NYONYA Yuyu Yusanah adalah wanita kedua yang mengukir riwayat keperkasaan wanita Jawa Barat. Apa yang dilakukannya tak kurang hebat dari apa yang dilakukan Nyi Eroh, warga Desa Pasir Kedu, Tasikmalaya, yang memenangkan Kalpataru 1988. Keperkasaan Yuyu, 42 tahun, bisa dilihat di Kampung Cikarag, Desa Cipeundeuy, Kecamatan Bantarrujeg, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Di sana terbentang 700 meter saluran air yang menghubungkan lahan pertanian dengan tempuran (tempat bertemu dua aliran sungai) Sungai Cipicung dan Sungai Ciawi. Dari 700 meter saluran itu, sekitar 200 meter di antaranya adalah lorong yang menembus perut bukit. Lorong itu adalah buah perjuangan Yuyu. Dan tanpa lorong, saluran air tak mungkin menghubungkan tempuran dengan sawah miliknya. Selain membuat terowongan, wanita beranak 11 itu juga membuat saluran air minum sepanjang 60 meter yang menghubungkan mata air ke rumahnya. Memang, kebutuhan akan air telah mendorong Yuyu untuk menggali terowongan. Sawahnya yang tak sampai satu hektare selalu kekurangan air, hingga hasilnya sangat tidak memadai. Adapun suaminya, Hasan Al Awi mengecerkan minyak tanah di Kota Bandung, tapi hasilnya tidak mencukupi. Tampaknya, kehidupan Yuyu sekeluarga sangat bergantung pada sawah seluas 7.000 meter persegi, yang selama ini cuma bisa ditanami sekali setahun. Itu pun kalau cuaca bersikap ramah. "Bila hujan tak turun, sawah terpaksa ditanami ubi atau kacang," kata Yuyu mengenang. Syahdan, pada tahun 1987 dua tahun setelah Eroh menggarap salurannya dalam pikiran Yuyu tebersit gagasan yang sama kendati ia tidak tahu menahu prestasi Eroh. "Mendengar nama Eroh pun belum pernah." Gagasan itu dibicarakan Yuyu dengan suaminya. Ternyata, Hasan tidak yakin Yuyu akan berhasil. Selain batu-batu di bukit terlalu keras, biayanya pasti mahal. Padahal, mereka tidak memiliki apa-apa selain empat ekor kerbau. Apa pun hambatannya, niat Yuyu telah bulat. Atas persetujuan suaminya, ia menjual seekor kerbau seharga Rp 400.000. Ia lalu membeli linggis, belencong, pahat batu, dan palu. Setelah memahami medan, strategi pun disusun. Ia akan menggempur bebatuan dari dua sisi kaki gunung secara bergantian. Artinya, sebuah lorong akan digali dari dua arah berlawanan dan diatur agar bertemu di tengahtengah perut bukit. Untuk itu, Yuyu harus mengukur ketinggian setiap sisi bukit, lalu menentukan titik awal yang akan digali. Mula-mula Yuyu menggempur bebatuan di dekat tempuran sepanjang beberapa meter, lalu beralih ke kaki gunung yang persis terletak di dekat sawahnya. Ia dibantu anak-anaknya yang menyeret gerobak pengangkut batu galian. Sebulan pertama Yuyu berhasil mengeduk 15 meter. Sewaktu bekerja, ia menggunakan cermin dan senter sebagai alat penerang. Cermin dipakai untuk memantulkan cahaya matahari ke dalam perut bukit. Ide ini muncul berdasarkan pengalamannya waktu merias diri. Saat itu cahaya matahari berpijar, memantul dari cerminnya. Maka, Yuyu meletakkan cermin ukuran 60 x 20 sentimeter di mulut lorong. Cahaya yang datang dengan sendirinya memantul ke dalam. Sedangkan senter digunakan bila ia bekerja dari sisi tempuran, karena cahaya di situ terhalang karena rindangnya pepohonan. Kendati Yuyu bekerja keras, penduduk Cikarag cuma menonton, bahkan cenderung melecehkan. Ia tak peduli dan terus bekerja dari pagi hingga beduk asyar berbunyi. Lorong makin panjang. Biaya pun bertambah besar. Karena tak ada bantuan, ia terpaksa menjual tiga kerbau lagi. "Uang hasil panen pun saya pergunakan untuk membiayai pembuatan terowongan," katanya. Proses pembuatan lorong juga tak mudah. Makin ke dalam, makin banyak batu yang harus digempur. "Sehari penuh saya hanya bisa menggali 20-30 sentimeter," ujarnya. Masalah lain ialah, ketika kedua lorong hampir bersambung di tengah, kedua ujungnya tidak persis bertemu. Untuk mempertemukannya, diperlukan waktu lebih lama. Akhirnya, setelah membanting tulang selama dua tahun dan "kehilangan" empat ekor kerbau, tahun lalu terwujudlah impian Yuyu. Lorong sepanjang 200 meter selesai dikerjakannya. Dengan ketinggian 1 meter dan lebar 80 sentimeter, terowongan yang dibuat Yuyu lebih panjang 150 meter dari terowongan milik Nyi Eroh (50 meter). Dua bulan kemudian, Yuyu juga berhasil membuat terowongan air minum sepanjang 60 meter, dengan lebar 70 sentimeter dan tinggi 1,8 meter. "Sekarang saya bisa memanen padi tiga kali setahun dan minum air bersih dari mata air yang tidak pernah kering," kata Yuyu puas. Penduduk sekitar ikut memetik hasil jerih payah Yuyu. Kini, 40 ha sawah tadah hujan berubah menjadi lahan pertanian yang bisa ditanami tiga kali setahun. "Untuk jasanya itu, Yuyu tidak meminta imbalan apa-apa dari kami," ujar Kohar, seorang penduduk. Ia dan warga desa lainnya tak malu-malu berbondong ke rumah Yuyu, meminta air bersih. Kepala Hubungan Masyarakat Pemda Majalengka, Dali Godjali, memandang Yuyu sebagai wanita pertama Majalengka yang menunjukkan pengabdian nyata pada masyarakat. "Untuk itu, kami akan mengusulkannya sebagai penerima Kalpataru," kata Godjali. Dan di Jakarta, Menteri Negara KLH Emil Salim, yang baru mendengar kisah Yuyu itu, menunggu usul dari Pemda. "Cepat usulkan ke KLH. Kirimkan data-datanya. Nanti KLH akan mengusulkannya untuk Kalpataru." Priyono B. Sumbogo dan Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini