PADA umumnya monopoli dianggap jelek karena mengakibatkan konsumen tidak mempunyai pilihan lain, sehingga pemegang monopoli itu dapat menaikkan harga semaunya. Namun, tidak semua monopoli jelek. Terkadang ada alasan kuat untuk memberikan hak monopoli. Tapi, karena pada umumnya jelek, hak monopoli hanya dapat diberikan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah melalui undang-undang. Ketentuan ini ada di Pasal 3 Ayat 1a. Yang menarik, hak monopoli dapat dinikmati oleh pengusaha tertentu tanpa ada pemberian hak itu. Bila suatu saat suatu bidang usaha tertentu ditutup bagi investor pendatang baru, yang sudah telanjur berusaha dalam bidang itu otomatis mempunyai kedudukan monopolistik. Pengusaha tersebut terbebas dari ancaman persaingan oleh pendatang baru. Penutupan bidang-bidang usaha tertentu terhadap pendatang baru ada dalam daftar negatif investasi yang ditentukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kalau toh daftar ini dirasa perlu, penentuan jenis usahanya supaya dilakukan oleh DPR dan Pemerintah secara bersama-sama, yang diatur dalam bentuk undang-undang. Ini diatur dalam Pasal 2. Monopoli dalam bentuk lain bisa terjadi bila pengusaha sejenis mengadakan kesepakatan untuk menyatukan perilakunya. Akibatnya, konsumen akan berhadapan dengan para pengusaha sebagai satu kesatuan. Hal yang demikian disebut "pengaturan persaingan" seperti yang dijelaskan oleh Pasal 1 Ayat 1. Motif menyatukan perilaku ini, salah satunya, adalah keserakahan, yakni agar dapat menaikkan harga tanpa persaingan. Ini namanya kartel ofensif. Memang, pengaturan persaingan tidak selalu jelek bila diterapkan, ketika cara-cara bersaing sudah menjurus pada penghancuran diri sendiri. Misalnya, persaingan itu sudah menjurus pada perang harga, hingga pesaing terpaksa pasang harga yang lebih rendah daripada harga pokoknya (cut throat competition). Dalam keadaan demikian, semua perusahaan akan merugi, dan akhirnya bangkrut. Dalam hal demikian, dalam hal pembentukan kartel defensif, Pemerintah justru harus memberikan kekuatan hukum pada pengaturan persaingan tersebut. Perusahaan yang tidak ikut bersepakat akan dipaksa oleh kekuatan undang-undang untuk ikut mematuhi kesepakatan itu. Agar Pemerintah mengetahui apakah pembentukan kartel bersifat ofensif atau defensif, Pasal 4 mewajibkan setiap pengusaha yang terlibat dalam kartel melapor pada Pemerintah. Berdasarkan laporan tersebut, Pemerintah segera meneliti untuk menentukan apakah kartel itu ofensif atau defensif. Jadi, Pemerintah tidak apriori menentang pembentukan kartel. Maka, wajib lapor menjadi bagian yang sangat penting. Pemberian kekuatan hukum atas kartel defensif diatur oleh Pasal 5. Sebelum memberikan kekuatan hukum, Pemerintah berhak melakukan perubahan-perubahan. Hak Pemerintah ini tercantum dalam Pasal 6. Supaya kartel defensif tidak menjurus menjadi kartel ofensif, Pemerintah berhak mencabut kekuatan hukumnya setiap saat. Ini tercantum dalam Pasal 6 juga. Adapun pembubaran kartel ofensif diatur dalam Pasal 9. Denda pelanggaran "undang-undang" adalah Rp 4 milyar bagi badan usaha, Rp 400 juta dan atau kurungan penjara selama-lamanyanya 5 tahun bagi perorangan. Ini ditentukan dalam Pasal 10. Pengaturan yang membatasi persaingan juga dapat berbentuk kesepakatan tidak formal seperti memorandum of understanding, bahkan hanya gentlemen agreement secara lisan. Yang demikian itu tercakup dalam penjelasan Pasal 3 Ayat 1b. Jadi, pemusatan kekuatan ekonomi tidak selalu dalam bentuk monopoli. Itu bisa mengambil bentuk-bentuk apa saja yang tidak mungkin diprediksi sebelumnya. Tapi, apa pun bentuknya, pemusatan kekuatan ekonomi itu dapat dipakai untuk menekan pesaing, menghalang-halangi persaingan, menentukan persyaratan yang memberatkan para pesaing yang lebih kecil, lebih lemah, dan lebih miskin. Maka, semua orang yang merasa ditekan dan dirugikan oleh praktek bisnis yang tidak fair dan tidak wajar mempunyai hak mengeluh, mengadu, dan menggugat. Pemerintah wajib melakukan penelitian untuk menentukan apakah memang ada pemusatan kekuatan ekonomi, penekanan, serta praktek bisnis yang tidak fair dan tidak adil. Berdasarkan temuannya, Pemerintah memberlakukan larangan dan menjatuhkan sanksi-sanksinya. Hak mengadukan dan menggugat itu diatur dalam Pasal 11. Rincian mengenai rangkaian tindakan yang harus dilakukan Pemerintah diberikan dalam Pasal 13. Merger atau penggabungan usaha dan akuisisi atau pembelian perusahaan yang satu oleh perusahaan lain dapat berdampak pemusatan kekuatan ekonomi. Hal ini diatur dalam Pasal 12. Untuk memperoleh informasi yang lengkap dan akurat guna memutuskan ada tidaknya pemusatan kekuatan ekonomi, Pemerintah diberi hak meneliti dan menyidik dengan paksa melalui aparat kepolisian. Pasal 7 dan Pasal 8 mengatur hal ini. Sifat "undang-undang" ini adalah fleksibel, realistis, dan berdasarkan temuan kasus demi kasus. Ini disebabkan karena yang hendak diatur adalah perilaku dagang yang sangat dinamis, kreatif, dan inovatif dalam menemukan cara-cara berbuat curang, berbuat tidak fair, berbuat serakah hal-hal sangat sulit diantisipasi sebelumnya. Karena itu, hukum dalam bidang ini akan dibangun berdasarkan yurisprudensi dengan "undang-undang" ini sebagai landasannya. Hal ini dikemukakan dalam penjelasan umum. Karena itu pulalah pengertian yang sangat penting, yaitu "kepentingan umum", tidak dapat didefinisikan. Isi "kepentingan umum" ditentukan oleh banyak variabel dan dinamis sifatnya, sehingga setiap kali menghadapi kasus, barulah ditentukan apakah itu bertentangan dengan kepentingan umum atau tidak. Untuk itu, Pemerintah didampingi sebuah panitia yang terdiri dari para ahli yang diangkat Presiden. Perihal panitia ini diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 20.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini