilayah Krueng Pase. Tapi karena daerah, itu memang habitatnya semula, mereka selalu kembali lagi. Dan biasanya mereka balik dengan penuh amarah. Pada 1983, misalnya, bukan cuma tanaman penduduk yang digasak. Seorang penduduk Desa Lhok Asan, T. Hasyim, diamuk dan tewas. April lalu, ribuan pohon karet PIR-PTP V dan PT Setia Agung dilumatnya. Kerugian ditaksir puluhan juta rupiah. Dua pekan lalu, jatuh seorang korban lagi. Kasmino, seorang buruh CV Perkasih, kontraktor perusahaan perkebunan swasta PT Setia Agung, tewas diinjak-injak. Tubuhnya dibelit dan dibanting ke tanah. Beberapa rumah penduduk juga dirobohkan. Gagal dengan beberapa kali Operasi Po Meurah, Pemda Aceh Utara mulai mencari cara lain. Muncullah usul untuk menjinakkan gajah. "Gagasan ini datang dari Dirjen PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) Departemen Kehutanan," kata Selamat Hadi, Kepala Subseksi PHPA, Kabupaten Aceh Utara. Dasarnya adalah pengalaman menjinakkan gajah liar di Lampung yang dinilai berhasil. Lalu tiga pawang Muangthai dengan dua gajah jinaknya didatangkan, 25 Juli silam. Pos jaga PHPA di Krueng Pase dijadikan markas sementara. Strategi pun disusun: gajah liar itu akan ditangkap dengan tali penjerat yang dibuat dari kulit kerbau yang dipintal sepertl kabel. Untuk satu tali penjerat sepanjang 40 meter, kata Usman, dibutuhkan tiga sampai empat lembar kulit kerbau. Menurut rencana, Usman akan duduk di leher gajah jinaknya dan rekannya -- yang membawa jerat -- duduk di punggung. Mereka akan mengintai gerombolan gajah liar di kawasan Krueng Pase, yang ditaksir sekitar 44 ekor. Kawanan gajah liar biasanya dipimpin seekor gajah jantan yang paling besar dan kuat. Bila bertemu mereka, Usman akan memerintahkan gajah jinaknya berduel dengan sang pemimpin. Kedua gajah Muangthai itu penampilannya cukup meyakinkan. Thong Kun, 27 tahun, punya tinggi 2,7 meter dengan berat 3,5 ton. Sedang Khan Than, 24 tahun, berbobot 3,7 ton dengan tinggi 2,6 meter. Sementara mereka berkelahi, sang pawang dan pembantunya diam-diam akan menjerat kaki sang pemimpin dengan tali kulit kerbaunya. Menurut Usman, begitu sang komandan tumbang, rombongan galah liar yang lain pasti kecut dan menyerah tanpa syarat. Saat itulah sang pawang akan menjerat gajah-gajah lain yang dipilih untuk dijinakkan. Menjerat gajah ini, kata Usman, lebih efektif dibanding menembak gajah dengan pembius seperti yang pernah dilakukan di Lampung dua tahun silam. Gajah yang ditembak dengan senapan bius biasanya tidak langsung jatuh. Ia masih bisa lari dan kalap. Bisa jadi, gajah itu akan tergelincir ke lereng bukit atau sungai, apalagi di musim hujan seperti di Aceh seperti sekarang ini. Jika jatuh dan kepalanya yang lebih dulu kena tanah hingga belalainya terimpit, gajah itu bisa tewas. Dalam operasi di Aceh, Usman mengharapkan bisa menangkap 5 ekor gajah per bulan. Diperlukan waktu setengah tahun untuk melatih gajah-gajah liar itu agar jinak. Operasi ini membutuhkan biaya yang tidak ringan. Usman saja bergaji US$ 750 (sekitar Rp 1,2 juta) sebulan, dan dua rekannya masing-masing menerima separuhnya. Sedangkan harga 2 ekor gajah jinak dari Muangthai itu, termasuk pengangkutannya sampai ke Indonesia, Rp 80 juta. Usman optimistis, gajah jinaknya akan mampu menaklukkan gajah liar Aceh. "Gajah Muangthai yang lebih ganas saja bisa dijinakkan," ujar Usman dalam bahasa Indonesia yang lancar. Lulusan sekolah gajah di Lamphang, Muangthai Utara, ini pernah bertugas di pusat latihan gajah di Lampung selama dua tahun. Gajah liar Muangthai kata Usman, begitu melihat manusia langsung akan menyerang. Sedang gajah Aceh, bila tak diganggu, tidak akan memburu orang. Yang menjadi ganjalan sekarang adalah soal dana. "Kini kami masih menunggu dana dari Pusat," kata seorang petugas PHPA Aceh Utara. Menurut rencana, bila operasi penangkapan gajah liar ini berhasil, akan dibuka juga semacam pusat latihan gajah di Krueng Pase. Agus Basri (Jakarta) & Makmun Al Mujahid (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini