BILA bulir padi di Sungai Gemuruh telah menguning, itulah isyarat harga beras di Kecamatan Pancung Soal akan menjadi murah. Ungkapan itu pernah populer di Pancung Soal, dan menggambarkan betapa Sungai Gemuruh diakui sebagai lumbung padi bagi kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, itu. Namun, ungkapan itu kini telah berlalu. Desa Sungai Gemuruh telah kehilangan bulir padinya. "Kami tak dapat lagi bertanam padi," tutur Dirun, seorang penduduk. Sebagian besar sawah itu sewaktu-waktu "hilang" dibenam air. Padahal, "Dulu, sawah kami cukup subur, dapat memberikan tujuh ton gabah per hektare," tambah Dirun. Petaka itu telah berlangsung tak kurang dari tiga tahun. Pada mulanya, penduduk masih terus mencoba menanami sawahnya dengan padi atau palawija yang umurnya pendek. "Tapi air datangnya tak terduga, dan sia-sialah kami mencangkul dan membajak," kata Dirun. Akhirnya, mereka pun menyerah. Sawah seluas 400 ha itu dibiarkan sepi dan menjadi rawa-rawa. Penduduk telah melaporkan bencana itu ke aparat kecamatan maupun aparat kantor kabupaten. Tapi, tak ada jawaban. Air Sungai Tapan Ketek terus saja melimpah dan menggenangi hampir dua pertiga wilayah desa. Hingga akhirnya 14 mahasiswa IAIN Padang datang ber-KKN di Sungai Gemuruh, dua pekan lalu. Mereka keheranan disambut pamong desa di kantor kelurahan yang tergenang air. Hari itu juga, rombongan mahasiswa meninjau Sungai Tapan Ketek. Barulah mereka mafhum apa yang terjadi: Badan sungai itu telah tersumbat oleh ribuan meter kubik sampah hutan. Air Tapan Ketek sulit memperoleh jalan untuk pergi menghilir. Hebatnya, penyumbatan itu terjadi pada ruas sungai sepanjang tiga kilometer. Foto-foto pun segera dibuat, dan reportase ringan pun disusun. Lantas, foto dan berita itu dikirim ke koran-koran terbitan Padang. Senin pekan lalu, barulah orang-orang kota tahu bencana apa yang menimpa desa 200 km sebelah barat Padang itu. Selama ini, penduduk desa memang memilih diam. "Jangankan mengadu, salah pandang saja, kami didatangi oleh oknum penebas hutan itu," ujar Pamangku Mase, 45 tahun, Pengetua Adat Sungai Gemuruh. Akibat mala itu, perubahan besar pun telah terjadi di desa nahas itu. Dari 1.400 orang penduduk, l00 keluarga (sekitar 500 orang) hijrah ke desa-desa sekitar yang bisa memberi penghidupan. Sekitar 100 keluarga lain terpaksa mengganti bajak dan cangkulnya dengan kapak dan gergaji mesin yang disediakan para juragan, lalu pergi ke hutan untuk menebang kayu. Para juragan itu tak peduli di mana kayu itu ditebang. Hutan Bukit Tapan yang dijarah itu sebagian berstatus hutan lindung, dan merupakan bagian dari Taman Nasional Kerinci Sebelat. Hutan lindung itu memang berbatasan dengan hutan konsesi yang dikuasai oleh lima perusahaan HPH, PT Trio Karya, PT Sukses Jaya Wood, PT Jasa Murni, CV Nan Gombang, dan PT Tri Daya. Entah bagaimana awal kisahnya, konon, kini 96 ribu ha hutan lidung di situ berubah status menjadi hutan produksi. Desas-desus perubahan status itu bukannya tak terdengar di Padang. Buktinya, Agustus tahun lalu, Wakil Gubernur Sum-Bar Sjoerkani melakukan inspeksi mendadak ke Pancung Soal. Apa yang terjadi? Sjoerkani cuma bisa menggelengkan kepalanya. "Tak satu pun dari mereka menebang di areal yang ditentukan," ujarnya. Lewat inspeksi itu, Sjoerkani berhasil menyita tak kurang dari 500 m3 kayu gelondongan. Tapi, beberapa jam setelah tim penginspeksi itu pergi, kayu sitaan pun raib dibawa berpuluh-puluh truk. "Tak aneh, sebab juru tangkap itu sendiri yang membawa kayu-kayu itu," ujar seorang warga Sungai Gemuruh. Tak hanya oknum petugas kehutanan dan Pemda yang terlibat kabarnya, aparat kepolisian dan Kodim pun ada yang aktif "berpartisipasi". Hasil tebang yang tanpa pilih bulu itu semuanya dihanyutkan lewat Kali Tapan Ketek. Tak semua kayu itu terangkut. Limbahnya yang ribuan meter kubik itulah yang menyumbat ruas sungai sampai tiga kilometer panjangnya. Tak syak lagi, air Tapan Ketek pun melimpah ke kanan-kiri. Bahkan, bangunan pintu irigasi jebol ditendang batang-batang kayu itu. Beberapa kali penduduk mencoba meluruskan aliran sungai yang mampat itu, namun setiap kali hujan turun, ribuan meter kubik kayu tebangan kembali menyumpal sungai itu. Para pemuka masyarakat Sungai Gemuruh sempat pula melayangkan pengaduan ke Kotak Pos 5000. Bukannya pertolongan yang tiba, malah mereka didatangi oleh Subagiono. Kepala Dinas Kehutanan Pesisir Selatan. Mereka diberi "pengarahan". Hal ini diakui oleh Subagiono. "Kami tak mengancam, hanya mengingatkan bahwa soal hutan itu sebaiknya dilaporkan saja kepada kami," ujarnya enteng. Tapi, dia menolak jika instansinya dituduh terlibat. "Memang ada staf kami yang nakal, dan oleh karena itu, dia dialihtugaskan," ujarnya. Keadaan yang semrawut tak urung membuat Bupati Pesisir Selatan Ismil Ismail pening kepala. Dia mengakui bahwa penebangan hutan di Bukit Tapan itu memang tak terkendali. Tapi, secara terus terang, dia mengaku tak berdaya. "Di sini, saya sulit memastikan mana kawan mana lawan. Tak jelas siapa yang harus diajak mengawasi hutan itu," katanya, jengkel. Kepusingan Ismil pun berlipat ketika mendengar bahwa proyek rehabilitasi Pengairan di Sungai Tapan Ketek, oleh Departemen PU, terpaksa ditangguhkan. Kebijaksanaan itu muncul setelah Kakanwil PU Sum-Bar Sabri Zakaria datang meninjau DAS Tapan Ketek yang porak-poranda awal April ini. Proyek bernilai lima milyar rupiah ini akan dilaksanakan setelah koordinasi pengawasan hutan itu berjalan sebagaimana mestinya. Kenyataan itu membuah Bupati Ismil makin meradang. Dia ingin menuntut ganti rugi, dengan mengatasnamakan masyarakat Sungai Gemuruh. "Tapi, saya harus menuntut siapa," ujarnya. Fachrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini