Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pelayaran perdana di situ gintung

Masyarakat tangerang dan sekitarnya heboh dengan bergeraknya tanah sejauh ratusan meter diatas danau. akibat penimbunan tanah yang kurang padat sehingga muncul pulau yang mengembang di atas air. (ling)

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN karena ada rombongan komedi putar yang mangkal. Juga tidak karena ada acara pasar murah atau pertunjukan sirkus. Tapi keramaian yang terjadi di Situ (Danau) Gintung, Desa Cireundeu, Kecamatan Ciputat, Tangerang, sejak Selasa pekan lalu, memang seperti pasar. Malah selintas, mirip suasana kuburan yang dikeramatkan. Bagaimana tidak? Selama pekan lalu, ribuan orang datang mengunjungi daerah itu. Bahkan pengunjung yang bcrasal dari luar kota, seperti Banjar, Ciawi, Bogor, dan Bekasi, datang dengan bis carteran. Begitu tiba di tempat, para pengunjung itu terlongok-longok memandang seonggok tanah. Betul, seonggok tanah. Tapi tanah yang satu ini -- seperti kata sejumlah pengunjung -- tanah yang "ajaib". Tanah seluas 100 m itu, pada Selasa dinihari pekan lalu, tiba-tiba "berlayar" dari barat ke timur. Dan anehnya -- lagi-lagi ini komentar pengunjung pohon-pohon yang tumbuh di atasnya tak satu pun yang tumbang. Padahal, jarak pelayaran perdana yang diarungi tanah berjalan itu tak kurang dari 400 meter. Tepatnya, dari wilayah RT 001 pindah ke RT 005. Masih satu RW, memang, tapi cukup menggegerkan, 'kan? Para "pengamat" yang semula hanya puluhan orang pun berkembang menjadi sekampung. Jumlah ini makin bertambah setelah ada pemberitaan di beberapa surat kabar. Jadi, tak mengherankan kalau pengunjung, yang terdiri dari pelajar dan masyarakat biasa, yang berbondong ke sana bisa mencapai 15 ribuan dalam sehari. Semua merasa penasaran, dan ingin menyaksikan sendiri. Betulkah ada kebun yang bisa menyeberang danau. Tanah yang semula berada di bagian barat danau memang pindah ke bagian timur. Setelah membentur sisi timur, tanah itu pecah menjadi dua bagian, masing-masing 60 m2 dan 40 m2. "Ketika terjadi perpindahan itu, persis seperti kapal laut dengan pepohonan sebagai layarnya," ujar Kayani, salah seorang staf dari Kelurahan Cireundeu. Selama ini, Situ Gintung, yang semula berfungsi untuk mengairi persawahan, yang kemudian berubah menjadi tempat pemancingan, tidak pernah berulah. Padahal, danau itu, kata orang-orang tua, sudah ada sejak "zaman Belanda". Tapi, akhirnya, seperti biasanya pada cerita yang baik, keajaiban itu terkuak. Seperti diungkapkan Kayani, kisahnya berawal dari musim kemarau selama enam bulan pada 1982. Ketika itu, air di Situ Gintung, yang memiliki kedalaman 30 meter, menyusut hingga setengahnya. Akibatnya, danau itu banyak ditumbuhi eceng gondok. Dan agar tidak mengganggu para pemancing, tumbuhan itu disingkirkan ke sisi barat danau. Nah, tumpukan itu, yang kemudian mengeras karena juga ditimbuni tanah, ditanami penduduk dengan pohon pisang, jeungjing, tebu, dan tanaman lainnya. Padahal, rupanya, akar tumpukan itu tidak mencapai dasar danau, alias mengambang. Itu sebabnya, ketika terjadi hujan deras selama enam hari, yang diakhiri angin kencang pada Selasa dinihari pekan lalu, dataran itu dengan mudah tergeser dari tempatnya. Jadi, cocok dengan keterangan yang diberikan Subarkah, Direktur Puslitbang Geoteknologi, "Timbunan yang kurang padat akan menimbulkan pulau mengambang di atas air." Jadi, singkatnya, itu peristiwa yang sangat biasa. Para pengunjung tampaknya memahami hal itu. Tapi, seperti biasa, di negeri ini masih banyak orang yang yakin dengan kepercayaannya. Ini terlihat dengan banyaknya pengunjung yang tidak hanya sekadar melihat, tapi datang untuk mengambil tanah, atau tumbuhan di atasnya sebagai jimat. Bahkan ada pengunjung yang menongkrongi danau itu semalam suntuk, hanya untuk memperoleh ilham huruf Porkas, atau nomor undian yang tepat. Melihat gejala ini, para pemuka masyarakat setempat akhirnya berembuk dan sepakat: pohon-pohon yang tumbuh di atas tanah itu ditebang. Lho, ternyata, banyak pihak yang dikecewakan. Bukan hanya pencari nomor Porkas, atau para pedagang makanan yang kehilangan masa larisnya, tapi juga panitia pembuatan jalan di Cireundeu. Padahal, dengan menarik Rp 100 dari setiap pengunjung, panitia itu sudah mengantungi tidak kurang dari Rp 30 ribu dalam sehari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus