Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Menimang-nimang Setrum Nuklir

Produsen listrik swasta asal Amerika Serikat berminat membangun pembangkit listrik tenaga nuklir berbahan bakar torium. Berwujud kapal, reaktor generasi IV berjenis molten salt reactor.

30 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
infografis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Thorium Molten Salt Reactor diklaim lebih murah dan lebih cepat pembangunannya ketimbang pembangkit batu bara.

  • Reaktor jenis ini dianggap lebih aman karena bisa menihilkan lepasnya radiasi bahan-bahan radioaktif ke lingkungan ketika terjadi kecelakaan nuklir.

  • Berwujud kapal dan lokasi tapak akan di laut.

BOB S. Effendi dengan antusias menunjukkan maket thorium molten salt reactor 500 atau TMSR500 yang ditaruh di atas meja kerja kantornya di lantai 20 gedung World Trade Center 3, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Sebagai kepala perwakilan ThorCon International Pte Ltd yang hendak mewujudkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pertama di Indonesia, ia sangat memahami detail pembangkit dan reaktor rancangan produsen listrik swasta asal Amerika Serikat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bob hakulyakin reaktor berbahan bakar torium cair dan pendingin garam cair yang dinamai Pembangkit Listrik Tenaga Torium itu adalah jawaban atas dua isu yang selalu menjadi perintang pembangunan PLTN dalam 20 tahun terakhir. “MSR menjawab isu keselamatan dan keekonomian. Pembangunannya lebih cepat dan bisa di mana saja, tidak mesti di lokasi,” kata Bob, yang selama 25 tahun menjadi praktisi industri minyak dan gas, Kamis, 28 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam aspek keselamatan, Bob menjelaskan, reaktor TMSR500 bekerja pada tekanan normal, 3-10 bar, sementara reaktor jenis light water (LWR) yang berbahan bakar uranium padat dan berpendingin air bekerja pada tekanan 160 bar. Menurut dia, bahan bakar MSR sudah cair dan garam memiliki titik didih 1.400 derajat Celsius sehingga tak perlu diberi tekanan. “Karena tekanannya normal, jika terjadi kebocoran, pada reaktor pun tak akan ada ledakan seperti di PLTN Fukushima, Jepang,” ujarnya.

Bob mengatakan MSR juga lebih aman lantaran bisa menihilkan pelepasan radiasi bahan-bahan radioaktif ke lingkungan ketika terjadi kecelakaan nuklir. Pada reaktor berpendingin air, ketika terjadi ledakan, bahan radioaktif yodium (I-131), strontium (Sr-90), dan sesium (Cs-137) akan berwujud gas. Sedangkan pada MSR, ketiga bahan radioaktif itu tetap terikat dalam garam cair. “Anggaplah terjadi kebocoran, maka garam cair itu akan menetes ke dasar reaktor. Sifatnya garam, kalau dingin akan membeku,” tuturnya.

Menurut juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Satrio S. Prilianto, mahalnya biaya dan lamanya waktu pembangunan menjadi alasan utama tidak adanya urgensi pendirian PLTN di Indonesia. “Dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga energi terbarukan seperti surya (PLTS) dan angin (PLTB), dengan nilai investasi yang sama, dapat dihasilkan kapasitas yang lebih tinggi,” ucap Satrio melalui pesan WhatsApp, Rabu, 27 Januari lalu.

Satrio menuturkan, skala kapasitas PLTS dan PLTB lebih fleksibel karena dapat dibuat untuk kapasitas kecil ataupun besar. Dengan teknologi small modular reactor (SMR), dia menerangkan, PLTN dapat dibuat dalam skala lebih kecil, tapi perkembangannya secara komersial belum terbukti. “Berdasarkan The World Nuclear Industry Status Report (WNISR) 2020, banyak proyek SMR yang mangkrak setelah dimulai cukup lama,” kata Satrio. Menurut WNISR 2020, beberapa proyek SMR di Argentina, Kanada, Cina, India, Rusia, Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat tertunda, bahkan dihentikan.

Bob Effendi mengakui pembangunan reaktor nuklir konvensional mahal dan membutuhkan waktu lama. Itu sebabnya ThorCon memilih reaktor generasi IV jenis MSR. “Kami bisa bersaing dengan pembangkit batu bara,” ujarnya.

Menurut Bob, biaya MSR rendah karena tekanannya normal. Ia menyamakan tekanan dalam reaktor itu dengan keran air di rumah. “Jadi tidak membutuhkan baja yang tebal sehingga dapat dibangun hampir semua pabrik baja, termasuk PT PAL Indonesia,” tuturnya. Selain itu, Bob menambahkan, pembangunannya bisa berlangsung kurang dari sepuluh bulan. Adapun pendirian PLTN pada umumnya membutuhkan waktu lima-sepuluh tahun.

ThorCon International, kata Bob, menjalin kerja sama dengan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) dari Korea Selatan untuk membangun TMSR500. “DSME sudah mengkonfirmasi kesanggupan membangun struktur TMSR500 yang pertama dalam 30 bulan. Untuk yang berikutnya dibuat dalam waktu sepuluh bulan,” ucap Bob. “Buat mereka, TMSR500 ini seperti kapal.” Bob mengklaim TMSR500, yang berdimensi 176 x 66 x 35 meter, dapat beroperasi pada 2028.



Peneliti nuklir dari Institut Teknologi Bandung, Zaki Su’ud, mengatakan PLTN generasi IV baru masuk tahap komersial secara penuh setelah 2030 karena sejumlah isu teknologi yang perlu dipecahkan. “Termasuk masalah korosi pada PLTN generasi IV berpendingin Pb (timbal), Pb-Bi (timbal-bismut), dan molten salt. Saya memperkirakan persoalan ini bisa diselesaikan dengan tuntas di atas tahun 2030,” kata pengajar di Kelompok Keahlian Fisika Nuklir dan Biofisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung itu.

Menurut Zaki, berdasarkan regulasi, pembangunan PLTN tipe baru digarap oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional atau dikerjasamakan dengan Batan. “Peraturan pemerintah baru yang menindaklanjuti Undang-Undang Cipta Kerja bisa berpengaruh terhadap hal ini,” tutur pakar Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia itu.

Adapun Bob menyatakan pihaknya membutuhkan dasar hukum untuk membangun PLTN yang nilai investasinya mencapai Rp 17 triliun itu. “Seperti juga 223 proyek strategis nasional berskala besar baik milik swasta ataupun BUMN yang dipayungi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020,” ujar Bob.

Kepala Batan Anhar Riza Antariksawan mengatakan lembaganya mendapat penugasan dari Kementerian Riset dan Teknologi berdasarkan Peraturan Menteri Riset Nomor 38 Tahun 2019 tentang Prioritas Riset Nasional untuk menyiapkan pra-proyek PLTN. “Penyiapan itu kemudian diterjemahkan ke dalam studi kelayakan secara komprehensif terkait dengan tapak dan nontapak. Keputusan membangun atau tidak akan melihat berbagai pertimbangan, salah satunya studi kelayakan,” kata Anhar, Jumat, 15 Januari lalu.

Dalam prioritas riset nasional itu, Anhar melanjutkan, Batan sudah digariskan mengkaji reaktor nuklir berpendingin air (LWR) karena merupakan teknologi yang sudah terbukti. “Produk studi kelayakan itu adalah dokumen. Memang di awal saya dengar diharapkan menghasilkan prototipe, tapi dari sisi waktu tidak memungkinkan,” ucapnya. Selain itu, Anhar menambahkan, ada perubahan pendanaan yang tidak seperti ide awal karena pemerintah memprioritaskan penanganan Covid-19. “Sangat jauh di bawah Rp 6,2 triliun itu.”

Ihwal pembangunan PLTN oleh swasta, Anhar mengatakan hal itu di luar kewenangan Batan, yang berfokus pada pengembangan PLTN nonkomersial (untuk eksperimental). “Yang di Bengkayang itu pun nanti bukan Batan yang membangun. Tapi kalau nanti diminta membantu pemerintah daerah, kami akan senang hati melakukannya,” tuturnya. Sedangkan Bob mengatakan tipe reaktor yang dikembangkan Batan dan ThorCon berbeda. Lokasi tapak pun berbeda. Batan di darat, sementara ThorCon di laut.

Perihal tapak, menurut Kepala Biro Hukum, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Indra Gunawan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, lokasi pembangunan instalasi nuklir harus di daratan. “Lokasi di atas laut yang terkoneksi ke dok dimungkinkan, tapi belum menjadi kebijakan karena memerlukan kajian dan pengalaman operasi dari negara lain,” kata Indra, Kamis, 28 Januari lalu.

Indra mengatakan sampai saat ini Bapeten belum menerima permohonan pembangunan PLTN dari ThorCon International. Indra mengungkapkan, untuk membangun pembangkit listrik, ada persyaratan teknis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang harus dipenuhi. “Dari sisi Bapeten, instalasi nuklir bisa dikonstruksi atau tidak, atau memerlukan perbaikan desain, setelah dilakukan proses evaluasi desain dengan lokasi tapak yang spesifik,” ujarnya.

Dosen Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, Andri Slamet Subandrio, mengatakan pembangunan PLTN tidak hanya akan mensyaratkan izin dari Kementerian Energi, tapi juga dari kementerian terkait karena menyangkut keamanan yang tinggi. “Amerika Serikat, misalnya, menggolongkan tambang uranium dan torium sebagai aset strategis untuk ketahanan dan kemajuan negara,” ucap Andri, Kamis, 28 Januari lalu. Menurut dia, gerakan masif berbagai pihak untuk mengeksplorasi bahan radioaktif tersebut memerlukan dukungan pemerintah.

DODY HIDAYAT, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus