Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Binov Handitya menyebutkan pengelolaan hutan di Indonesia saat ini masih bersifat pengelolaan sumber daya hutan dengan dominasi negara dan berparadigma timber management.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, biasanya model kebijakan seperti ini lebih mengutamakan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan negara (state centered forest management policy), dan cenderung mengabaikan basis masyarakat (society-based policy). "Akibatnya, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan seringkali tidak mendapatkan hak akses yang cukup untuk memanfaatkan sumber daya apapun di dalamnya," kata Binov, Rabu, 27 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu disampaikannya saat mengupas tentang fenomena deforestasi serta mengulas tentang penyebab deforestasi dan bagaimana kearifan lokal membantu dalam perlindungan hutan dalam kegiatan Legal Research Discussion (LRD) Seri 22 dengan isu hukum “Pengaruh Local Wisdom dalam Efektifitas Kebijakan Perlindungan Hutan”.
Binov membuka wacana dengan memberikan pengantar bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hamparan hutan yang luas. Hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 92 juta hektare yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Namun, faktanya luas hutan di Indonesia terus menyusut karena aktivitas deforestasi.
Ia menawarkan solusi untuk mengurangi kegiatan penebangan liar dengan sistem pengelolaan kehutanan yang disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat setempat, dengan memasukkan kearifan lokal (local wisdom).
“Kita tahu bahwa pengelolaan hutan di negara ini dari sudut pandang regulasi dan bahkan dimuat dalam Pasal 33 UUD 45, di mana kekayaan alam dikuasai oleh negara, dalam hal ini adalah kehutanan,“ ujar Binov.
Binov menjelaskan locus risetnya, yaitu di kawasan Blora, di mana terdapat banyak hutan jati. Dahulunya, pada saat pendudukan Belanda, kayu jati menjadi komoditas yang menggantikan hutan heterogen menjadi hutan mono. Selanjutnya Departemen Djawatan Kehutanan Belanda atau Boschwezen mulai mengakuisisi hutan-hutan yang ada di Blora dan kayu-kayu jati tersebut dilelang kepada rakyat Blora.
Menurut Binov, Boschwezen kemudian menerapkan sistem tanam tumpang sari yang saat itu tidak diterima dengan baik oleh masyarakat. Bahkan di masa itu masyarakat melakukan perlawanan dengan cara menyabotase dengan mematahkan pucuk pohon jati sehingga tidak tumbuh dengan baik.
Menurutnya, pada locus penelitian tersebut masih banyak terdapat aktivitas deforestasi, di antaranya penebangan liar, pemukiman, pertambangan, pertanian, dan perkebunan. Binov mengatakan cara untuk mengurangi aktivitas deforestasi dengan memberikan sanksi kepada pelanggar oleh negara, yang bisa berupa sanksi pidana atau kerja sosial.
Sementara, kearifan lokal (local wisdom) di dalam pengelolaan hutan dapat ditemukan dalam perilaku ekologis masyarakat asli karena telah berada di sekitar hutan berabad-abad lamanya. Menurutnya, masyarakat lokal memiliki cara sendiri dalam memelihara tanah dan sumber daya alam dengan lebih baik. Karena hidup di tempat itu, masyarakat menjadi saksi atas keberadaan alam. Untuk itu, masyarakat lokal diharapkan bisa menjadi agen penjaga utama dalam hal biodiversity dan konservasi hutan.
“Kami telah melakukan riset di masyarakat setempat dengan memberikan kuesioner. Hasilnya adalah dari 50 orang, 34 orang memberikan jawaban bahwa kearifan lokal diperlukan dalam pengelolaan hutan. Lalu 37 orang juga menyatakan bahwa pelestarian hutan sangat penting dilakukan,” ujarnya.
Hasil itu, menurut Binov, menunjukkan bahwa warga lokal mengerti nilai-nilai turun-temurun dalam pengelolaan hutan. Dalam menanggapi ini, diharapkan pemerintah bisa merumuskan kebijakan yang menyertakan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan,“ katanya.
Dalam sesi selanjutnya, Subarudi M. Wood, seorang profesor dari Kelompok Riset Penduduk dan Manajemen SDA, Pusat Riset Kependudukan BRIN, menanggapi hasil riset tersebut. Ia memberi masukan, seperti kebijakan pengelolaan hutan yang tidak mengabaikan masyarakat sekitar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memberikan areal hutan seluas 12,7 juta ha untuk Social Forestry dan baru tercapai 5,8 juta hektare selama 10 tahun terakhir.
Di akhir paparannya, Subarudi menyimpulkan, kearifan lokal sangat penting dimasukkan dalam perumusan kebijakan pengelolaan hutan, misalnya dalam memilih sistem pengelolaan kolaboratif atau pemilihan sanksi sosial bagi pelaku pelanggaran kehutanan.
Pilihan Editor: Masuk dalam Daftar, ITB Bantah Terlibat Ferienjob ke Jerman 2023