Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti politik lingkungan Universitas Andalas, Dewi Anggraini, menyoroti praktik rent seeking (pemburu rente) yang terjadi dalam aktivitas tambang emas ilegal di Sumatera Barat. Ia menyebutkan bahwa aktivitas ini melibatkan banyak pihak, termasuk pengusaha besar, pemodal, hingga oknum aparat. Meski tak menyebut nama, Dewi mengungkap temuan ini berdasarkan penelitian yang dilakukannya pada 2023 di Kabupaten Sijunjung dan Solok Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian itu mengidentifikasi tiga faktor utama yang mendorong praktik pemburu rente dalam tambang emas ilegal. Pertama, adanya relasi kepentingan yang kompleks antara oknum pemerintah daerah dan pengusaha tambang ilegal. Hubungan ini seringkali didasarkan pada kepentingan ekonomi dan politik yang saling terkait, menciptakan jaringan kuat yang sulit diurai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktor kedua adalah keterlibatan oknum aparat dan birokrat yang berperan sebagai "bekingan". Menurut Dewi, dukungan ini kerap diberikan melalui pertukaran uang atau imbalan lain untuk memuluskan aktivitas tambang ilegal. Bahkan, sejumlah oknum aparat, birokrat, hingga legislatif diduga memiliki peralatan tambang ilegal sendiri.
"Biasanya ada pembekingan dari oknum aparat. Informasi tentang razia sering bocor, sehingga pekerja tambang dan peralatan bisa libur sementara. Itu bukan gratis, masyarakat biasanya menyetor," kata Dewi saat Diskusi Publik bertajuk Mampukah Kapolri Sapu Bersih Tambang Ilegal, di Padang, Sumatera Barat, Rabu 4 November 2024.
Ketiga, lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah memperburuk situasi. Kurangnya tindakan tegas memungkinkan aktivitas tambang ilegal terus berkembang. Dampaknya mencakup kerusakan lingkungan, ketimpangan ekonomi, hingga ancaman terhadap stabilitas hukum di wilayah tersebut.
Dewi, yang juga Kepala Program Studi Ilmu Politik Universitas Andalas, menjelaskan bahwa pemburu rente dalam tambang ilegal terdiri dari berbagai aktor, mulai dari korporasi besar, pejabat pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat pemilik lahan. Kombinasi ini menciptakan ekosistem yang mendukung berjalannya aktivitas tambang ilegal serta menyulitkan upaya penegakan hukum.
"Aktor-aktor tersebut meliputi pemilik modal, pemilik lahan, operator mesin dompeng, suplier bahan bakar minyak (BBM), dan pekerja tambang. Pemilik modal bisa mendapatkan 50% dari pembagian hasil, sementara pemilik lahan biasanya memperoleh sekitar 20%," kata Dewi.
Selain itu, Dewi menyoroti faktor ekonomi sebagai alasan utama mengapa aktivitas ini terus berlangsung. Sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat masyarakat tergoda untuk terlibat, meskipun risiko yang dihadapi cukup besar. Dengan pendapatan pekerja tambang ilegal yang diperkirakan mencapai Rp500 ribu hingga Rp1 juta per minggu, daya tarik ini menjadi sulit dihindari.
Dewi menegaskan bahwa solusi untuk memutus mata rantai tambang emas ilegal tidak bisa hanya menyasar pekerja kecil. Ia menilai perlu ada penindakan tegas terhadap pemodal, oknum aparat, dan tokoh adat yang menjadi bagian dari jaringan ini. "Tidak cukup hanya menangkap pekerja kelas bawah. Harus dimulai dari aktor-aktor besar di atas," ujarnya.
Dewi juga mengingatkan bahwa praktik pemburu rente dalam tambang emas ilegal bukan hanya merugikan lingkungan, tetapi juga memperparah ketimpangan ekonomi dan melemahkan supremasi hukum. Dibutuhkan langkah konkret dan koordinasi dari berbagai pihak untuk menghentikan praktik ini.
Penambangan ilegal di Solok Selatan menjadi sorotan setelah Kepala Bagian Ops Polres Solok Selatan AKP Dadang Iskandar menembak Kasat Reskrim Polres Solok Selatan AKP Ryanto Ulil di bagian kepala pada Jumat dini hari, 22 November 2024. Penembakan itu terjadi lantaran Ryanto sedang mengusut kasus tambang ilegal galian C.