SUASANA kampanye pemilu seperti bergema lagi di Yogya. Kamis siang pekan lalu, Jalan Malioboro macet total. Ribuan orang tumpah ruah ke jalan utama kota itu. Puluhan sepeda motor yang lewat bergabung dengan massa mendatangi kantor DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka memprotes UU Lalu Lintas baru (UU No. 14 Tahun 1992), yang akan diberlakukan per 17 September mendatang. "Cabut UU Lalu Lintas!" bunyi salah satu poster yang dibawa. Sampai pekan ini, gelombang protes masih terus mengalir menentang UU baru yang berisi 74 pasal itu. Di Jakarta muncul selebaran gelap, yang berisi seruan mogok bagi para sopir angkutan umum satu September mendatang. Baru kali ini sebuah undang-undang dicaci maki demikian keras. Yang mengundang protes umumnya pasal-pasal yang menyangkut pelanggaran pengemudi. Misalnya, kelalaian tak membawa surat izin mengemudi (SIM) diancam denda Rp 2 juta atau kurungan dua bulan. Kelalaian tak punya SIM (Pasal 59 ayat 1 dan 2) terancam denda Rp 6 juta atau kurungan enam bulan. Pidana satu bulan atau denda Rp 1 juta karena melanggar rambu lalu lintas. Ancaman-ancaman itu dinilai terlalu berat, khususnya bagi pengemudi kendaraan umum yang penghasilannya jauh di bawah semua denda itu. Protes di Yogya itu mengecam penyusunan UU LL yang tidak dimasyarakatkan sehingga lolos dari sorotan umum. Anggota DPR pun lalu dihujani kritik cuma bisa menjadi "yes man". Seorang demonstran nyeletuk, "Menggelikan, sekarang anggota DPR ikutikutan protes. Kenapa saat digodok dulu diam saja?" Sejumlah anggota DPR belakangan ini memang panik dan ikut mengecam UU LL. Wakil Ketua DPR/MPR, Soerjadi, sampai mengirim surat ke Presiden, minta penundaan pelaksanaan UU LL itu. Ini malah kena sentil Mensekneg Moerdiono. "Pemerintah tak mungkin menunda UU tersebut. Kalau itu dilakukan berarti merendahkan martabat DPR. Kewenangan Pemerintah itu apa?" kata Menteri. Sementara itu, Menteri Kehakiman Ismail Saleh melihat para pengkritik tidak obyektif. "Kenapa sih hanya melihat sisi pengemudi saja, bukan sisi korban dan keselamatan jiwa orang lain?" katanya. Adanya UU ini, menurut Ismail, justru untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat luas. Dalam UU lama (UU No.3 Tahun 1965) masalah itu, menurut Menteri Ismail, kurang mendapat perhatian. Sekarang, misalnya, ada pembatasan jam kerja bagi pengemudi angkutan umum, yang sekaligus membatasi pengusaha mengeksploitasi buruh. Tujuannya akhirnya juga demi keselamatan umum. Menteri mengungkapkan, UU LL itu bukannya tak bisa diubah. "Tapi, wong diberlakukan saja belum, kok sudah minta ditinjau kembali. Sebagai bangsa yang arif, ya jalankan saja dulu. Kalau nanti ternyata ada masalah, dibicarakan lagi. Kalau perlu, ditinjau kembali," katanya. Yahya Harahap, hakim agung senior yang dikenal sebagai penulis literatur hukum, mendukung UU LL yang baru itu. Ia berpendapat, UU baru ini justru bisa membangun masyarakat yang beradab dan manusiawi. "Di negara-negara maju, sopir bis umum adalah orang yang paling beradab dan manusiawi. Tapi, coba lihat, di Jakarta, justru sebaliknya. Apa kita tak ingin perubahan?" katanya. Menyinggung proses hukum acaranya, Yahya tak sependapat dengan anggota DPR Abdullah Zaini, yang menyebutkan UU LL tak sesuai dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Zaini, perkara lalu lintas yang ancaman hukumannya berat dan dendanya di atas Rp 7.500, tak lagi bisa disebut perkara sumir. Perkara lalu lintas jadinya masuk klasifikasi perkara biasa. Konsekuensinya, sesuai dengan ketentuan KUHAP, harus ada berita acara, jaksa, pengacara, dan hakim. Jadi tak sekadar hakim saja, dan jaksa diwakili polisi. Yahya mengungkapkan dalam KUHAP ada tiga bentuk proses persidangan. Acara biasa yang patokan hukumannya 5 tahun ke atas, acara singkat yang patokan hukumannya dua bulan ke atas, dan acara cepat. Acara cepat terbagi dua, yakni: acara cepat tindak pidana ringan dengan ancaman hukuman tidak lebih dari 3 bulan atau denda Rp 7.500, dan pelanggaran lalu lintas yang patokan ancamannya tidak dicantumkan. Jadi, pelanggaran lalu lintas, sekalipun ancaman hukuman dan dendanya berat, menurut Yahya, tidak bertentangan dengan KUHAP. Proses pemeriksaannya tetap bisa masuk acara cepat (rol) dan cukup diperiksa seorang hakim. Menurut Yahya, pelanggaran lalu lintas umumnya tergolong tertangkap tangan sehingga fakta-faktanya jelas. Proses pemeriksaannya tidak berlarut-larut. "Tidak pernah ada tindak pidana pelanggaran lalu lintas yang tidak tertangkap tangan," ujar Yahya. Yang kini perlu dipikirkan, pelaksanaannya di lapangan. Sebelum UU ini dinyatakan efektif, Yahya menyarankan, Kapolri hendaknya menyiapkan mentalitas polisi. Karena, UU baru ini memang membuka lahan bagi polisi mengutip pungli. Tanda-tanda sudah terlihat. Mengantisipasi pengurusan SIM yang membludak di Polda Metro Jaya, diturunkan Provost untuk menjaring para calo. Ternyata rantai pungli menjadi lebih panjang dan "harga" SIM malah naik. Aries Margono, Andy Reza Rohadian, dan R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini