KAPAS milik perkebunan Kapas Indah Indonesia rupanya sulit dipintal jadi uang. Kendati pemerintah sudah memberi perlindungan, dengan mengharuskan industri pemintalan membeli hasil perkebunan lokal, Kapas Indah ternyata tetap sulit bersaing dengan kapas impor. Dalam soal kualitas, kapas lokal itu sering dicemooh karena seratnya tak semulus kapas Amerika. Dan, dari segi harga, dikritik karena tak pernah bisa dijual lebih murah dibandingkan kapas eks RRC. Padahal, dengan harga jual Rp 1.800, Kapas Indah mengaku sudah menjual rugi. Kalau mau cerita untung, sebenarnya, harga harus ditetapkan Rp 2.100 per kg. Tapi, omong-omong, siapa yang mau beli kapas yang timbangannya suka kurang dan sering tercampur tali plastik itu? Jalan keluar mengatasi kesulitan itu agaknya sulit ditemukan Kapas Indah yang, akhirnya, memutuskan untuk menutup perkebunannya. "Sejak kami membuka perkebunan itu, 1976, kami tidak pernah untung," kata Ahmad Nurhani, Wakil Presiden Direktur Berdikari. Keputusan pahit yang disampaikan pekan lalu itu, tentu, akan mempengaruhi jalan hidup transmigran yang ikut menanam kapas di lahan 2.500 hektar sebagai perkebunan plasma -- mengitari inti (Kapas Indah) yang menanam kapas di lahan 1.500 hektar. Bagi Berdikari, keputusan itu merupakan sebuah gong tanda gagalnya sebuah usaha besar, yang menyerap investasi 13 juta dolar dan tiga pesawat terbang serta subsidi untuk modal kerja sekitar Rp 100 juta setahunnya. Tapi Berdikari, yang belum mau mundur dari Sulawesi Tenggara, mulai September lalu menanami lahan di Pong Kaluku itu dengan kedelai. Masa depan tumbuhan kacang-kacangan itu dianggap lebih baik mengingat setiap tahunnya pemerintah masih mengimpor sekitar 360 ribu ton kedelai untuk memenuhi konsumsi lokal. Kapas dianggap sudah tak punya harapan, rupanya -- apalagi tahun ini Amerika, RRC, dan Pakistan memperoleh panen luar biasa, sehingga harga tertekan tak keruan. "Sampai April tahun depan, kami belum punya rencana menanam kapas lagi entah kalau nanti harganya membaik," kata Nurhani. Ditutupnya perkebunan itu, tentu, menyebabkan pemasokan kapas lokal akan berkurang antara 780 ton dan 900 ton setahun. Berdikari dan American Trade Sales, yang membuka perkebunan itu dengan mekanisasi penuh 10 tahun lalu, jelas tak membayangkan usaha mereka bakal gagal. PMA patungan itu juga tak membayangkan subsidi pupuk dan insektisida secara berangsur dikurangi. Musim di Sulawesi Tenggara juga sulit ditebak. Perusahaan harus mengapalkan hasil panennya ke Surabaya dengan ongkos angkut Rp 65 per kilo. SAMPAI di gudang PT Ujung Lima, Surabaya, urusan Kapas Indah biasanya selesai. Tapi bagi pabrik pemintalan persoalannya justru baru dimulai. Problem yang ditemui di gudang itu memang hanya merupakan salah satu dari ketidakharmonisan hubungan antara perkebunan dan industri lokal. Menurut penilaian Aminudin, Presiden Direktur Textra Amspin, kebersihan dan lantai gudang di sana sebenarnya tidak memadai untuk menampung bahan baku tekstil itu. Perusahaan itu membeli 16 ton dari seluruh kewajibannya mengambil jatah kapas lokal 118 ton tahun ini. Keluhan mengenai jeleknya kapas lokal, terutama eks Kapas Indah, memang sudah jamak terdengar. Kurabo Manunggal Textile Industries (Kumatex), misalnya, mengaku menemukan tali dan benang plastik potongan tercampur di dalam 75 bal (sekitar 17 ton) kapas dari perkebunan Berdikari itu. Untuk memetani kotoran tersebut, Kumatex terpaksa menggunakan banyak tenaga buruh dan menghabiskan waktu. Sialnya lagi, sesudah dipintal, hasilnya menyusut sampai 30%. Karena alasan itulah, Agustus lalu, Kumatex menuntut Cerat Bina Tekstil Indonesia, koordinator pembelian, agar diberi ganti rugi 10% dari harga pokok. Tak jelas apakah kapas eks tiga perkebunan negara juga "mengandung" benang dan tali plastik. Disengaja atau tidak, hadirnya benda asing itu sangat merugikan. Banyak pengorbanan memang harus diberikan kalangan industri itu untuk menjaga kelangsungan hidup perkebunan kapas. Tapi, lantaran "ditodong" dengan SK Menteri Perdagangan 5 Desember 1985, mereka tak bisa berbuat banyak -- apalagi menetapkan harga pembelian. Ketika kapas Amerika bisa dibeli dengan kredit ekspor Rp 1.350, mereka harus membeli kapas lokal dengan harga Rp 1.650 per kilo. Eh, sesudah devaluasi, kapas dari perkebunan Kapas Indah ternyata bergerak ke angka Rp 1.800, meninggalkan kapas perkebunan negara yang masih dijual Rp 1.650. "Perbedaan harga itu disebabkan kami harus membayar biaya transportasi dari perkebunan ke Jawa Rp 65 per kilo, dan kapas kami lebih baik," kata Nurhani. Andai hata sesudah devaluasi harga kapas lokal tidak bergerak secepat kapas impor yang kini bisa ditebus dengan harga Rp 2.880, kehadiran kapas lokal itu tentu bisa dianggap sebagai salah satu faktor penekan biaya pokok. Tidak seperti yang terjadi sebelumnya, industri pemintalan harus membayar mahal demi menjaga kelangsungan hidup perkebunan lokal. Runyamnya, meskipun pihak Industri sudah cukup banyak mengalah, korban dari pihak perkebunan ternyata jatuh juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini