Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menerbitkan peraturan baru tentang pekerja migran.
Pekerja wajib mendapat surat izin keluarga atau wali bila memperpanjang kontrak kerjanya.
Para pekerja migran di Hong Kong memprotes karena dipersulit dan ada potensi korupsi.
PERTEMUAN virtual perwakilan buruh migran Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan dengan pejabat Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada Selasa siang, 21 Desember lalu, berlangsung panas. Perwakilan pekerja meminta BP2MI mencabut syarat surat izin wali dalam perpanjangan kontrak pekerja di luar negeri. Namun para pejabat berkukuh bahwa surat itu tetap wajib ada. "Peserta akhirnya marah dan walk out," kata Sringatin, Ketua Indonesian Migrant Workers Union dan Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia yang hadir dalam pertemuan yang berlangsung sekitar setengah jam tersebut, Selasa, 28 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keributan ini bermula dari pengumuman Konsulat Jenderal RI untuk Hong Kong dan Makau di laman Facebook pada 10 Desember lalu. Konsulat menyatakan pekerja migran Indonesia yang akan memperpanjang kontrak kerja atau berganti majikan perlu menyertakan salinan surat persetujuan dari suami, istri, orang tua, atau wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah setempat. Aturan ini akan diberlakukan mulai 1 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan baru ini mengacu pada Peraturan BP2MI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Standar, Penandatanganan, dan Verifikasi Perjanjian Kerja Pekerja Migran Indonesia. Peraturan BP2MI yang ditandatangani Kepala BP2MI Benny Rhamdani pada 23 April 2020 itu sebenarnya turunan dari Pasal 15 Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengenai pembuatan dokumen perjanjian kerja antara pekerja dan pemberi kerja. Tak ada keterangan tentang surat wali dalam pasal tersebut. Adapun surat wali terdapat dalam pasal lain mengenai dokumen yang wajib dimiliki calon pekerja. Masalahnya, para pekerja yang memperpanjang kontrak tentulah bukan calon pekerja baru.
Dulu para pekerja biasanya dikontrak selama tiga tahun dan harus pulang ke Tanah Air setelah kontrak berakhir dan dapat berangkat lagi dengan kontrak baru. Belakangan, sejumlah negara, seperti Hong Kong dan Taiwan, mengizinkan perpanjangan kontrak bagi pekerja rumah tangga tanpa perlu pulang ke negara asal. Hal ini menguntungkan pekerja karena pulang ke kampung halaman dan berangkat lagi akan memakan biaya dan berisiko dalam perjalanan.
Selama masa pandemi Covid-19, banyak pekerja migran di Hong Kong yang tidak bisa pulang dan akhirnya memperpanjang kontrak atau pindah ke majikan lain. Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, menduga syarat surat wali ini keluar karena banyak pekerja yang memperpanjang kontrak tanpa melalui agen penempatan tenaga kerja. "Tapi itu kan hak pekerja migran. Dan, menurut hukum Hong Kong dan Taiwan, diperbolehkan," ucapnya.
Wahyu menilai aturan baru ini membuat pekerja migran menjadi bergantung. Menurut dia, usia pekerja migran melebihi 18 tahun sehingga secara hukum mereka bisa bertindak sendiri, seperti membuat kontrak kerja. "Surat itu sebenarnya alat kontrol saja bagi BP2MI dan hanya menampung aspirasi dari agen penempatan tenaga kerja," tuturnya. "Surat itu berbiaya. Ada teman-teman yang mengeluh karena membikin suratnya memakan ongkos Rp 1-2 juta."
Yana Sulistyana, pendiri dan Ketua Sahabat Migran Peduli, menyatakan pemerintah Hong Kong sebetulnya tidak mensyaratkan surat wali dalam perpanjangan kontrak. Namun pengurusan kontrak itu membutuhkan cap dari Konsulat, yang kini mensyaratkan lampiran surat wali. Banyak negara, kata dia, sudah mengizinkan pekerja migran membuat kontrak mandiri, seperti Filipina.
Sringatin memperkirakan sekitar 4.000 pekerja migran Indonesia di Hong Kong akan memperpanjang kontrak mereka. Dia mengatakan para pekerja keberatan atas syarat surat wali ini karena merepotkan, ada potensi korupsi, dan tidak ada manfaatnya. Mereka, dia melanjutkan, mengeluhkan kerumitan pembuatan surat itu di desa, sementara mereka sedang berada di luar negeri. Bahkan ada ketidaksinkronan aturan karena beberapa orang malah diminta perangkat desa mengurusnya ke kantor dinas tenaga kerja. "Kita sudah tahu, lah, betapa ribet mengurus surat di Indonesia. Prosesnya lama dan ada biaya-biaya tambahan," ujarnya.
Masalah lain, Sringatin menambahkan, banyak pekerja yang tak punya orang dewasa di rumah mereka yang bisa mengeluarkan surat itu. Selain itu, ada beberapa orang sedang berkonflik, misalnya dengan pasangannya, yang menjadi sumber eksploitasi baru bagi pekerja.
Fajar, perempuan pekerja migran di Taipei, Taiwan, menuturkan bahwa banyak kawannya yang statusnya digantung karena masih bermasalah dengan suami. "Ada ancaman dari pihak suami, 'Kau mau pulang atau saya tidak tanda tangan'," katanya. Menurut dia, budaya patriarki di Indonesia masih kuat dan perempuan berada di pihak yang lemah dalam urusan surat wali ini.
Fajar sempat kerepotan mengurus surat semacam itu. Pada 2017, perempuan asal Tulungagung, Jawa Timur, ini harus membuat surat tersebut untuk perpanjangan kontrak, yang saat itu disyaratkan oleh Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia Taipei. Masalahnya, orang tua dan suaminya sudah meninggal. Satu-satunya yang bisa membantu adalah saudaranya di daerah lain, yang jelas membutuhkan biaya untuk mengurus surat tersebut di desanya. "Karena saya masih memakai data lama (sebelum suaminya meninggal), otomatis suratnya dimanipulasi dengan tetap atas nama suami dan distempel ketua rukun tetangga dan rukun warga. Uang lagi, kan," ujarnya.
Menurut Fajar, perkara perizinan ini pada kenyataannya cuma urusan bisnis. Pekerja di Taiwan sebenarnya tak memerlukan surat wali bila ada sponsor dari warga Taiwan, yang meminta ongkos sekitar Rp 5 juta. Agen penempatan tenaga kerja juga menawarkan diri untuk mengurusnya dengan biaya Rp 3 juta. Padahal, kata dia, pemerintah Taiwan tidak mensyaratkan surat wali tersebut. "Ini menjengkelkan. Dengan dalih perlindungan mereka membuat aturan semacam ini dan lucu sekali kalau mereka masuk hingga ke ranah domestik begini," tuturnya.
Para pekerja migran Hong Kong terus memprotes aturan ini dengan berbagai cara. Beberapa orang yang bisa ke luar rumah menyatroni kantor Konsulat Jenderal RI dan berdemonstrasi di sana. Ada juga yang membuat foto mereka memegang poster berisi penolakan dan kemudian menyebarluaskannya di media sosial.
Tempo mencoba menghubungi Benny Rhamdani dan mengirim surat elektronik ke BP2MI, tapi keduanya tidak menanggapi hingga artikel ini ditulis. Dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo pada Jumat, 31 Desember lalu, Konsulat Jenderal RI di Hong Kong menjelaskan bahwa peraturan baru BP2MI ini merupakan bentuk tanggung jawab negara kepada keluarga pekerja migran di Indonesia.
Konsulat menyatakan sangat sering ditanyai oleh keluarga pekerja mengenai keberadaan anggota keluarga mereka yang sudah lama tidak berkabar padahal kontraknya sudah selesai dan diharapkan bisa pulang. "Pertanyaan tersebut mencerminkan kekhawatiran keluarga terhadap keberadaan dan keselamatan anggota keluarganya yang sedang bekerja di luar negeri," kata Konsulat.
Konsulat mengaku sudah menerima berbagai keberatan dari pekerja migran. Konsulat juga telah berdialog dengan berbagai elemen pekerja migran dan sebagian besar menilai aturan itu mempersulit pekerja karena sejumlah kendala, seperti potensi kehilangan pekerjaan apabila sulit memperoleh surat tersebut dari Indonesia, hubungan rumah tangga yang kurang harmonis antara pekerja dan pasangannya, pembuatan surat akan memakan waktu dan biaya, fasilitas jaringan Internet tidak memadai di daerah asal, tidak memiliki orang tua ataupun saudara, serta praktik pungutan liar.
Setelah menerima berbagai pandangan dan masukan tersebut, pada 17 Desember lalu, Konsulat mengumumkan "rencana penerapan surat persetujuan wali tidak dilaksanakan". Konsulat menyatakan telah berkoordinasi dan menyampaikan masukan para pekerja kepada BP2MI agar mengkaji lebih lanjut pemberlakuan aturan baru tersebut.
Menurut Yana Sulistyana, keluarnya keputusan Konsulat itu bukan berarti aturan tentang buruh migran ini batal. "Saat ini tetap berlaku, tapi akan ada penundaan pelaksanaannya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo