Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN tetua suku Melayu Rempang berziarah ke makam tua di hutan Lubuk Lanjut, Kampung Pasir Panjang, Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, pada Jumat, 6 September 2024. Hutan keramat tersebut berada di Kampung Tua Pasir Panjang yang berjarak sekitar 15 menit dari permukiman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makam tua di Lubuk Lanjut itu merupakan sisa-sisa peradaban masyarakat asli suku Melayu di Pulau Rempang. Jejak-jejaknya mudah dijumpai di sekitar hutan. Seperti makam Islam kebanyakan, tiap kuburan ditandai dengan dua batu nisan di sisi kaki dan kepala makam yang membujur ke utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sekitar makam-makam tersebut berdiri sebatang pohon ara atau tin (Ficus carica L.) yang rimbun, berukuran sekitar tiga pelukan orang dewasa. Orang Melayu Rempang menyebutnya pohon are. Terdapat makam yang berada di bawah akar pohon ara yang menyembul keluar.
"Ini menunjukkan bahwa makam-makam tua nenek moyang kami sudah ada sebelum pohon are ini ada. Jadi bohong itu yang bilang Pulau Rempang ini pulau kosong," kata Muhammad Sani, 65 tahun, tetua Suku Melayu Rempang yang memimpin hajatan tersebut.
Orang Melayu Rempang terbentuk dari penyatuan suku Melayu yang mendiami Pulau Galang, Orang Darat, dan Orang Laut jauh sebelum abad ke-19. Pejabat kolonial Belanda, Elisa Netscher, mencatat keberadaan mereka saat mengunjungi Pulau Rempang pada 1846.
Bahkan, ketika muncul Kesultanan Melayu Melaka yang dipimpin Raja Abdullah atau Sultan Mansyur Syah (1458-1477), Pulau Rempang sudah menyumbangkan prajurit yang terlatih dan setia. Mereka turut menjaga wilayah kesultanan di sepanjang Kepulauan Riau dan Selat Melaka. Namun kerajaan ini jatuh oleh Portugis, kemudian berdirilah Kesultanan Johor-Riau pada 1528 yang berpusat di Hulu Riau atau Tanjungpinang.
Warga berkumpul di posko bantuan hukum solidaritas nasional untuk Rempang di Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 18 Juli 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda menyematkan mereka sebagai bajak laut. Alasannya, Kesultanan Johor-Riau sesungguhnya terdiri atas rakyat biasa bangsa Melayu; dari Orang Laut, Orang Lanun, dan suku Laut yang menghuni Pulau Bintan, Bulang, Rempang, Galang, dan pulau-pulau kecil di seluruh Batam, Karimun, Lingga, dan Pulau Tujuh.
Suku Melayu kini tersisa 16 kampung adat tua yang mendiami Pulau Rempang dengan populasi sekitar 5.000 jiwa. Sejak setahun lalu, mereka terancam tergusur oleh rencana proyek strategis nasional (PSN) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. Pemerintah bermaksud membangun Rempang Eco-City, nama proyek kawasan industri dan wisata terpadu yang akan dikembangkan PT Makmur Elok Graha bersama investor asal Cina, Xinyi Group.
Muhammad Sani dengan khidmat melanjutkan upacara ziarah bersama belasan tetua adat Melayu. Satu per satu makam leluhur mereka sirami dengan air yang disiapkan di teko. Setelah itu, mereka memanjatkan doa di antara nisan-nisan dan rindangnya pohon are. Gerimis yang mengguyur seolah-olah mengiringi Sani memimpin doa.
"Rempang termasuk tanah adat tanah ulayat kerajaan Riau-Lingga. Karena itulah, kite mempertahankan kampung ini. Apebile kampung tergusur, kite tidak ada kampung lagi," kata Sani membuka doanya sambil menengadahkan kedua telapak tangan.
Sani juga menjelaskan, Pulau Rempang merupakan ibu warga Melayu yang harus disayangi. Anak-cucu, kata dia, harus mempertahankan kampung di Pulau Rempang. "Marilah kita sama-sama berdoa. Mudah-mudahan kite semua (diberi) kerendahan hati. Mudah-mudahan aman kampung halaman kite, orang tak menggusur kite. Kite senang sedia kale. Kepada arwah-arwah orang tue kami, kabulkanlah hendaknya doa kami."
Isak tangis warga yang hadir tak terbendung ketika Sani melafalkan doa. Ziarah ini juga menjadi rangkaian acara peringatan satu tahun tragedi penggusuran paksa oleh pemerintah untuk PSN Rempang Eco-City.
Peristiwa Rempang Setahun Lalu
Ridwan, 62 tahun, salah seorang korban dalam tragedi itu, juga hadir saat ziarah berlangsung. Kepada Tempo, dia menunjukkan bagian kepalanya yang pernah mendapat sembilan jahitan setelah terkena tembakan peluru karet polisi ketika bentrokan meletus di Jembatan 4, Barelang, Kota Batam, pada 7 September 2023.
Kala itu lebih dari 1.000 personel kepolisian merangsek masuk ke Pulau Rempang untuk mengukur lahan demi memuluskan rencana pembangunan PSN Rempang Eco-City. Tepat di Jembatan 4, warga Rempang menghadang ribuan personel tersebut. Bentrokan pun terjadi. Polisi menembakkan peluru karet hingga gas air mata sehingga warga terpaksa mundur.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengunjungi Xinyi Group, perusahaan industri kaca dan solar panel di Kota Wuhu, Cina, pada 19 Juli 2023. Dok. Kementerian Investasi
Tidak hanya membubarkan massa, gas air mata juga masuk ke Sekolah Dasar Negeri 024 Galang dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 22 Batam. Belasan murid digotong karena pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Beberapa orang luka-luka, termasuk Ridwan. Selain itu, tujuh warga Rempang lain ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Ridwan mengatakan, meskipun kejadian tersebut sangat membekas, ia tidak akan surut berdiri bersama warga Rempang lain untuk memperjuangkan kebenaran. "Saya minta saudara saya semua yang ada di Pulau Rempang ini bertahanlah," ujarnya.
Setelah berziarah, pada Sabtu, 7 September 2024, ratusan warga Pulau Rempang berkonvoi mendatangi lokasi tragedi 7 September, tepatnya di Jembatan 4, Kampung Tanjung Kertang, Pulau Rempang. Jembatan ini menjadi penghubung pulau-pulau kecil di Batam dengan Rempang.
Penduduk desa datang memakai baju serba hitam sembari membawa poster-poster penolakan relokasi. Sesampai di lokasi, beberapa perempuan warga Rempang langsung menebar bunga di atas jembatan tersebut. Mereka juga meracau dan berorasi mengenang peristiwa itu. "Manusia yang kejam menembaki kita di sini. Kita rela mati memperjuangkan daerah tanah Rempang," kata salah seorang perempuan sambil menaburkan bunga.
"Dulu nenek moyang berlawan dengan penjajah Belanda. Sekarang pemerintah yang menjajah kita," ujar Siti Hawa, satu dari warga perempuan lain, menyahut. "Bangkit melawan atau tertindas," ucap Hasmaniah, 49 tahun, perempuan Rempang lain yang juga tegas menolak relokasi, menyambung sahutan itu. Teriakan "hidup bangsa Melayu" juga menggema di atas Jembatan 4.
Warga Rempang menggelar unjuk rasa memprotes pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di depan Kedutaan Besar Cina, Jakarta, 14 Agustus 2024. TEMPO/Subekti
Setelah menabur bunga dan berorasi, warga duduk bersila serta berdoa bersama. Seperti biasa, dalam setiap doa, mereka selalu meminta agar kampung tua di Rempang tak digusur untuk kepentingan investasi. "Sadisnya, hati kami diserang pihak yang tidak bertanggung jawab. Kami diserang oleh TNI, Polri, dan Ditpam BP Batam (Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan Batam). Kami ditembak peluru karet," kata Miswadi, salah seorang warga Rempang, kepada awak media setelah memanjatkan doa.
Miswadi mengingat kejadian di Jembatan 4 yang menyayat hati masyarakat warga Rempang. "Ingat, kami tidak akan lupa sampai kapan pun. Kami akan tetap berjuang," ujarnya, yang kemudian diikuti gemuruh teriakan "hidup Melayu". "Kami ingin PSN Rempang Eco-City dicabut. Ini kampung nenek moyang kami," kata pria 46 tahun itu.
Merespons pernyataan warga soal adanya kekerasan aparat di Jembatan 4, Kepala Kepolisian Sektor Galang Inspektur Satu Alex Yasral, yang hadir dalam acara peringatan itu, mengatakan penembakan gas air mata dilakukan polisi karena warga melempar batu. Alex, yang juga hadir dalam tragedi tersebut, menjaga jalannya aksi tabur bunga.
“Kebetulan saat kejadian itu, sebelum penembakan gas air mata, kami sudah mencoba berkomunikasi dan meminta blokade jembatan dibuka. Tapi masyarakat tetap bertahan. Tim terpadu langsung dihujani batu," ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru Andri Alatas menyebutkan rentetan peristiwa yang disampaikan warga sudah tepat. Faktanya, di lapangan memang terjadi penembakan gas air mata ke sekolah dan belasan orang menjadi korban. "Sejak awal kami minta Presiden dan Kapolri mengusut tindakan aparat yang berlebihan itu. Tindakan aparat yang melanggar hukum tidak bisa dimaklumi," ucap Andri, yang juga tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional.
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Benny Jozua Mamoto bersama jajarannya mengunjungi Markas Kepolisian Daerah Kepulauan Riau pada Kamis, 5 September 2024. Benny mengatakan pertemuan dengan jajaran Polda Kepulauan Riau itu juga membicarakan masalah Rempang.
Saat ditanya soal adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam aksi penggusuran paksa oleh 1.000 personel di Jembatan 4, Barelang, Benny mengaku juga menanyakan hal tersebut kepada kepolisian. "Tadi kami tanyakan, adakah yang diperiksa (terkait dengan bentrok pada 7 September)? Memang dilakukan (pemeriksaan). Dari evaluasi mereka, (polisi) tidak dikenai sanksi," katanya.
Menurut Benny, dari fakta yang ada, jika dinilai secara obyektif dan tidak beropini, memang tak ada hal yang dilanggar. Ia mencontohkan saat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan selongsong peluru di atap sekolah. Menurut dia, mustahil selongsong dapat jatuh di atap sekolah, kecuali ada orang yang melemparnya. Setelah direkonstruksi, ternyata selongsong jatuh bukan di atap.
Rekomendasi Komnas HAM yang Diabaikan
Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, mengatakan masalah penggunaan gas air mata dalam tragedi 7 September 2023 di Pulau Rempang masuk rekomendasi lembaganya. Hal itu juga menjadikan Komnas HAM memutuskan bahwa banyak terjadi pelanggaran HAM dalam konflik PSN Rempang.
"Semua rekomendasi sudah disampaikan, seperti penggunaan gas air mata agar sesuai dengan SOP (prosedur operasi standar) dan penembakan jangan diarahkan ke sekolah," kata Prabianto saat dihubungi Tempo dari Batam pada Senin, 9 September 2024.
Ia menegaskan, berdasarkan bukti pemeriksaan Komnas HAM di lokasi kejadian, memang terjadi penembakan gas air mata ke sekolah. Namun Prabianto mengaku tak bisa berbuat banyak jika tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Komnas HAM sebatas memberikan rekomendasi kepada kepolisian dan pihak terkait di lapangan.
"Kepatuhan pada rekomendasi ini memang menjadi tanda tanya. Tapi, sekali lagi, kewenangan Komnas HAM sampai di situ. Kami tidak punya kekuatan memaksa untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut," ucapnya. Dia menyebutkan secara keseluruhan rekomendasi Komnas HAM untuk berbagai pihak dalam konflik PSN Rempang Eco-City memang tidak dijalankan.
Prabianto juga menyebutkan rekomendasi restorative justice bagi warga yang ditangkap tidak dilaksanakan. Bahkan 34 tersangka dalam konflik Rempang ini dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara. Bahkan sampai saat ini, berdasarkan pantauan Komnas HAM, masih terjadi pelanggaran HAM. Misalnya, adanya intimidasi kepada warga Rempang yang berstatus aparatur sipil negara, yang diminta menerima relokasi.
Komnas HAM juga mendapati layanan pendidikan dan kesehatan di Pulau Rempang sekarang tidak berjalan maksimal karena proses negosiasi relokasi itu. Lembaga ad hoc ini turut mendapat laporan dari warga yang menerima relokasi bahwa ada hak-hak mereka yang dijanjikan pemerintah yang belum terpenuhi.
Warga Rempang menggelar unjuk rasa memprotes pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di depan Kedutaan Besar Cina, Jakarta, 14 Agustus 2024. TEMPO/Subekti
Menurut Prabianto, dampak pembangunan PSN ini tidak bisa hanya diatasi dengan memindahkan warga. Namun ada masalah di kehidupan selanjutnya yang tidak dikelola dengan baik. "Misalnya, ada warga Rempang yang dulu nelayan dan sudah dipindahkan ke kota sekarang. Tapi mereka tidak tahu ingin kerja apa. Itu menjadi ekses berkepanjangan. Itu kan pelanggaran HAM juga."
Ia meminta BP Batam menghentikan sementara relokasi dan pembangunan fisik lain di Rempang, terutama di kawasan 12 desa prioritas. Apalagi ada kecenderungan pemerintah terkesan mengikuti kehendak investor yang ingin melanjutkan pembangunan Rempang Eco-City.
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso pernah menyatakan akan merelokasi 189 keluarga pada 1 September 2024. "Rumah relokasi sudah jadi. Listrik dan air sudah ada. Kami kawal terus," katanya pada 26 Agustus 2024. Namun, dari pantauan Tempo, hingga 7 September 2024, tak ada satu pun keluarga yang bersedia pindah ke rumah relokasi.
Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menjelaskan, lembaganya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan berencana menyerahkan sertifikat hak milik (SHM) kepada warga Rempang yang akan direlokasi di Tanjung Banun. Sebelumnya, mereka juga menyebutkan sudah ada empat rumah contoh yang dibangun. Sebanyak 961 unit lain akan disusulkan dan ditargetkan rampung pada tahun ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo