Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari total 3,31 juta hektare mangrove, lebih dari 600 ribu hektare perlu direhabilitasi karena kondisinya kritis.
Mangrove memiliki fungsi ekologi, ekonomi dan juga pengurangan emisi gas rumah kaca.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove optimistis bisa merehabilitasi 600 ribu hektare mangrove dalam empat tahun.
PRESIDEN Joko Widodo tidak menyampaikan rencana Indonesia tentang target pencapaian emisi nol dalam Pertemuan Kepala Negara mengenai Iklim (Leaders Summit on Climate) 2021 yang diinisiasi Presiden Amerika Serikat Joe Biden, 22 April lalu. Namun Indonesia menegaskan komitmennya mempercepat proyek percontohan pengurangan emisi, termasuk dengan merehabilitasi 620 ribu hektare kawasan bakau sampai 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmadja mengatakan bakau, yang antara lain berfungsi menyerap karbon dioksida (CO2), bisa membantu pemenuhan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris. Sampai 2030, Indonesia ditargetkan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hartono mengaku tidak mendapat tugas tambahan mengenai target emisi tersebut. "Perintah presiden, mangrove yang rusak itu tolong dibantu dipercepat pemulihannya," ucapnya, Selasa, 4 Mei lalu. Ia menambahkan, ihwal fungsi bakau dalam menangkap karbon itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang memimpin upaya tersebut.
Indonesia saat ini memiliki 3,31 juta hektare kawasan bakau. Dari jumlah itu, sebanyak 637 ribu hektare dalam kondisi kritis. Direktur Konservasi Tanah dan Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Muhammad Zainal Arifin mengatakan saat ini kementeriannya sedang memperbarui data. "Bisa bergeser angkanya. Bisa bertambah, bisa berkurang dari data itu," tuturnya, Jumat, 7 Mei lalu.
Banyak faktor penyebab kawasan bakau kritis. Menurut peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, I Wayan Eka Darmawan, penyebab terbanyak adalah alih guna lahan. "Menjadi tambak, perkebunan, juga sawit," katanya, Kamis, 6 Mei lalu. Menurut Wayan, ada juga area yang rusak karena sebab tidak langsung. Misalnya reklamasi di suatu tempat menyebabkan area bakau di sisi lain rusak.
Juru kampanye iklim Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Yuyun Harmono, menambahkan, alih fungsi kawasan bakau juga dipengaruhi daerah setempat. Di Jawa, Yuyun menjelaskan, penyebab paling banyak adalah kawasan itu beralih fungsi menjadi tambak dan permukiman. Di Riau dan Kalimantan, area bakau terkena ekspansi sawit. "Infrastruktur nasional kerap tumpang-tindih dengan kawasan mangrove," ujarnya, Kamis, 6 Mei lalu.
Wayan mengatakan bakau bernapas melalui pori-pori di akar. Jika akarnya tertutup lumpur, minyak, atau polutan lain, bakau akan terbunuh pelan-pelan. Siklus hidupnya juga lambat, mencapai puluhan tahun. Wayan mencontohkan penanaman bakau yang ia lakukan dengan koleganya di Sabang, Aceh, pada 2018. "Awalnya setinggi lutut. Sekarang masih sepaha.”
Kerusakan paling ekstrem, Wayan menambahkan, terjadi kalau bakau terkena limbah minyak. Wayan menjelaskan, ia pernah meneliti bakau di Rote, selatan Kota Kupang, pada 2015. Saat itu kondisinya masih bagus. Semua berubah setelah ada limbah minyak. Tahun ini dia mendapat kabar sebagian besar sudah mati berdiri. Batang dan ranting pohon utuh, tapi daunnya habis. "Saya cek juga melalui Google Map, sekarang kelihatan putih, tersisa ranting kering.”
Fungsi penting bakau tak diragukan lagi. "Dia benteng alami yang mencegah gelombang tinggi ke pesisir. Dia juga tempat berkembang biak biota laut. Ikan dan kepiting bertelur di situ. Ada fungsi ekologi," tutur Yuyun. Selain berfungsi secara ekologis, bakau penting untuk ekonomi. Di beberapa tempat, kawasan bakau menjadi obyek ekowisata dan memberikan pendapatan bagi masyarakat sekitar.
Kerusakan bakau berdampak langsung terhadap masyarakat. Di Sumatera Utara, Walhi mendampingi warga Lubuk Kertang, Kecamatan Berandan Barat, Langkat, yang merehabilitasi sekitar 400 hektare area bakau pada 2008-2013. Mereka juga berjuang untuk bisa mengelolanya dengan skema perhutanan sosial. "Itu dilakukan warga setelah penghasilannya sebagai nelayan turun akibat rusaknya mangrove karena ekspansi sawit," ujar Doni Latuperisa, Ketua Walhi Sumatera Utara, Jumat, 7 Mei lalu.
Ihwal fungsi ekonomi ini, Wayan menceritakan pengalamannya di Pulau Numbfore, Biak, Papua. Pada 2016, dia melakukan studi di sana dan melihat bakau yang besar-besar. Di sana ditemukan banyak udang dan kepiting besar, bahkan ada yang ukurannya sepaha orang dewasa. "Mungkin karena tidak ada intervensi pabrik di sana. Sekarang sepertinya masih seperti itu," katanya.
Namun fungsi bakau yang tak kalah penting adalah memastikan ketersediaan air tawar dan mencegah intrusi air laut. Ia memberikan contoh kejadian di Jakarta. Ketika lanskap tanah di utara Jakarta turun dan bakau menghilang, air laut makin masuk melalui tanah. "Ketika air laut makin masuk ke pori-pori tanah, umumnya air yang dulu tawar jadi asin atau minimal payau.”
Saat ini banyak lembaga pemerintah yang bertanggung jawab mengelola bakau. Selain BRGM, ada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah daerah. Sebelumnya sempat dilaporkan ada tumpang-tindih kewenangan, tapi kini telah dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.
Zainal Arifin mengatakan sudah ada pembagian tugas dari Kementerian Koordinator Kemaritiman mengenai rehabilitasi bakau. "Kementerian Lingkungan untuk yang berada di wilayah hutan, Kementerian Kelautan di luar kawasan hutan," katanya. Juru bicara Kementerian Kelautan, Wahyu Muryadi, pada Senin, 26 April lalu, mengatakan tugas kementeriannya bersama pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat adalah menangani pengelolaan bakau di luar kawasan hutan di 25 provinsi.
Hartono Prawiraatmadja menuturkan, dalam soal mangrove, BRGM berfungsi seperti unit khusus yang ditugasi presiden membantu kementerian mempercepat rehabilitasi. BRGM mendapat amanat merehabilitasi 600 ribu hektare kawasan bakau yang kritis selama empat tahun. Fokusnya di sembilan provinsi: Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Papua.
Hartono mengatakan penyebab rusaknya area bakau beragam. Di Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Barat, pohon bakau ditebang untuk dijadikan kayu bakar dan arang. "Arang mangrove mahal. Bisa diekspor ke Jepang," tuturnya. Ada juga area yang beralih menjadi tambak, seperti banyak terjadi di Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan sepanjang pantai utara Jawa.
Pada 2020, BRGM merehabilitasi 18 ribu hektare kawasan mangrove. Tahun ini targetnya 83 ribu hektare. Hartono mengungkapkan, ia harus optimistis mengejar target itu. Saat bertemu dengan Presiden Jokowi pada Februari lalu, ia mengaku menerima pesan: "Kita punya kerja besar. Tolong kerjakan dengan baik bersama semua kementerian dan mitra yang berkaitan dengan mangrove. Perkara anggaran, itu urusanku."
Yuyun mengatakan rehabilitasi bakau memang tidak mudah. Sebagian area sudah menjadi tambak, permukiman, dan pelabuhan. Masih menjadi tanda tanya, apakah BRGM berani menyelamatkan bakau di area konsesi atau yang terkena proyek infrastruktur. "Kalau mau serius, jangan lagi dibolehkan sawit atau infrastruktur di lahan mangrove. Kalau sudah telanjur masuk konsesi, ya harus berani mengeluarkannya," ucapnya.
ABDUL MANAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo