KEGIATAN teater di Surabaya hidup lagi. Dan kali ini kegiatan itu benar-benar gila. Bukan hanya lantaran repertoar yang dipentaskan berjudul Laboratorium Gila, tapi juga karena disuguhkan adegan yang benar-benar "gila". Ada pemeran utama yang telanjang di tengah panggung . . .. Mungkin begitu gaya Akhudiat menggebrak publiknya setelah selama dua tahun grup teaternya, yakni Bengkel Muda Surabaya, absen dari pentas. Sutradara dan penulis naskah drama absurd itu pernah memenangkan lomba penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta pada 1972 dan 1975. Begitulah, selama dua malam minggu lalu, Akhudiat menyulut "kegilaan" di Surabaya Mall. Ceritanya berasal dari naskah film One Flew over the Cukckoo's Nest karya Ken Kesey yang dibintangi Jack Nicholson. Setelah diolah menjadi naskah drama oleh Dale Wassermen, naskah itu pun diadaptasi oleh Akhudiat. Ceritanya melukiskan suasana rumah sakit gila dengan berbagai aturan yang dimaksud sebagai terapi penyembuhan tapi justru membikin tumpul kesadaran para pasiennya. Sampai suatu saat Max Makali, yang dianggap gila karena catatan kriminalnya yang panjang, dijebloskan di sana. Rata-rata permainan 20 pendukung Laboratorium Gila ini bagus, setelah mereka berlatih setiap hari selama enam bulan, diselingi observasi di Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya. Akhudiat yang banyak dibantu asistennya, Hare Rumemper, berusaha sungguh-sungguh memvisualisasi tingkah orang gila. Ada yang berjalan tertatih-tatih. Ada yang minum obat dengan jari saling menelikung. Ada yang "berjalan" dengan kursi roda, dengan tatapan mata kosong sambil membidik-bidikkan teropong. Ada yang membawa guling sementara tangan kanannya sesekali seperti ditarik-tarik ke atas. Max Makali, yang berhasil membangkitkan kesadaran para pasien, akhirnya dilumpuhkan dengan operasi tubektomi. Si Brongkos, penyair bisu yang tidak rela menyaksikan nasib Max, malah membekap tokoh ini dengan bantal hingga tewas. Tapi dengan begitu Brongkos yang selama ini "tertidur" malah jadi sadar, lantas kabur. Max sesungguhnya berusaha menyadarkan para pasien bahwa sebenarnya mereka tidaklah gila. Ia mengajak semua penghuni rumah sakit gila itu minggat. Karena dianggap berbahaya, pasien yang satu ini dilumpuhkan dengan cara yang tidak lazim sebagai terapi bagi orang gila, yaitu operasi tubektomi. Adegan pembunuhan terhadap Max dan minggatnya Brongkos disuguhkan dengan menarik. Max terbujur di ambin dorong di pojok kiri sebelah depan, sementara lima pemain lainnya asyik merubung perawat. Brongkos tampak mengelus, menciumi, dan memeluk Max. Tapi mendadak ia membekapnya dengan bantal. Tubuh Max berkelojotan. Ia dimaki-maki. Sebelum kabur, Brongkos mengangkat sebuah kotak seberat setengah ton dan mendobrakkannya ke pintu. Lantas, ia buru-buru keluar panggung. Para pasien berdiri di meja dan kursi, melambaikan tangan. Pelan-pelan lampu padam, dan tontonan pun usai sudah. Adapun adegan telanjang yang untung tidak disensor itu muncul ketika Max Makali tampil hanya mengenakan selembar handuk. Ketika Suster Citrus yang mengendalikan rumah sakit itu menegurnya, Max malah tertawa dan kontan membuang handuknya. Memang tidak telanjang sebulat-bulatnya. Max masih mengenakan celana dalam. Apakah dengan adegan vulgar ini, Akhudiat ingin memoles pertunjukannya hingga paling tidak ada bau-bau absurdnya? Ternyata tidak demikian. Ia hanya ingin menonjolkan tingkat kegilaan Max Makali. "Kan tidak apa-apa kalau kita selipkan adegan yang menghibur sebagai bumbu," katanya. Tata pentas Laboratorium Gila ini cukup mencekam: warna kelam mendominasi latar belakang dan lantai panggung, sementara beberapa properti meja kursi di sudut kanan, menara kontrol dan telepon di sudut kiri belakang, papan tulis di bagian tengah belakang semuanya putih. Adapun kostum para pemain tentu saja dicocokkan juga dengan pakaian yang biasa dikenakan oleh para pasien: piyama dan celana panjang warna putih. Ada pasien yang mengenakan baju tidur bergaris vertikal biru muda dan abu-abu. Tapi Max mengenakan baju dan celana jins warna biru. Ia selalu bertopi dan tampil gagah. Meskipun berhasil secara realistis menyuguhkan potret suasana sebuah rumah sakit dan perilaku serta nasib para penghuninya, repertoar ini cukup menjemukan karena sarat dengan dialog. Konfliknya kurang tajam, sementara iramanya lamban. "Memang menjemukan," kata Akhudiat mengakui. "Saya memang bermaksud mengajak publik kembali ke sastra. Sementara selama ini kita sering menikmati teater absurd, mungkin teater kata-kata seperti Laboratorium Gila ini bisa menjadi alternatif," tambah Akhudiat, yang pernah mengikuti program penulisan kreatif di Universitas Iowa, AS, tahun 1975. Pergelaran selama dua malam yang menelan biaya Rp 7,5 juta ini -- berasal dari kantung koran Jawa Pos dan donatur lain -- boleh dibilang lancar karena 75% dari 1.000 kursi di gedung pertemuan Surabaya Mall itu terisi. Banyaknya jumlah penonton itu barangkali justru karena tontonan ini tidak terlalu absurd. Budiman S. Hartoyo, Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini