Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Peneliti BRIN: Hujan Ekstrem Masih Berpotensi Terjadi Hingga Akhir April

Peneliti BRIN Erma Yulihastin mengatakan, masih ada potensi hujan deras walaupun Indonesia sudah masuk transisi musim hujan ke musim kemarau.

6 April 2025 | 14.36 WIB

Suasana Kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Suasana Kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Potensi hujan dengan intensitas sedang, deras, hingga ekstrem masih ada hingga akhir April 2025. Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengatakan, kondisi cuaca ini dipengaruhi oleh berbagai gelombang atmosfer di sejumlah wilayah Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Berkaitan erat dengan aktivitas berbagai gelombang atmosfer, yaitu Kelvin, Madden Julian Oscillation (MJO), Rossby, maupun pusat tekanan rendah,” kata Erma dalam keterangan tertulis, Ahad, 6 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut analisis Erma, pertemuan antara Gelombang Kelvin dan MJO terjadi di Samudra Hindia dekat utara ekuator atau di Sumatra Utara dan Aceh pada 1-10 April 2025. Keadaan ini menyebabkan pembentukan awan konvektif atau awan yang membawa potensi hujan di Sumatra.

Selain itu, kata Erma, Pusat tekanan rendah juga terbentuk di Kalimantan dan Laut Jawa utara di Jawa Timur. Ini menyebabkan pembentukan klaster awan masih dapat terbentuk di Kalimantan bagian tengah dan selatan.

Erma mengatakan mekanisme hujan harian tetap bisa terbentuk selama 10 hari pertama bulan April apabila pembentukan awan dan hujan terjadi di Sumatra maka dalam waktu 12-24 jam. Kemudian penjalaran hujan bisa terjadi dari Lampung menuju Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. dan Jawa Barat.

Sementara itu, kata Erma, hujan yang terbentuk di Kalimantan Selatan dapat menjalar menuju Jawa Timur. “Proses ini terjadi setiap hari sehingga hujan meluas masih dapat terjadi terutama di Jawa bagian barat dan timur,” tuturnya.

Pada dasarian kedua atau tanggal 11-20 April, aktivitas Gelombang Rossby akan mengalami peningkatan dan terbentuk di Laut Banda-Maluku. Kondisi tersebut dapat memicu pembentukan badai vorteks kembar utara dan selatan. Menurut Erma, prakondisi pembentukan vorteks tersebut juga sekarang telah terjadi di perairan timur tersebut. Ini menimbulkan ketidakstabilan di atmosfer, sehingga cuaca ekstrem yang sporadis dapat terjadi tidak hanya di wilayah sekitarnya (Sulawesi, Halmahera, Maluku), namun juga di Jawa.

Pada dasarian kedua April, Erma juga memperkirakan terjadi pertemuan antara Gelombang Kelvin dan Rossby di wilayah Jawa Timur-Bali-Lombok, sehingga dapat menyebabkan hujan deras hingga ekstrem yang persisten selama berhari-hari.

Sedangkan pada dasarian ketiga April, pertemuan antara Gelombang Kelvin dan Rossby bergeser ke barat, yaitu wilayah Samudra Hindia dekat Sumatra bagian selatan. Dampaknya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Sumatra bagian selatan harus kembali menghadapi peningkatan hujan kembali.

Masa Transisi Musim Hujan ke Musim Kemarau

Sebelumnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan sejak Maret lalu telah masuk masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau di seluruh wilayah Indonesia. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan musim kemarau sudah dimulai bertahap.

Pada bulan Maret, musim kemarau masuk bertahap di sebagian kecil wilayah Jawa Barat bagian utara, sebagian Pulau Madura atau Jawa Timur, sebagian kecil Kalimantan Utara, serta Nusa Penida di Bali. Pada bulan April, secara bertahap mulai terjadi di wilayah Lampung bagian timur, pesisir utara Jawa bagian barat, pesisir Jawa Timur, sebagian Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Pada bulan Mei mulai musim kemarau akan masuk bertahap di sebagian kecil Sumatera, sebagian besar Jawa Tengah hingga Jawa Timur, sebagian Kalimantan Selatan, Bali, serta Papua bagian selatan. Selanjutnya pada bulan Juni, kemarau mulai di wilayah sebagian besar Sumatera, sebagian besar Jawa bagian barat, Kalimantan bagian selatan, dan sebagian kecil wilayah di Sulawesi dan Papua.

“Musim kemarau 2025 di Indonesia diprediksi terjadi pada periode waktu yang sama dengan normalnya, yaitu sesuai dengan awal musim kemarau selama 30 tahun terakhir,” kata Dwikorita saat konferensi pers daring pada Kamis, 13 Maret 2025.

Menurut BMKG, berakhirnya musim hujan di Indonesia ditandai dengan aktifnya Angin Monsun Asia menjadi Angin Monsun Australia. Suhu muka laut pada awal Maret 2025 juga menunjukkan adanya fenomena La Nina di Samudra Pasifik yang telah bertransisi menuju El Nino Southern Oscillation (ENSO) netral.

Selain itu, kata Dwikorita, terdapat fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) pada fase netral di Samudra Hindia. “Kedua fenomena tersebut (ENSO dan IOD) diprediksi akan tetap berada dalam fase netral sepanjang musim kemarau 2025.

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus