Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Handayani dituduh menampung dan mencuci duit jaringan Cristian Jaya Kusuma alias Sancai.
Saat menangkap Handayani, penyidik menyita aset, deposito, rekening, dan bongkahan duit dalam berbagai mata uang asing senilai Rp 28 miliar.
Sebelum menilap, penyidik meminta sebagian duit yang disita.
TALI pembatas berkelir biru membentang di teras kantor Multindo Money Changer di Jalan Manyar Kertoarjo, Surabaya. Ada logo Badan Narkotika Nasional dan tulisan “Dilarang Melintas” pada tali itu. Gerbang besi kantor terkunci. Pintu depan tertutup rapat. “Di kantor itu, uang klien saya diambil petugas,” ucap Jhon Siregar, pengacara Handayani, pemilik gerai penukaran uang tersebut, pada Selasa, 26 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim gabungan dari BNN dan BNN Provinsi Jawa Tengah menangkap Handayani di kantornya pada Rabu, 21 Oktober 2020. Operasi itu dipimpin Komisaris Besar Hesti Cahyasari dan beranggotakan Komisaris Besar Basuki Effendy, Ajun Komisaris Besar Wiyoto, serta empat personel lain. Mereka penyidik Direktorat Tindak Pidana Pencucian Uang Deputi Pemberantasan BNN. “Dia (Handayani) diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dari jaringan narkotik,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol BNN Brigadir Jenderal Sulistyo Pudjo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Handayani, 52 tahun, dituduh menampung dan mencuci duit jaringan Cristian Jaya Kusuma alias Sancai, bandar narkotik yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, Jawa Tengah. Pengadilan Negeri Semarang menghukum Cristian 5 tahun penjara karena terbukti mencuci duit hasil penjualan narkotik dengan berbagai modus. Ia juga dihukum 15 tahun penjara karena mengotaki peredaran barang haram itu di Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan pada 2018.
Penangkapan Handayani salah satu ujung penyelidikan BNN dan BNN Provinsi Jawa Tengah terhadap jaringan Cristian sejak 2017. BNN juga menangkap belasan kaki tangan pria 36 tahun itu di berbagai daerah hingga 2020. Saat menangkap Handayani, penyidik menyita aset, deposito, rekening, dan bongkahan duit dalam berbagai mata uang asing senilai Rp 28 miliar. Handayani ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Semarang. “Penyitaan dilakukan di beberapa tempat,” ujar Brigadir Jenderal Sulistyo.
Menurut seorang penegak hukum yang menelusuri jaringan Cristian, sejumlah rekening milik Handayani menerima aliran duit dari anak buah Cristian. Di salah satu rekening, misalnya, ada uang masuk senilai Rp 23,8 miliar dari Frans Wijaya pada periode 28 Mei 2014-29 September 2016. Frans juga mengirim duit Rp 13,5 miliar dalam 278 transaksi selama 11 Oktober 2014-26 Mei 2017 ke rekening Handayani lain.
Sebagaimana Cristian, Frans berasal dari Kalimantan Selatan. Keberadaannya kini tak diketahui sejak dinyatakan sebagai buron. Ia diduga menjadi kaki tangan Cristian dan Fredi Pratama alias Miming. Cristian dan Fredi sudah lama berteman. Dari berbagai kesaksian di persidangan anak buah Cristian, Fredi diketahui kerap menyuplai sabu ke jaringan Cristian dari tempat persembunyian di Thailand. Handayani terhubung dengan jaringan Cristian lewat Frans.
Jhon Siregar membantah jika Handayani disebut terlibat dalam jaringan Cristian. Menurut dia, kliennya tidak mengenal Cristian. Perusahaan valas yang dikelola Handayani, menurut dia, betul-betul untuk berbisnis. “Siapa pun yang mau menukar uang diladeni. Mana mungkin kami mendalami dari mana asal-usul uang tersebut?” katanya.
Sekarang, Handayani mempersoalkan penyitaan duit dalam berbagai mata uang asing yang dilakukan penyidik Hesti cs. Duit yang seharusnya tercatat sebagai barang bukti tak tercantum dalam berita acara penyitaan. Nilainya ditaksir mencapai miliaran rupiah. “Penangkapan Handayani sepertinya hanya akal-akalan untuk memeras,” tutur Jhon.
Indikasinya, menurut Jhon, tim BNN sempat meminta duit dalam berbagai mata uang asing yang seharusnya menjadi barang bukti tersebut. Karena Handayani menolak, Jhon menambahkan, penyidik menilap duit kliennya. Melalui Jhon, Handayani melaporkan dugaan penilapan ini ke berbagai lembaga penegak hukum, termasuk BNN, pada 21 Desember 2020.
BNN tampaknya bereaksi terhadap aduan Handayani. Melalui surat telegram bertanggal 12 Januari 2021, BNN merotasi sejumlah perwira menengah. Komisaris Besar Hesti, Komisaris Besar Basuki, dan Ajun Komisaris Besar Wiyoto dimutasi menjadi perwira tanpa jabatan di Direktorat Peran Serta Masyarakat Deputi Pemberdayaan Masyarakat BNN.
Brigadir Jenderal Sulistyo Pudjo mengakui lembaganya sudah menerima laporan Handayani. Ia mengatakan BNN sudah mengambil kebijakan untuk merespons laporan tersebut. “Sudah ditindaklanjuti secara internal. Saat ini masih dalam proses penyelidikan,” ujarnya.
•••
MENGENDARAI dua unit mobil, tim gabungan Badan Narkotika Nasional pusat dan Provinsi Jawa Tengah merangsek ke pekarangan kantor Multindo Money Changer di Jalan Manyar Kertoarjo, Surabaya, sekitar pukul 13.00, Rabu, 21 Oktober lalu. Tim yang dipimpin Komisaris Besar Hesti Cahyasari itu langsung merangsek ke kantor dan mengumpulkan semua karyawan.
Mereka juga menggeratak isi kantor. Kordinator petugas keamanan setempat, Hartono, mengatakan penggeledahan berakhir sekitar pukul 17.00. Bersama seorang petugas keamanan lain, Hartono diminta menjadi saksi penggeledahan. Hartono juga menyaksikan para penyidik menginterogasi Handayani dan sejumlah anggota staf.
Pada akhir penggeledahan, para penyidik menyita duit dalam berbagai mata uang yang tersimpan di dalam kantor. “Ada banyak. Jumlah pastinya saya lupa,” ucapnya.
Anggota staf Multindo, Reny Yuki Safitri, mengetahui penggeledahan tersebut setelah kembali dari istirahat siang sekitar pukul 13.30. Begitu ia memasuki pekarangan kantor dengan mengendarai sepeda motor, seorang pria menghampiri dan memerintahkannya segera masuk kantor. “Petugas itu memintanya saya menyerahkan telepon genggam dan tas,” kata Reny.
Di dalam kantor, ia melihat bosnya, Handayani, duduk di ruang tengah dan dikelilingi personel BNN. Wajah perempuan itu kuyu. Ia tak sempat menyapa Handayani karena seorang petugas BNN memintanya pindah ke ruang lain untuk diinterogasi. “Saya ditanyai macam-macam. Saya jawab tidak tahu karena memang saya tidak mengerti apa-apa,” ujarnya.
Seorang personel BNN bertanya kepada Reny ihwal lokasi penyimpanan data kamera pengawas. Setelah menunjukkan lokasi server closed-circuit television, ia diminta pergi. Sebelum keluar ruangan, ia melihat tim gabungan BNN meminta Handayani membuka brankas kantor. Handayani mengeluarkan tumpukan duit dalam mata uang asing dari dalam brankas. “Jumlahnya miliaran rupiah,” tuturnya.
Penyidik, menurut Reny, memindahkan duit itu ke dalam kardus. Ia melihat petugas membopong kardus itu beserta barang bukti lain, seperti laptop, telepon seluler, buku rekening, dan segepok dokumen transaksi, ke dalam mobil. Petugas memboyong Handayani, Reny, sopir kantor, serta beberapa rekannya yang lain ke kantor BNN Provinsi Jawa Timur untuk diperiksa lebih lanjut.
Belakangan, Handayani dan keluarganya mempersoalkan penggeledahan itu. Hendi, adik Handayani, memeriksa server kamera pengawas dua hari setelah penggeledahan. Ia melihat kabel di sekitar server sudah terputus, termasuk jaringan Internet. Ia menduga personel BNN memutus jaringan agar rekaman CCTV tak bisa diakses. “Kamera yang mengarah ke brankas dan ruangan tengah juga ditutup lakban oleh petugas,” ujarnya.
Kamera pengawas, menurut Hendi, sempat merekam aktivitas Handayani dan dua penyidik di ruang brankas. Salah seorang di antaranya adalah Hesti. Pemimpin tim penggeledahan itu meminta personel lain menutup lensa kamera dengan lakban hitam. “Kami jadi bertanya-tanya, mengapa kamera harus ditutup?” ucap Hendi.
Hendi menganggap rekaman kamera itu penting karena akan menjadi petunjuk jumlah uang yang disita saat penggeledahan. Mereka tak pernah mengetahui jumlah persisnya karena penyidik tak pernah menyerahkan berita acara penyitaan. “Sampai sekarang kami belum menerima,” tuturnya.
Pengacara Handayani, Jhon Siregar, memperkirakan total duit yang dirampas mencapai Rp 12 miliar. Di antaranya US$ 22 ribu, Sin$ 735 ribu, HK$ 350 ribu, dan 170 ribu yen. Jhon mengatakan Handayani menduga sebagian duit itu raib karena ada mata uang asing yang tak tercatat di berkas penyitaan. Ia menolak menandatangani dokumen itu.
Saat penyidikan berlangsung, Handayani mengklaim Hesti dan petugas lain meminta sebagian duit yang disita. Ia menyebutkan Hesti meminta Sin$ 200 ribu. Ada lagi uang berjumlah Sin$ 400 ribu yang dijanjikan akan dikembalikan. “Faktanya, duit Sin$ 400 ribu dikuasai penyidik lain,” kata Jhon.
Handayani juga pernah meminta tim penyidik mengembalikan fulus Rp 500 juta yang disita. Jhon mengatakan uang itu bukan bagian dari aset gerai valuta asing, melainkan dana pengobatan ibunda kliennya. “Hesti setuju. Tapi dengan syarat Rp 200 juta diserahkan kepada penyidik,” ujar Jhon.
Handayani menolak syarat itu. Ia juga menuduh tim penyidik menggelapkan uang di rekening keluarganya yang berjumlah Rp 2,3 miliar.
Komisaris Besar Hesti tak merespons permintaan wawancara Tempo yang dikirimkan lewat Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol BNN hingga Sabtu, 30 Januari lalu. Ia juga tak menjawab panggilan telepon. Komisaris Besar Basuki Effendy dan Ajun Komisaris Besar Wiyoto yang dituding ikut menilap barang bukti juga tak merespons permohonan wawancara.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol BNN Brigadir Jenderal Sulistyo Pudjo memastikan Inspektorat BNN sudah menurunkan tim pengawasan internal. “Tidak hanya perkara Handayani, Inspektorat mengawasi proses hukum lain,” ujarnya.
Ia membantah jika tim penyidik disebut ceroboh saat menyita barang bukti perkara Handayani. Menurut dia, penyitaan dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Surabaya pada 26 Oktober 2020. “Kami punya cukup bukti untuk menjerat Handayani,” tuturnya.
RIKY FERDIANTO, LINDA TRIANITA, NUR HADI (SURABAYA)
Catatan:
Pada Senin pukul 08.14 WIB, 1 Februari 2021, terdapat perbaikan di paragraf ke lima dari bawah. Nama Hesti seharusnya ditulis Handayani.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo