Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rusak Mangrove karena Lumpur Tambang

Warga memprotes limbah penambangan milik PT Aneka Tambang Tbk yang memenuhi kawasan bakau di Tanjung Moronopo Kecamatan Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara. Kehadiran tambang mengubah perairan dan kehidupan nelayan.

8 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua AMAN Halmahera Timur Sihabudin Abubakar bersama warga di kawasan mangrove yang digenangi lumpur limbah penambangan, di Tanjung Moronopo, Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara, 7 April 2021./Dok. Warga Halmahera Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Limbah lumpur penambangan PT Aneka Tambang Tbk menggenangi mangrove Tanjung Moronopo Kecamatan Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara.

  • Sedimentasi di pesisir disebabkan oleh jebolnya tanggul penahan akibat curah hujan tinggi.

  • Kehadiran tambang berdampak terhadap kondisi perairan dan hasil tangkapan nelayan.

SAHBUDIN Abubakar merasa kawasan mangrove di Tanjung Moronopo, Kecamatan Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara, tidak baik-baik saja. Mulai ditanam sekitar 16 tahun lalu, tanaman bakaunya seperti tidak bertumbuh. Ia sangat yakin bahwa kemandekan itu terjadi akibat limbah penambangan nikel di daerah tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Limbah berwujud lumpur yang mengalir ke pesisir dan merendam kawasan bakau bukan hal baru. Tapi yang terjadi pada awal April lalu itu berbeda. "Tutupan lumpur kali ini paling parah. Hampir sepanjang pantai Tanjung Moronopo ditutupi endapan lumpur tambang. Warna air laut berubah menjadi kuning. Mangrove yang baru ditanam pun jadi rusak," kata pemuda Desa Maba Pura itu, Senin, 26 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejadian itu mendorong belasan penduduk dari berbagai daerah di sekitar Tanjung Moronopo mendatangi kawasan bakau yang tercemar pada 7 April lalu. Mereka datang sebagai protes atas tumpahnya limbah lumpur dalam jumlah besar. Sebagian tetap berada di pesisir. Sebagian lain, termasuk Sahbudin, turun mengukur kedalaman endapan lumpur yang tingginya sedada orang dewasa.

Menurut Sahbudin, luapan lumpur di sepanjang pesisir Moronopo itu berasal dari penambangan bijih nikel yang dilakukan dua subkontraktor PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, pemilik konsesi tambang nikel yang cukup luas di Halmahera Timur. Kedua perusahaan itu adalah kontraktor jasa pengelolaan operasi tambang yang meliputi overburden removal, transshipment, dan pengangkutan bijih nikel di Moronopo.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara Fachruddin Tukuboya mengatakan sedimentasi lumpur di pesisir Moronopo ini muncul akibat tanggul penahan di perusahaan tambang jebol. "Sementara ini kami masih menunggu hasil verifikasi. Kami juga akan menurunkan kembali tim kedua untuk mencari tahu dampak terhadap pesisir laut," ucapnya, Rabu, 28 April lalu.

PT Antam, seperti disampaikan Senior Vice President Corporate Secretary Yulan Kustiyan, menyatakan prihatin atas munculnya tumpukan sedimen itu dan berkomitmen membantu pemerintah menanganinya. "Sedimentasi terjadi karena curah hujan ekstrem yang mencapai 982,1 milimeter pada Maret 2021, meningkat 500 persen dibanding rata-rata setahun terakhir," ujarnya, Jumat, 7 Mei lalu. Curah hujan tinggi itu meningkatkan debit air di jalur aliran permukaan di tambang Moronopo.

Saat ditanyai soal jebolnya tanggul penahan, Yulan menjelaskan bahwa Antam memiliki prosedur pencegahan dan melakukan mitigasi melalui pembangunan pengendali erosi dan sedimentasi tambang. "Termasuk pembangunan drainase, check dam, dan sebagainya," tuturnya. Sebelumnya, Antam juga menanam sekitar 30 ribu pohon bakau untuk menahan erosi dan abrasi. Perusahaan pun telah berkoordinasi dengan masyarakat setempat untuk mendukung perbaikan area pesisir, termasuk penanaman dan perawatan bakau di area yang terkena dampak sedimentasi.

•••


AKTIVITAS penambangan, juga alih fungsi lahan menjadi tambak atau pembangunan infrastruktur, menjadi beberapa penyebab rusaknya kawasan bakau di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas kawasan bakau yang tersebar di seluruh Indonesia sampai tahun ini mencapai 3,31 juta hektare. Area yang paling luas berada di Papua, yaitu 1,4 juta hektare. Dari jumlah tersebut, sebanyak 600 ribu hektare dalam kondisi kritis.

Sahbudin Abubakar mengungkapkan, kawasan di pesisir Moronopo terbentang kurang-lebih 700 meter dengan luas 71 ribu meter persegi. Bakaunya dari jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora pilosa, dan Rhizophora apiculata. Tinggi pohon bisa mencapai 27 meter dengan diameter batang 70 sentimeter. Pohon bakau jenis ini kerap ditanam untuk menahan luapan material darat menuju laut.

Ruh Marsaoly, 32 tahun, pemuda adat Maba Pura, menyebutkan pencemaran bakau oleh lumpur ini bukanlah yang pertama. Pada 2012, sedimentasi lumpur akibat tambang nikel pernah pula merendam pesisir Desa Maba Pura yang berdampak pada berkurangnya tangkapan ikan nelayan. Saat itu masyarakat juga menggelar aksi protes, tapi tak ditanggapi.

Marsaoly menilai pertambangan mengubah banyak kehidupan ekonomi penduduk. Sebelum ada tambang, perairan di Teluk Buli merupakan sumber hidup ratusan nelayan Halmahera Timur. Banyak yang menggantungkan hidup pada penangkapan ikan pelagis kecil, teri, dan goropa di perairan Buli. Semuanya berubah drastis sejak tambang mulai beroperasi intensif lebih dari sepuluh tahun lalu.

Menurut Marsaoly, kini banyak nelayan terpaksa melaut lebih jauh lantaran ikan sulit ditemukan di Teluk Buli. Jaring yang biasa dipakai nelayan untuk menangkap ikan pun saat ini harus rutin dibersihkan dan dicuci karena sering kotor oleh lumpur. "Sekarang susah untuk jadi nelayan di Buli," kata Marsaoly.

Sahbudin mengatakan dulu masih banyak nelayan yang mencari teri memakai bagan. Semua berubah setelah tambang datang. "Karena teri tak lagi mudah dicari seperti dulu," ucap Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Halmahera Timur ini. Ia menambahkan, ada juga warga yang kemudian beralih menjadi pekerja di perusahaan tambang.

Selain harus melaut lebih jauh ke luar teluk, kini nelayan kerap terganggu oleh kapal pengangkut nikel berukuran besar milik perusahaan tambang. "Kapal pengangkut itu sangat mengganggu nelayan yang mencari ikan di sekitar Pulau Pakal," ujar Sahbudin. Ia berharap ada pengaturan zonasi nelayan dengan jalur kapal pengangkut nikel ini.

Soal dampak penambangan terhadap perairan dan tangkapan nelayan ini pernah diteliti Deni Sarianto bersama Domu Simbolon dan Budi Wiryawan. Laporannya diterbitkan jurnal Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, pada 2016. Studi itu menyimpulkan bahwa tambang nikel berpengaruh besar terhadap penurunan kualitas perairan dan ukuran ikan layak tangkap, terutama melalui alat tangkap bagan.

Menurut Deni, pertambangan nikel di Halmahera Timur dilakukan di lahan terbuka. Otomatis tanah menjadi lunak. Saat turun hujan, tanah yang lunak akan jatuh mengikuti aliran air menuju pesisir. Hal itu mempengaruhi kualitas perairan. "Hewan, ketika lingkungannya berubah, akan lari ke daerah lain untuk bisa hidup. Ikan pelagis, misalnya, bisa pindah. Tapi hewan yang tak bisa pindah, seperti kerang timah, merasakan dampaknya secara langsung," ucap pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Pariaman, Sumatera Barat, ini, Kamis 6 Mei lalu.

Ihwal dampak penambangan terhadap penduduk, Yulan Kustiyan mengatakan Antam sudah melaksanakan kewajibannya kepada masyarakat di sekitar wilayah operasi. Ia mengutip penelitian akademikus dari Universitas Khairun, Ternate, yang mengatakan sedimentasi di pesisir Moronopo itu bersifat sementara dan tidak akan mengganggu aktivitas nelayan. Ia menambahkan, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Halmahera Timur 2010-2029, Moronopo merupakan kawasan pertambangan dan pertumbuhan ekonomi.

Jaringan Advokasi Tambang memberi catatan tentang buruknya aktivitas penambangan nikel di Halmahera Timur. Salah satunya kegiatan tambang kerap mengabaikan prinsip keseimbangan ekologis. Penambangan dengan cara membongkar tutupan hutan kerap merusak lingkungan di daratan, juga ruang laut yang merupakan wilayah tangkap nelayan.

Penambangan nikel pun mengancam keberadaan pulau-pulau kecil di Halmahera Timur. Sedikitnya tiga pulau kecil di Buli rusak akibat penambangan nikel secara terbuka. Masalah lain adalah kerap terjadi konflik perusahaan dengan masyarakat karena banyaknya ruang hidup, seperti lahan perkebunan, pertanian, dan pangan, yang hilang. "Seharusnya pemerintah mengevaluasi aktivitas tambang seperti ini," kata Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Nasional.

ABDUL MANAN, BUDHY NURGIANTO (TERNATE)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus