Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Pengembalian kalpataru

Tertekan intimidasi, warga sulu khawatir akan nasib lingkungannya. protes ke alamat cv Irawati indah tidak digubris. merasa siasia, mereka lalu memboyong kalpataru ke Jakarta.

8 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TURUN-temurun mereka berusaha menyelamatkan lingkungan. Usaha ini dihargai empat tahun lalu, ketika piala dan piagam Kalpataru diserahkan kepada mereka penduduk Lopa In Pondos, Sulu oleh Presiden Soeharto. Tapi, pekan ini, simbol kepedulian orang pada lingkungan itu akan dikembalikan. Ada apa? "Kami malu, tak sanggup melaksanakan amanat Presiden dan Menteri KLH," kata John Lamia, ketua kelompok tani Lopa In Pondos dari Dusun Sulu, Kecamatan Tumpaan, Kabupaten Minahasa. John Lamia menerima Kalpataru bersama lima pemenang lain di antaranya Nyi Eroh pada tahun 1988. Waktu itu Pak Harto berpesan agar mempertahankan keselamatan lingkungan di sekitar desanya. Amanat itu memang tepat sekali. Kelompok tani Lopa In Pondos selama puluhan tahun telah berhasil menjaga dan melestarikan hutan di belakang desanya. Mereka bergotong royong hampir 2.000 orang mengamankan beberapa mata air yang ada di kawasan hutan seluas 60 ha itu. Soalnya, mereka menyadari, sumber air minum dan pertaniannya amat bergantung pada lingkungan yang baik. Apa daya, kini upaya tradisional itu tak lagi bisa diteruskan. John, yang adalah juga kepala desa, bersama-sama seluruh warga sudah tak lagi mampu.Pokok pangkalnya bermula pada sungai yang mengaliri desa kecil itu. "Lingkungan yang harus diselamatkan bukan hanya hutan, tapi juga semua yang ada di sekitar kita, termasuk sungai itu," alasannya. Menurut mereka, sungaiyang bernama Nimanga itu kini terancam rusak akibat ulah CV Irawati Indah. Perusahaan dari Manado ini menggali pasir dan kerikil dari sungai dengan harga Rp 50.000 tiap truk. Akibatnya memang belum terasa, karena sungai yang jinak-jinak ganas ini tampak cukup tenang di musim kemarau. Namun, di musim hujan, Sungai Nimanga biasanya sangat galak. Lebarnya yang 20 meter bisa berubah menjadi ratusan meter karena luapan air bah dari hulu.Kalau banjir reda, profil sungai bisa berubah. Alurnya kadang pindah beberapa puluh meter ke kiri atau kanan alur yang lama. CV Irawati Indah masuk Desa Sulu Desember tahun lalu, dengan membeli dua hektare tanah di tepi sungai. Menurut John, ia sempat menegur Hengky Maramis, pimpinan CV Irawati, agar tak mengambil material sungai. Tapi Hengky menjawab, ia justru ingin memindahkan alur sungai ke kiri, menjauhi Desa Sulu. Tiga bulan kemudian, perusahaan ini memancangkan papan nama perusahaan. Di papan itu lengkap dicantumkan kegiatan penambangan yang sudah mendapat izinGubernur Sulawesi Utara. Persiapan penambangan besar-besaran pun segera dimulai. Tanah dua hektare itu rupanya dijadikan lokasi penimbunan material. Di sana dibangun tanggul berukuran 20 x 40 x 8 meter. Dengan kemiringan 25 derajat,tanggul ini dijadikan jembatan untuk truk pengangkut material. Warga Sulu melihat tanggul itu sebagai ancaman. Berjarak hanya 10 meter dari tepi sungai, tanggul itu bisa membendung dan menghalangi air bila banjirdatang. Dengan demikian, air bah itu bisa berbelok ke kanan dan menenggelamkan persawahan. Jika nasib buruk, bahkan Desa Sulu bisa ikut tenggelam. Yangpaling terancam adalah gereja desa, yang kebetulan terletak dekat sungai. Warga Sulu tak tinggal diam. Mereka melancarkan protes pada pengusaha. Tapi tak digubris. Camat Tumpaan, Leo Tampi, lalu mempertemukan kedua pihak.Teryata CV Irawati tak mau disalahkan. Akibatnya, semua warga desa termasuk wanita dan anakanak menjadi berang dan menyerang kantin perusahaan itu, duapekan lalu. Tidak ada kerusakan yang berarti, karena mobil dan peralatan sempat disingkirkan. Malam harinya, meski tempat itu sudah dijaga polisi, penduduk masih menyerang dengan lemparan batu. Akibatnya, kegiatan pertambanganterhenti. Dan Hengky tak berani menampakkan diri di Sulu. Tapi ia tak menyerah begitu saja. Serangan penduduk itu diungkapkannya kepada korankoran Manado. Ia juga mengadu ke berbagai instansi, seperti Kapolda dan Direktorat Sospol Pemda.Menurut Nico Lumenta, karyawan CV Irawati Indah, pimpinannya pernah mengatakan akan menempuh semua usaha, karena investasi yang ditanamnya tak kurang dari Rp 50 juta. Dan akibatnya kini mulai dirasakan John. "Hampir setiap hari ada saja petugas yang menginterogasi saya, baik sipil, polisi, maupun militer," katanya. Ia juga sudah beberapa kali dipanggil ke kantor Pemda Minahasa. Semua intimidasi itu kalau bisa disebut demikian tidak mematahkan semangat John. Tekadnya untuk mempertahankan lingkungan tak sedikit pun surut. Ia meletakkanjabatan sebagai kepala desa, dan dengan biaya bersama dari seluruh warga desa, minggu ini akan terbang ke Jakarta, khusus untuk mengembalikan piala danpiagam Kalpataru. Adalah membingungkan, bahwa Pemda Sulawesi Utara, yang dulu ikut berbangga dengan keberhasilan warga Sulu meraih Kalpataru, kini berbalik menyalahkanmereka. Novry Rumenser, Kepala Bagian Perizinan Dinas Pertambangan, malah heran mengapa warga tak mendukung keputusan gubernur. "Percaya saja, kami tidak akan mengeluarkan izin sembarangan. Prosesnya digarap secara cermat sesuai dengan ketentuan yang berlaku," katanya. Diah Purnomowati dan Phill M. Sulu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus