Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
52 paus terdampar di Bangkalan Madura karena betina yang menjadi kepala koloninya mengalami gangguan pada otot sensor yang berfungsi melakukan pemetaan geografis dan pernapasannya.
Kasus paus pilot terdampar di Bangkalan ini merupakan yang paling besar dalam 15 tahun ini.
Peneliti merekomendasikan adanya program pelacakan untuk mengetahui jalur paus di Indonesia.
MENELITI sebab-musabab paus terdampar menjadi rutinitas peneliti Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya. Setidaknya lima kasus terdamparnya paus pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) telah diteliti. Kasus terbaru adalah terdamparnya 52 paus di Pesisir Desa Pangpajung, Kecamatan Modung, Bangkalan, Madura, Jawa Timur, 18 Februari lalu. "Ini yang paling banyak," kata Bilqisthi Ari Putra dari tim histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Kamis,15 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paus yang terdampar itu memiliki panjang 2-3,5 meter dengan bobot terkecil 300 kilogram hingga yang terbesar 3 ton. Sebagian besar mamalia laut yang dilindungi negara melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 itu tak selamat. Hanya satu paus yang bertahan hidup dan bisa dikembalikan ke laut lepas keesokan harinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Tb. Haeru Rahayu mengatakan kasus semacam ini tergolong jarang sehingga perlu diketahui penyebabnya. "Pengetahuan ini untuk mengantisipasi kejadian serupa," ujarnya seperti dimuat dalam keterangan di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kementerian menggandeng Universitas Airlangga untuk meneliti pemicu terdamparnya kawanan paus tersebut.
Menurut data Whale Stranding Indonesia, dalam 20 tahun terakhir, peristiwa di Bangkalan ini merupakan kasus terdamparnya paus pilot dengan jumlah terbanyak kedua. Pada 19 Maret 2006, ditemukan 93 paus pilot yang panjangnya 5-8 meter terdampar di Pantai Ponggeran, Damsol, Donggala, Sulawesi Tengah, sekitar 100 kilometer arah utara Kota Palu. Sebanyak 53 di antaranya bisa diselamatkan dan dikembalikan ke laut lepas.
Paus pilot sirip pendek, menurut International Union for Conservation of Nature, dikenal sebagai spesies yang sangat sosial dengan penyebaran luas di perairan tropis dan subtropis di seluruh dunia. Sukarnya membedakan spesies ini dengan paus pilot sirip panjang (Globicephala melas) menyulitkan pendataannya. Jumlahnya, dari data 2018, ditaksir 700 ribu individu. Namun tren populasinya tidak diketahui.
Sedikitnya ada 26 kasus paus pilot terdampar di Indonesia. Namun jumlah kejadian ini tidak bisa menjadi dasar untuk memastikan kawasan perairan Indonesia merupakan jalur migrasinya. Menurut Bilqisthi, beberapa tahun ini, paus pilot banyak ditemukan terdampar di Selat Madura dan pantai utara Jawa, yang perairannya memang lebih dangkal dan lebih hangat. "Apakah itu jalur migrasinya, masih kita telusuri," ucapnya.
Petugas menggunakan alat berat mengubur bangkai Paus Pilot Sirip Pendek (Globicephala macrorhynchus) yang mati terdampar di Pantai Modung, Bangkalan, Jawa Timur,Februari 2021./ANTARA/Zabur Karuru
Untuk mengetahui penyebab terdamparnya 52 paus pilot di Bangkalan itu, hal pertama yang dilakukan Bilqisthi dan tim peneliti adalah mencari kepala koloninya. "Mereka mengikuti kepala koloninya. Biasanya betina," katanya. Ia memulai dengan mencari individu terbesar dan terberat. Ada lima paus yang memenuhi kriteria itu. Besarnya 3-4 ton dengan panjang 3,5 meter.
Setelah meneliti lebih-kurang satu bulan, Bilqisthi dan rekannya mengidentifikasi dua penyebab utama kejadian tersebut. "Penyebabnya tidak tunggal. Tapi yang berkontribusi paling besar adalah masalah di otot sensornya dan gangguan kesehatan di paru-parunya. Ada penyakit bronkitis emfisema pada betinanya," tuturnya.
Otot sensor itu mempengaruhi kemampuan pemetaan geografis (geo-mapping) paus pilot yang berada di organ melonnya. Melon—tonjolan di bagian depan kepala—paus digerakkan oleh otot tersebut. Menurut Bilqisthi, fungsi melon paus itu sebenarnya normal. Namun otot yang menggerakkannya mengalami kelainan. "Kalau ibarat manusia, ia seperti juling, tidak bisa mengarahkan sensor ke kanan dan ke kiri," ujarnya.
Masalah kedua adalah bronkitis emfisema. Penyakit itu sangat mengganggu aktivitas paus. Sebab, saat bermigrasi, paus pilot biasanya hanya mengambil napas sebentar, setelah itu menyelam cukup lama. Karena ada gangguan pada fungsi pernapasan, paus itu tidak bisa bertahan lama di dalam air. Masalah pernapasan juga ditemukan pada empat paus pilot jantan.
Tim peneliti juga melihat mamalia laut ini mengalami kelaparan. Tidak ada jejak makanan di dalam perutnya. Namun, yang belum terjawab, apakah memang makanannya tidak ada atau paus pilot ini tidak bisa menyelam dalam karena masalah kesehatan itu. "Bisa jadi ada akumulasi masalah," tutur Bilqisthi. Biasanya, paus pilot memakan cumi-cumi dan kepiting.
Verianto Madjowa, pemerhati paus orca di Gorontalo, mengatakan paus pilot bermigrasi mengikuti ketersediaan makanan. Dari nelayan di Gorontalo, ia mengetahui bahwa paus pilot juga mengonsumsi tuna besar. "Kalau paus orca mengonsumsi tuna kecil," kata pria yang tesisnya di Universitas Negeri Gorontalo pada 2019 menyoal paus orca tersebut. Paus pilot pernah ditemukan terdampar di Teluk Tomini, Sulawesi Utara, pada 4 Januari 2020.
Ihwal penyebab lemahnya otot dan masalah pernapasan pada paus pilot ini, Bilqisthi mengaku belum tahu. "Kalau dari fisik, tidak ada yang spesifik sebagai penyebabnya. Ada kemungkinan faktor udara juga berkontribusi," ucapnya. Misalnya, paus berada di daerah dengan tingkat pencemaran cukup tinggi atau dekat area pengeboran minyak lepas pantai.
Faktor lain bisa juga datang dari sonar kapal selam atau kapal militer. Bilqisthi menjelaskan, paus biasanya menghindari sonar itu dengan naik-turun ke permukaan laut. Perilaku itu menimbulkan tekanan terhadap paru-parunya. "Namun ini baru asumsi. Perlu penelitian lebih lanjut," dia menambahkan.
Menurut Putu Liza Mustika, terdapat banyak faktor penyebab gangguan pernapasan paus. "Yang utama kualitas air," ujar pengelola data di Whale Stranding Indonesia dan salah satu pendiri Cetasi Indonesia—organisasi pemerhati mamalia laut—tersebut, Jumat, 16 April lalu. Ia menyitir hasil penelitian lumba-lumba di Hong Kong yang mengalami tumor karena perairannya kotor.
Mustika menambahkan, ada pula beberapa kajian yang membuktikan kaitan yang signifikan antara terdamparnya paus itu di laut utara dan kejadian badai matahari. "Kalau ada badai matahari, ada gangguan di elektromagnetik bumi. Hewan ini jalannya berkelana dengan mengikuti geomagnetik bumi," tuturnya.
Sea Turtle and Marine Mammals Specialist World Wildlife Fund Dwi Suprapti mengatakan saat ini ancaman terhadap mamalia laut makin serius. Salah satu penyebabnya adalah aktivitas perikanan yang tumpang-tindih dengan lokasi jelajah dan ruaya pakan mamalia laut. "Sehingga sering terjadi bycatch (tangkapan sampingan) yang menyebabkan kematian mamalia laut, kemudian dibuang ke laut dan berakhir dengan terdampar," katanya.
Faktor lain adalah pencemaran oleh sampah. "Sehingga tak jarang hasil nekropsi dari kejadian terdampar ditemukan tanda-tanda keracunan akibat limbah kimia berbahaya. Tak jarang juga ditemukan plastik di pencernaannya sehingga menyebabkan obstruksi, infeksi, yang berakhir dengan kejadian terdampar," ucap Suprapti, Jumat, 23 April lalu.
Bilqisthi menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ia menilai, selain pelacakan, perlu ada pembentukan gugus tugas penanganan paus terdampar, kerja sama dengan perguruan tinggi untuk penelitian paus, serta pemantauan kualitas air di pesisir. Menurut dia, saat ini belum ada program pengamatan paus untuk mengetahui jalur mana saja yang dilewati. "Sehingga bisa kita imbau kapal militer mematikan sonar, misalnya," ujarnya.
Juru bicara Kementerian Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, mengatakan kementeriannya memiliki sejumlah rencana yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Konservasi Mamalia Laut Tahun 2018-2022 yang disahkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 79 Tahun 2018. "Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut akan terus bekerja keras untuk menjadikan iklim laut kita menjadi sehat," katanya, Rabu 21 April lalu.
ABDUL MANAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo