Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pertanda dari Rantau Nangka

Hujan selama 11-15 Januari itu menyebabkan banjir di 10 dari 13 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan. Bukan hanya akibat curah hujan tinggi.

30 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ceceran batubara di lahan konsesi milik PD Baramarta di Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, 25 Januari 2021. Tempo/Diananta Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Banjir di Kalimantan Selatan menyebabkan 39.549 warga mengungsi, 13 meninggal.

  • Pemerintah menyatakan curah hujan tinggi sebagai penyebab banjir.

  • Pegiat lingkungan menyebut ada faktor berkurangnya tutupan hutan di Daerah Aliran Sungai Barito.

SUPRIATNA, warga Desa Sungai Langsat, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, sudah mendapatkan peringatan akan datangnya air bah. Pada Senin, 11 Januari lalu, kerabatnya di Rantau Nangka, Kecamatan Sungai Pinang, yang terletak sekitar 30 kilometer di utara, memberi tahu soal kemungkinan banjir yang akan melanda wilayah selatan. Seperti sudah diduga, ketinggian air Sungai Riam Kiwa merangkak naik dan merendam rumahnya hingga setinggi lutut. Cepat datang, cepat pula surut airnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berselang dua hari kemudian, hujan lebat mengguyur saat sebagian warga beranjak tidur. Supriatna dan sekitar 200 orang lain kalang kabut saat air kembali meluap dari Sungai Riam Kiwa. Air kian tinggi karena hujan tak berhenti hingga tengah hari esoknya. Sekitar 100 keluarga warga desa memilih mengungsi ke bangunan Sekolah Dasar Negeri 1 Sungai Langsat yang berada di daerah yang lebih tinggi. Saat itu, air yang berwarna kuning kecokelatan sudah merendam rumah Supriatna hingga menyisakan atap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mustafa, warga RT 02 Desa Mangkauk, Kecamatan Pengaron, mengalami nasib yang sama dengan Supriatna. Berada di depan Sungai Riam Kiwa, sekitar 34 kilometer arah timur Sungai Langsat, rumah Mustafa terendam air nyaris dua meter sejak 13 Januari lalu. Air baru surut setelah satu pekan. “Ini yang terbesar banjirnya. Hujannya kan satu hari satu malam, terus air dari Gunung (Meratus) mulai datang,” ucap Mustafa. “Kalau yang biasa-biasa itu enggak sampai tujuh hari tujuh malam. Dua hari dua malam selesai,” tutur Supriatna.

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, banjir di Kalimantan Selatan pada 11-15 Januari lalu tersebut merendam 10 dari 13 kabupaten dan kota. Sampai Ahad, 17 Januari, tercatat sebanyak 24.379 rumah terendam, 39.549 warga mengungsi, serta 13 penduduk meninggal. Menurut analisis Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Barito, hujan deras menyebabkan air Sungai Riam Kiwa meluap dan merendam daerah yang dilaluinya, dari Kecamatan Pengaron hingga Kota Banjarmasin yang berada di muara Sungai Barito.

Supriatna menengarai tambang batu bara dan alih fungsi lahan punya peran dalam banjir besar ini. Ia menjadikan air yang keruh bercampur lumpur tanah liat kuning sebagai bukti. “Yang jelas tambang batu bara. Pengisap airnya enggak ada lagi. Semuanya itu hancur. Kemungkinan hutan gundul yang menimbulkan banjir luar biasa ini,” katanya. Mustafa juga menyitir keberadaan tambang di Desa Rantau Nangka, Rantau Bakula, dan Sungai Pinang ikut menyumbang terjadinya bencana ini.

Saat Tempo menyusuri Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, itu tampak danau eks lubang tambang yang belum direklamasi. Saat ke lokasi itu pada 25 Januari lalu, terlihat gundukan batu bara yang ditinggalkan begitu saja. Lubang tambang seluas lapangan sepak bola tersebut membentuk danau yang penuh air. Lubang galian tambang ini bercokol di wilayah konsesi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) milik Perusahaan Daerah Baramarta, perusahaan kepunyaan Pemerintah Kabupaten Banjar.

Kepala Bagian Produksi dan Pengawasan Tambang PD Baramarta Zubairi membenarkan bahwa masih ada titik void—lubang bekas tambang—di wilayah konsesinya. Baramarta punya wilayah konsesi yang mencakup Desa Rantau Bakula dan Rantau Nangka, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, yang luasnya 2.600 hektare. “Memang nanti ada lima void di sana, yang akan kami jadikan embung untuk cadangan air,” ujarnya.

PD Baramarta belum sepenuhnya mereklamasi lubang-lubang tambang itu karena masih ada potensi batu bara. Ia menolak tudingan bahwa area tambangnya memperparah banjir. Sebab, masih ada aktivitas pertambangan yang lokasinya di atas atau utara daerahnya. “Lebih ke atas lagi lebih banyak tambang. Kami bukan hulu daerah sungainya,” ucap Zubairi. Ia melihat air yang mengalir dari hulu sudah berkelir cokelat sebelum melintasi wilayah konsesinya.

Baramarta bukan satu-satunya perusahaan tambang di Sungai Pinang. Menurut data Forest Watch Indonesia (FWI), di Sungai Pinang dan kecamatan sebelahnya, Sambung Makmur, setidaknya ada empat izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) yang menguasai 39 ribu hektare hutan. Sedikitnya ada 14 tambang dengan luas area lebih dari 7.000 hektare. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, di Kalimantan ada IUPHHK-hutan alam seluas 234.492,77 hektare; IUPHHK-HT seluas 567.865,51 hektare; izin tambang 1.219.461,21 hektare; dan sawit 620.081,90 hektare.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono menilai banjir ini adalah buah nyata rusaknya lahan. Menurut dia, Kalimantan Selatan punya luas hutan 3,7 juta hektare. Sebanyak 50 persen sudah dibebani izin industri ekstraktif. “Yakni tambang 33 persen dan perkebunan kelapa sawit 17 persen. Belum HTI (hutan tanaman industri) dan HPH (hak pengusahaan hutan),” tuturnya. 

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya tak menjawab pertanyaan Tempo saat ditanya melalui layanan pesan singkat soal peran alih fungsi lahan sebagai kontributor besar banjir. Ia juga tidak mengangkat panggilan telepon dari Tempo. Dalam akun Twitter pada Selasa, 12 Januari lalu, Siti mengatakan banjir di daerah tampung air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau, dan DTA Barabai ini terjadi karena curah hujan ekstrem. “Penyebab utamanya anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi.” ujarnya. Air yang masuk ke Sungai Barito pun menjadi 2,08 miliar meter kubik, dari jumlah normal 238 juta meter kubik. Siti mengakui berkurangnya luas hutan di DAS Barito selama periode 1990-2019 sebesar 62,8 persen. Penurunan terbesar terjadi pada periode 1990-2000, yaitu sebesar 55,5 persen.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan ada faktor perubahan tata guna lahan dan deforestasi dalam banjir ini. Menurut dia, sejak 2001 sampai 2019, DAS Barito kehilangan tutupan hutan mencapai 304.223 hektare. Terjadi degradasi lahan cukup signifikan yang mengurangi daya dukung lingkungan. Akibatnya, ketika datang musim hujan dengan curah hujan tinggi, resapan air sudah tidak bisa menampung lagi curah hujan sehingga terjadi banjir di hampir semua wilayah di Kalimantan Selatan,” kata Rio—sapaan Arie, Kamis, 28 Januari lalu.

Kehilangan tutupan hutan itu, menurut Rio, mempengaruhi ketahanan area DAS Barito dalam menghadapi banjir. Kalau gundul, fungsi hutan sebagai penyerap air akan hilang. Sawit juga tak bisa diharapkan karena tak memiliki fungsi menahan air. Tambang yang banyak meninggalkan lubang memang bisa juga menampung air. Tapi, saat tak bisa menampung curah hujan, air akan mengalir ke sungai. Sedimentasi dari lubang tambang juga membuat sungai dangkal. Ia meminta pemerintah tidak mengelak dengan dalih konsesi ini dikeluarkan pemerintahan sebelumnya. “Kalau perizinannya mempengaruhi daya dukung lingkungan, dievaluasi izinnya. Ini sebagai bagian dari tindakan koreksi,” ucapnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan Hanifah Dwi Nirwana punya pandangan bahwa penyebab dominan banjir ini adalah hujan lebat. Namun dia juga mengakui ada faktor sedimentasi DAS Barito dan pasang-surut air laut. Ia menyatakan perlu ada perbaikan regulasi tata kelola lingkungan, karena proporsi tata ruang DAS Barito yang berupa hutan kini menjadi 39,3 persen. Selebihnya merupakan Area Penggunaan Lain (APL). “Ada beberapa titik kritis, meskipun upaya (pemulihannya) sudah luar biasa. Ini momentum paling penting untuk kembali kami evaluasi secara menyeluruh,” ujarnya.

ABDUL MANAN, DINI PRAMITA, DIANANTA P. SUMEDI (SAMARINDA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus