Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hilir-mudik di sungai Banjir Kanal Barat antara ruas Halimun dan Karet, perahu itu sudah mirip tempat sampah. Lambungnya dipenuhi aneka kotoran. Beberapa petugas giat mendayung sembari memunguti kantong plastik bekas yang mengambang di permukaan sungai yang cokelat kehitaman. Bahkan ada petugas yang merogoh-rogoh ke dasar sungai—cuma sedalam satu setengah meter—untuk mencari sampah.
”Kalau tidak dibersihkan setiap hari, sampah itu menghambat perjalanan kapal motor Kerapu,” kata Sutrisno, pegawai Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi DKI Jaya, kepada Tempo pada Rabu pekan lalu. Pagi itu, Sutrisno menjaga dua kapal motor milik instansinya yang tengah bersandar di Dermaga Halimun, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Menurut Sutrisno, kendaraan air berdaya muat 28 penumpang ini sering tertahan di tengah jalan karena baling-balingnya tersangkut sampah. Selain karena soal sampah, para penumpang kerap menggerutu karena harus menunggu lama di dermaga sampai permukaan sungai mencapai ketinggian aman. Jika air sungai terlalu tinggi, atap kapal tersangkut jembatan Dukuh Atas atau pipa air yang melintang di atas sungai selebar 20 meter. Jika permukaan air kelewat rendah, baling-baling kandas di dasar sungai. Sebagai pedoman, ada garis berwarna merah, hijau, dan kuning pada tepi sungai.
Kapal bisa beroperasi jika permukaan air menyentuh tanda garis hijau, yang terletak di bawah garis merah dan di atas kuning. Karena itu, awak kapal sering berkoordinasi dengan petugas pintu air di Manggarai dan Karet agar ketinggian air berada di garis hijau.
Toh, animo warga untuk naik kapal yang beroperasi setiap Sabtu dan Minggu itu tetap besar. Antrean selalu mengular di Dermaga Halimun sejak Gubernur Sutiyoso meresmikan uji coba pro- yek angkutan sungai (waterway) pada 6 Juni lalu. Untuk jalur Halimun-Dukuh Atas-Karet sepanjang 1,7 kilometer, penumpang dipungut bayaran Rp 3.000. Umumnya warga ingin merasakan naik kapal motor di pusat kota, seperti yang mereka lihat di luar negeri melalui film atau televisi.
Sutiyoso, yang tiga bulan lagi mengakhiri jabatannya, mengaku puas dengan uji coba transportasi air. ”Jalur akan diperpanjang sampai 3,6 kilometer, dimulai dari Manggarai,” katanya. Angkutan sejenis bakal dibuka di sungai Banjir Kanal Barat pada jalur Jembatan Pesing sampai Muara Angke.
Angkutan sungai di Jakarta merujuk pada surat keputusan Gubernur Jakarta tahun 2004 tentang Penetapan Pola Transportasi Makro. Dalam aturan itu, ada empat transportasi umum yang akan diintegrasikan, yaitu busway, monorail, subway, dan waterway. Untuk angkutan sungai, Banjir Kanal Barat menjadi tempat pertama kali uji coba. Yang bakal menyusul adalah Sungai Angke, Cakung, Cengkareng, dan Banjir Kanal Timur.
Sejak tahun lalu, Departemen Pekerjaan Umum menurap beton di kedua tepi Banjir Kanal Barat, mulai Halimun sampai Tanah Abang. Angan-angannya, penumpang kereta api yang turun di Stasiun Tanah Abang bisa memakai waterway menuju stasiun kereta api dan busway di Dukuh Atas serta Manggarai. Mimpi itu belum kesampaian.
Bahkan, setelah sebulan beroperasi, dua kapal Kerapu yang menjadi bus air harus menghadapi aneka masalah: ranjau sampah, kepentok jembatan, dan tidak stabilnya debit air Banjir Kanal Barat. ”Persiapannya belum matang sehingga kini cuma sebagai tujuan wisata,” kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Bambang Susantono kepada Eko Ari Wibowo dari Tempo.
Bambang mencatat tiadanya koordinasi hulu-hilir yang mengatur ketinggian sungai sebagai salah satu penghalang. Begitu juga koordinasi antardepartemen dalam pengoperasian kapal dan perawatan sungai. Henri Bastaman melihat faktor lain yang berperan penting atas suksesnya angkutan air. ”Adanya keterkaitan kultur warga dengan sungai,” kata anggota staf ahli Menteri Negara Lingkungan Hidup itu.
Dia mencontohkan Thailand yang berhasil mengembangkan waterfront city. Bagi warga Negeri Gajah Putih, sungai ibarat bagian dari jalan hidup mereka. Di Kota Bangkok, istana kerajaan, pagoda, kuil, pasar, dan kantor pemerintahan berada di tepi Sungai Chaophraya. Hotel berbintang, seperti Marriott, Hilton, dan Shangri-La, juga berlokasi di pinggir sungai yang memiliki lebar sekitar 100 meter dengan kedalaman 20 meter.
Hotel bintang empat Rose Garden Riverside di Provinsi Nakorn Pathom tegak di tepian Sungai Ta Chine. ”Keindahan sungai bisa menjadi jualan dan target pariwisata,” kata Henri, yang bersama Tempo menghadiri kegiatan Eco-Minds 2007 di Thailand pada 30 Mei-3 Juni lalu.
Kegiatan Eco-Minds merupakan lomba tentang pembangunan berkelanjutan bagi mahasiswa se-Asia Pasifik yang diselenggarakan United Nations Environment Programme dan Bayer. Panitia memilih Thailand karena negara ini mampu mengelola dengan baik daerah aliran sungainya. Mahasiswa dari sembilan negara, termasuk Indonesia, menjadikan Sungai Mae Klong yang berada di Thailand barat sebagai bahan studi kasus.
Peserta Eco-Minds menginap di Hotel Bangkok Marriott Resort dan Rose Garden Riverside. Kedua hotel ini memiliki dermaga dan kapal pesiar yang mengantar tamu ke pasar dan tempat wisata. Keduanya pun memiliki restoran terapung dan menggelar beberapa atraksi di sungai.
Pemerintah Thailand juga berani menegakkan peruntukan lahan. Sekitar 50 tahun lalu, Sungai Chaophraya tercemar oleh sampah dan limbah industri. Pemerintah lalu memindahkan kawasan industri dari pinggir sungai. Permukiman ditata, kanal-kanal dibangun. Alhasil, sungai tidak lagi menjadi halaman belakang.
Sejumlah waduk juga dibuat untuk tempat penyimpanan dan pengelolaan air. Misalnya di Sungai Chaophraya yang berhulu di Thailand utara. Sungai Chaophraya, yang mengalir ke Bangkok, mendapat pasokan dari Bendungan Sungai Mae Klong. Alhasil, meski musim kemarau, debit air Chaophraya tidak menurun drastis dan kapal bisa berlayar dengan lancar sampai luar Bangkok.
Hasilnya? Bangkok mendapat julukan Venesia dari Timur. Sungai Chaophraya sepanjang 363 kilometer menjadi lalu lintas air. Kapal motor hilir-mudik mengangkut beras dan barang lain dari pedalaman menuju Teluk Thailand. Kapal itu juga menjadi wahana para pelaju yang tinggal di pinggiran kota untuk bekerja di ibu kota.
Marco Kusumawijaya mengingatkan prasyarat lain dalam menjalankan angkutan air, yakni adanya kelembagaan serta industri perawatan kanal dan kapal. ”Agar keberlangsungan sungai yang bersih tetap terjaga,” kata pengamat perkotaan ini. Untuk itu, perlu ada subsistem pencegahan sampah, pengerukan sungai, pembuatan kapal, dan manajemen debit air.
Pada 1780-an, sejumlah kanal di Kota Batavia ditutup pemerintah kolonial. Hal itu terjadi karena pendangkalan sungai. Marco berharap Jakarta dan kota lain di Indonesia menyiapkan terlebih dulu perangkat lunak dan kerasnya. ”Bangsa kita senang menerapkan hal baru tanpa persiapan terlebih dulu.”
Ketimbang di Jakarta, Henri Bastaman lebih melihat ke arah Tangerang, yang menurut dia memiliki potensi menggerakkan transportasi air. Sungai Cisadane di wilayah itu lebih lebar ketimbang Ciliwung di Jakarta. Tradisi pada beberapa daerah di Tangerang juga lekat dengan kehidupan sungai. ”Misalnya pada kelompok Cina Benteng dan Betawi,” katanya. Dia merujuk kuil di dekat Sungai Cisadane dan sisa-sisa perahu naga. Ingat Festival Cisadane? Perayaan ini digelar setiap tahun di sungai itu, yang membelah Tangerang.
Pemerintah Kota Tangerang memang bakal mencontoh Jakarta. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Tangerang Dafiar E. Hardian menjelaskan pekan lalu bahwa angkutan sungai bakal dimulai dari Jalan Makasar Jaya, belakang Mal Robinson, hingga Panunggangan di Karawaci.
Bila semua rencana mulus, akan ada kapal motor yang mengarungi Cisadane sejauh 7,3 kilometer dalam waktu 40 menit.
Untung Widyanto (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo