Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Padi mati diracun limbah

Limbah pabrik kaus, pt frans brother sejati, menyebabkan dua kali panen petani desa sukaharja, tangerang gagal. petani hanya menerima ganti rugi rp 500.000 per hektare.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEPATAH lama yang berbunyi "merentak (menari) di ladang orang" mungkin sekarang bisa dilengkapi dengan pepatah modern yang kata-katanya adalah "membuang limbah di sawah orang". Maknanya yaitu: bersenang-senang di lahan orang lain sambil melepas kotoran pabrik. Akibatnya, rakyat kecil pun menderita. Pepatah kombinasi lama dan baru itu diilhami oleh aksi protes petani Tangerang yang dilancarkan belum lama berselang. Protes pertama terjadi awal Januari silam. Kira-kira 100 orang penduduk Kampung Pasirgadung, Desa Sukaharja, Kecamatan Pasir Kemis, Tangerang, Jawa Barat, berbondong-bondong mendatangi PT Frans Brothers Sejati. Limbah pabrik pembuat kaos itu, kata mereka, telah menyebabkan gagalnya panen padi di atas 22 ha sawah milik 90 kepala keluarga. "Mereka membuang limbah ke saluran yang mengalir ke sawah," kata Muhili, pemilik lebih dari setengah hektare lahan yang terletak persis di dekat kompleks pabrik. "Limbahnya kental seperti minyak. Warnanya merah, kuning, hijau, cokelat, atau putih, tergantung bahan pewarna kaus," ia melanjutkan. Hatta, lumpur yang semula hitam berubah menjadi cokelat. Air pun menyebabkan kulit gatal-gatal. Dan yang mengenaskan Muhili, akar padi membusuk sedangkan di bagian dalam batangnya timbul bintik-bintik hitam. Pertumbuhannya macet dan sebagian daunnya berwarna cokelat. Seluruh padi di kawasan itu tumbuh kerdil dan cokelat: tinggal menunggu detik-detik terakhir untuk mati. Camat Pasirkemis Sy. F. Lubis menyatakan, pabrik Frans Brothers memang tidak memiliki pengolah dan saluran pembuangan limbah. "Ia hanya punya sebuah kolam penampung 8 X 3 meter yang disekat menjadi enam bagian." Dari kolam ini, limbah dibuang ke saluran air di luar pabrik dan langsung ke sawah penduduk. Ketika Frans Brothers mulai beroperasi pada 1989, penduduk belum menyadari akibatnya. Pada musim tanam Oktober 1991, mereka baru mulai bertanya: mengapa padi tumbuh kerdil lantas mati Tapi mereka tidak segera menuding Frans Brothers karena kebetulan waktu itu musim kemarau melanda Tangerang. Tahun 1992, tibalah musim tanam berikutnya. Kemarau berlalu, hujan turun deras. Anehnya, padi masih kontet juga. Seorang mantri pertanian pernah datang menyelidiki. Menurut Muhili, sang mantri waktu itu tak sepenuhnya menyalahkan Frans Brothers. Alasannya, padi bonsai bisa muncul karena dua penyebab: 25% oleh penyakit dan 75% lantaran limbah. Namun, penduduk meragukan adanya penyebab pertama. Mereka lebih percaya bahwa sumber bencana itu adalah limbah pabrik. Awal Januari mereka pun bergerak, menyatroni pihak pabrik dengan tujuan menuntut ganti rugi. Sekali, dua kali, tiga kali, ditampik. Pintu gerbang pabrik ditutup rapat. "Baru pada protes keempat kalinya, 7 Februari silam, pihak pabrik bersedia bermusyawarah," ujar Muhili. Kedua pihak bertemu di Balai Desa Sukaharja, Kamis dua pekan silam (13 Februari 1992), disaksikan oleh Kepala Kampung Pasirgadung, Kades Sukaharja, petugas Dinas Pertanian dari Kabupaten Tangerang dan Kecamatan Pasirkemis. Di situlah penduduk mengajukan tuntutan. Mula-mula Frans Brothers hanya bersedia memberikan ganti rugi Rp 275.000 untuk setiap hektare tanaman yang gagal. Uang yang tidak seberapa itu hanyalah untuk pengganti bibit dan ongkos kerja. Tentu saja petani menuntut lebih. Apalagi mereka sudah dua kali dirugikan. Menurut mereka, setiap kali musim tanam, modal yang dikeluarkan mencapai Rp 250.000 per hektare. Bila panen, setiap hektare menghasilkan sedikitnya tiga ton seharga Rp 750.000. Kerugian dalam dua musim tanam minimal Rp 1,5 juta. Akhirnya Frans Brothers bersedia membayar Rp 500.000. Angka ini merupakan selisih hasil jual gabah per hektare dengan modal produksi sekali musim tanam. Kegagalan sebelumnya tidak diperhitungkan. Frans Brothers juga berjanji akan memperbaiki sistem pengendalian limbahnya, dengan membuat gorong-gorong untuk membuang sampah pabrik ke rawa yang tak jauh dari persawahan. Sabtu pekan silam, tiap petani menerima uang sesuai dengan luas sawahnya yang tercemar. Sangat kuat terkesan bahwa sebagian besar petani merasa tak puas. "Daripada tak diganti sama sekali, saya terpaksa menerimanya," ujar Haji Sulaiman, yang dua hektare sawahnya rusak. Sedangkan gorong-gorong entah kapan akan dibuat. Sementara itu, pihak pabrik lebih suka tutup mulut, apalagi terhadap wartawan. Kasus di Pasirgadung itu tampaknya hanya satu dari sekian banyak konflik antara petani dan pengusaha. Frekuensi konflik semakin meningkat sejak beberapa tahun berselang, ketika industri kian digalakkan demi meningkatkan ekspor nonmigas. Akibatnya, lahan pertanian bukan saja menciut dilahap oleh industri tapi juga tercemar. Seiring dengan itu, kelangsungan hidup para petani terancam. Dalam sebuah seminar di Jakarta, belum lama berselang, ahli planologi ITB, Dr. Tommy Firman, mengungkapkan bahwa 18 ribu hektare lahan pertanian di Jawa Barat akan disulap menjadi daerah industri. Sebagian besar berlokasi di Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Botabek). Tak mengherankan bila Kabupaten Bekasi, misalnya, kehilangan 200 hektare lahan pertanian per tahun. Itu belum termasuk yang akan dijadikan kawasan permukiman. Dari kantor Departemen Pertanian pun terlontar kecemasan. Konversi lahan pertanian (sawah) ke pemanfaatan nonpertanian di Indonesia (seperti untuk industri dan real estate), rata-rata mencapai 16.000 ha per tahun. Khusus di Jawa, menurut Menteri Pertanian Wardoyo, terjadi pengurangan lahan hingga 0,42% per tahun. Sedangkan laju pertumbuhan di sektor pertanian cenderung menurun dari Pelita ke Pelita. Pada Pelita III mencapai 4% per tahun, dua tahun pertama Pelita V ini hanya 3,6% per tahun. Priyono B. Sumbogo dan Siti Nurbaiti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus