Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Remuk Karang Tersapu Pukat

Nelayan Vietnam mencuri ikan di Laut Natuna Utara memakai pukat yang merusak terumbu karang. Nelayan Natuna melaut lebih jauh.

1 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pair trawl atau pukat hela dasar yang ditarik dua kapal menjadi biang kerusakan terumbu karang di Laut Natuna Utara.

  • Karang laut dalam menjadi rumah bagi ikan demersal seperti kakap merah dan kerapu.

  • Rusaknya karang yang menjadi sarang ikan itu membuat nelayan Natuna harus melaut lebih jauh dan memancing lebih lama.

RAHMAD Wijaya menunjuk grafik di layar berwarna seukuran buku tulis dari perangkat pencari ikan bermerek Furuno yang diletakkan dekat kemudi kapal ikannya. Ia fasih menjelaskan fungsi angka dan diagram garis yang memperlihatkan kondisi terumbu karang di dasar laut. “Yang menandakan ada ikannya itu adalah karang. Sekarang karang-karang sudah rusak karena pair trawl,” kata Rahmad kepada Tempo, yang mengikutinya melaut di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, awal November 2021.

Dengan monitor alat pencari ikan itu, Rahmad menjelaskan perbedaan bentuk garis yang ditampilkan. Garis bergelombang, tutur Rahmad, berarti gundukan terumbu karang yang merupakan rumah ikan. Mereka menyebut tempat mencari ikan memakai pancing ulur itu “ATM”. Sedangkan titik-titik menandakan karangnya telah pecah. Rahmad menduga karang itu rusak akibat tersapu alat tangkap pair trawl yang biasa digunakan kapal ikan Vietnam.

Dugaan Rahmad bukan tanpa bukti. Bila titik koordinat karang yang rusak itu disandingkan dengan data posisi kapal-kapal asing dan pencuri ikan di wilayah Indonesia, ternyata hasilnya klop. Lokasi kapal-kapal penangkap ikan asal Vietnam yang mengoperasikan pair trawl—pukat hela dasar dua kapal—itu diperoleh dari hasil analisis citra satelit Sentinel-2 dan data automatic identification system oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).

Peneliti IOJI, Imam Prakoso, mengatakan, berdasarkan citra satelit, terdapat 700 titik lokasi kapal nelayan Vietnam di Laut Natuna Utara selama Maret-November 2021. Jika ditumpang-tindihkan, keberadaan kapal-kapal itu beririsan dengan titik koordinat karang yang rusak. Irisan kawasan itu, ucap Imam, berada 30 mil laut (55,6 kilometer) dari garis teritorial Kabupaten Natuna, di bawah garis landas kontinen Laut Natuna Utara. “Itu sudah kawasan perairan kita,” ujar Imam.

Penggunaan pair trawl yang dilarang, Imam menambahkan, juga terdeteksi dari citra satelit. “Kapal-kapal itu beroperasi dengan pola berpasangan dan bergerak lurus dengan kecepatan tetap,” katanya. Ia melanjutkan, dugaan kerusakan karang sangat relevan dengan data IOJI karena pair trawl itu sangat merusak ekosistem laut. “Yang terjadi di Vietnam seperti itu. Ikan mereka habis karena marak pair trawl sejak lima tahun lalu,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nelayan Vietnam diatas kapal pair trawl yang digunakannya melaut di Laut Natuna Utara. TEMPO/Yogi Eka Sahputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Peneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Muhammad Abrar, menjelaskan, laut pada kedalaman 30-60 meter memang memiliki bongkahan karang yang terbentuk dari struktur kapur yang keras. Karang itu menjadi rumah ikan demersal seperti kerapu dan kakap merah. Ketika karang laut dalam rusak, kata Abrar, pemulihannya lebih lambat daripada pemulihan karang di pesisir. “Karang biasa pemulihannya paling cepat tiga tahun, karang di laut dalam bisa mencapai sepuluh tahun.”

Abrar mengungkapkan, pemerintah harus mengambil langkah konkret atas kerusakan ekosistem laut di Indonesia. Salah satunya di Laut Natuna Utara, yang menjadi sasaran kapal asing dengan pukat hela dasar. Langkah itu, Abrar menambahkan, antara lain mengeluarkan moratorium penangkapan ikan di lokasi yang karangnya sudah rusak untuk pemulihan. “Selama moratorium, karang laut bisa pulih lebih cepat secara alami,” ucapnya.

Hal yang sama disampaikan Ketua Pusat Penelitian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang, Dony Apdillah. Menurut dia, karang laut dalam adalah ekosistem yang sangat penting bagi ikan, termasuk menjadi tempat pemijahan. “Kalau (karang) itu dirusak, ikan akan lari,” katanya. Karang juga menjadi tempat ikan demersal menghindari pemangsa. “Natuna incaran kapal asing karena ikannya bernilai jual tinggi, seperti napoleon, kakap merah.”

PAIR trawl, ucap Rahmad Wijaya, menjadi biang kerusakan terumbu karang di Laut Natuna Utara karena memiliki jaring besar dan panjang dengan pemberat tembaga. Ketika pair trawl ditarik dengan dua kapal, alat tangkap ikan ini akan menyapu dasar laut, menyeret apa saja yang ada di jalurnya. “Dulu sewaktu Bu Susi (Pudjiastuti) menjabat (Menteri Kelautan dan Perikanan), kehancuran karang tidak separah ini,” tutur Rahmad.

Menggunakan perangkat sistem penentu posisi global (GPS) Garmin 72H, Rahmad menunjukkan beberapa lokasi karang yang rusak akibat pair trawl. Misalnya di titik koordinat 5o Lintang Utara dan 107o Bujur Timur (BT) serta 108o BT dan 109o BT. Ketiga titik koordinat itu berada 60 mil laut (111 kilometer) sebelah utara pantai Pulau Laut atau 110 mil laut (204 kilometer) dari Pantai Ranai, Pulau Natuna Besar, Kepulauan Natuna.

Ia juga menunjukkan daftar titik koordinat karang tempatnya biasa memancing ikan. Ada seribuan titik koordinat yang disimpan dalam buku catatannya. Separuh titik lokasi memancing Rahmad itu sudah rusak. “Yang saya centang itu karang yang tidak rusak,” ujar Rahmad sambil memperlihatkan berlembar-lembar buku yang berisi titik koordinat yang tidak memiliki tanda centang.

Nelayan Natuna lain, Dedi—namanya hanya satu kata—juga menyampaikan perihal musnahnya karang tempat ikan bersarang. Menurut dia, semua karang sudah habis, terutama di tempat nelayan tradisional melaut, yaitu di garis 108,2447 o BT, 109,3900o BT, 107,4029o BT, dan 107,5212o BT. Lokasi itu, kata Dedi, adalah sarang ikan kakap merah dan anggoli.

Rusaknya karang tersebut membuat pendapatan nelayan menurun drastis. Nelayan Natuna pun terpaksa menambah jumlah hari melaut menjadi dua kali lipat serta melaut dengan jarak lebih jauh meskipun hanya memakai kapal berukuran 5 gross tonnage. “Sudah puluhan tahun saya melaut, dan karang menjadi penanda keberadaan ikan,” ucap Rahmad.

Dedi memastikan berkurangnya ikan di kawasan itu disebabkan oleh pair trawl kapal Vietnam. Apalagi Dedi mengetahui kawasan tangkap nelayan Natuna itu menjadi perlintasan kapal asing pencuri ikan. “Kalau hari ini kita dapat banyak ikan di titik karang itu, beberapa bulan lagi habis. Ketika dilihat dari radar, karangnya sudah pecah-pecah. Pasti kerjaan kapal asing itu,” tutur pria 40 tahun tersebut, 3 November 2021.

Dedi terpaksa mencari titik koordinat karang lain untuk mendapatkan lebih banyak ikan agar aktivitas melautnya tak merugi. Bahkan dia melaut jauh hingga ke kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan terkadang sampai ke laut Malaysia. Dari biasanya menempuh jarak 150 mil laut (278 kilometer), Dedi sekarang mesti melaut hingga 200 mil laut (370 kilometer) untuk mendapatkan ikan.

Nelayan lokal memperlihatkan titik lokasi fishing ground nelayan yang rusak akibat pair trawl Vietnam, 3 November 2021. TEMPO/Yogi Eka Sahputra



Imam Prakoso mengatakan nelayan memang harus melaut lebih jauh atau mengubah arah kapal ke timur dekat perairan Malaysia karena berkurangnya tangkapan di laut sendiri. “Dugaan saya, kapal ikan Indonesia akan mengarah ke timur. Di kawasan timur juga sepi lalu lintas kapal barang,” ucap Imam. Ia menyinggung kemungkinan kapal Vietnam juga sudah merambah ke sana. “Selama ini pantauan kita terfokus di utara.”

Menurut Imam, akhir dan awal tahun adalah masa kapal asing Vietnam menangkap ikan di Laut Natuna Utara. Sebab, Natuna saat itu memasuki musim angin utara yang kencang sehingga sepi oleh kapal nelayan lokal. Hal ini antara lain terjadi pada April 2021, saat jumlah kapal Vietnam yang melaut di Natuna mencapai 100. “Itu angka paling tinggi tahun ini. Mungkin ini akan terulang lagi,” ujarnya.

Selain mesti menempuh jarak lebih jauh, nelayan Natuna harus melaut dua kali lipat lebih lama akibat rusaknya spot memancing itu. “Biasanya saya cuma melaut tujuh hari, sekarang terpaksa 14 hari,” kata Dedi. Ia melakukan hal itu agar modal yang dikeluarkan untuk melaut sebesar Rp15 juta per perjalanan bisa kembali. Agar tak buntung, nelayan juga menjual ikan-ikan kecil, seperti kerisi bali yang biasanya dilepas.

Tidak hanya memakai pair trawl, Dedi menambahkan, sekarang nelayan Vietnam menggunakan alat tangkap purse seine (pukat cincin). Target mereka adalah ikan permukaan laut. Caranya, mereka melingkari kawanan ikan dengan jaring yang berbentuk seperti selendang besar. “Mereka melihat potensi ikan dasar sudah tidak ada, makanya pindah ke purse seine,” ujar Dedi, yang juga mengatakan nelayan asing itu bahkan berani memasang rumpon di perairan Indonesia.

Berkurangnya tangkapan juga dirasakan nelayan pesisir seperti tekong atau kapten kapal kecil Syamsul Karim. Bapak dua anak ini biasanya melaut hingga jarak 50 mil laut (94 kilometer) dari Pantai Ranai. Sekarang ia harus melaut sejauh 100 mil laut (183 kilometer) agar membuahkan hasil. "Saya cuma cari tongkol, tapi sudah susah juga sekarang," ucap Syamsul.

Dedi menyatakan kerap mendapati kapal asing menggunakan pair trawl. Ia mengaku menyimpan ratusan video kapal asing yang terbukti melaut di Indonesia lengkap dengan titik koordinat dan tanggal kejadiannya. Tapi, setiap kali aksi itu dilaporkan, tidak pernah ada perubahan. “Kita minta pemerintah menghilangkan kapal asing yang mencuri ikan di laut Natuna,” katanya.

Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, mengatakan kapal asing Vietnam selalu ada di Laut Natuna Utara yang tak dilayari kapal patroli Indonesia. “Mereka sudah abadi di laut kita, tidak pernah hilang,” tuturnya. Hendri mengaku sudah capek melapor lantaran tak ada penyelesaian. Jika pemerintah serius, kata Hendri, permasalahan kapal asing ini bisa diselesaikan. “Zaman Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti), kapal asing tidak masuk ke perairan Indonesia. Dulu 150 mil dari batas laut kita, sekarang 40 mil saja ada kapal asing.”

Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Natuna Zakimin mengamini kabar bahwa produksi ikan tangkap nelayan Natuna berkurang akibat pair trawl dan purse seine kapal nelayan asing. "Kalau di tengah laut sudah dihabisi kapal asing, nelayan kita yang menggunakan alat tradisional tak dapat lagi," ujarnya. Ikan yang jumlahnya berkurang, dia melanjutkan, terutama yang berada di dasar laut dengan sistem perkembangbiakan migrasi ke bagian pesisir, seperti tongkol. "Makanya produksi ikan tangkap menurun," katanya.

Zakimin menyatakan pencurian ikan di Laut Natuna saat ini menjadi permasalahan nasional sehingga peran pemerintah pusat sangat penting. Nelayan lokal, dia melanjutkan, takut melaut karena terganggu oleh kapal asing. "Kami sebagai pemerintah daerah hanya bisa minta mereka melaporkan setiap kali ada kapal asing kepada pihak berwajib. Persoalan laut ada di pemerintah pusat," tuturnya.

Data Dinas Perikanan Kabupaten Natuna malah menunjukkan kenaikan angka produksi ikan tangkap. Dari produksi sebanyak 65 ribu ton ikan di Natuna pada 2016, kenaikan tercatat pada 2017 (86.141 ton), 2018 (87.248), 2019 (104.879 ton), dan 2020 (120.583 ton). Menurut Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Perikanan Kabupaten Natuna Dedi Damhudi, produksi meningkat karena bertambahnya kapal, alat tangkap, dan nelayan di Laut Natuna Utara. "Sekarang banyak warga beralih profesi jadi nelayan karena harga ikan di Natuna sangat bersaing," katanya.

*) Liputan kerusakan terumbu karang di Laut Natuna Utara ini didukung oleh Environmental Justice Foundation.


Ingin berdiskusi dengan redaksi mengenai artikel di atas? Mari bergabung di grup Telegram Satu Bumi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yogi Eka Sahputra

Yogi Eka Sahputra

Kontributor Tempo di Tanjungpinang, Kepulauan Riau

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus