Hutan bakau Muara Angke, yang berfungsi melindungi Jakarta dari abrasi dan intrusi, kini semakin sempit dan tercemar. PENGGUBAH lagu Ismail Marzuki, dalam ciptaannya yang terkenal, Bandar Jakarta, mengawali lagu tersebut dengan kata-kata: Awan lembayung menghiasi alam indah permai, aman terlindung oleh Pulau Seribu melambai .... Jakarta memang terlindung, seperti yang dilihat almarhum seniman terkenal itu, sekitar 40 tahun lalu. Tapi pelindung sebenarnya adalah apa yang bisa disebut tameng alam berupa kawasan hutan bakau, membentang seluas 330 ha dan dengan setia mengamankan Kota Jakarta dari gempuran ombak Laut Jawa. Gempuran itu sendiri berkekuatan besar untuk tidak cuma mengikis pantai, tapi juga menimbulkan abrasi dan intrusi di daratan Jakarta. Namun, semua itu selama berabad-abad bisa ditangkal oleh kawasan hutan bakau, sampai datangnya pengusaha real estate yang membabat hutan, lalu mendirikan kompleks yang kini dikenal dengan nama Taman Impian Jaya Ancol dan perumahan Pluit. Dari sini, mulailah sistem pertahanan alami itu dipereteli. Menurut Kepala Dinas Kehutanan DKI Murni Permadi, kawasan yang berfungsi sebagai perisai Jakarta terdiri dari 50 ha hutan lindung di sepanjang pantai, 25 ha cagar alam, 100 ha hutan wisata, dan 10 ha kebun bibit tanaman kehutanan. Sisanya -- bukan hutan -- berupa jalur transmisi PLN tegangan tinggi dan saluran air Cengkareng. Perisai itu terhitung rapuh untuk Jakarta, yang luasnya hampir 700 km2. Apalagi hutan di pantai utara Jakarta tinggal tersisa di Muara Angke. Jumlah itulah yang kini bisa diandalkan, sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Tahun 2005 -- melalui Perda DKI Tahun 1984. Kini, dengan hutan bakau yang dipersempit, sesudah Ancol dan Pluit, menyusul PT Mandara Permai. Perusahaan ini menggarap daerah tersebut untuk dijadikan perumahan mewah Pantai Indah Kapuk. Mereka memang memberi tanah pengganti di Pulau Penjalinan Barat dan Timur, tapi kedua tempat ini tak bisa menahan gelombang. Soalnya, tanah pengganti itu terletak di Kepulauan Seribu. Lalu? Sia-sialah penjelasan dosen ekologi dan pengelolaan sumberdaya alam Fakultas Kehutanan IPB Ishemat Surianegara, yang menekankan bahwa hutan bakau bisa menyangga pantai dan menghindarkannya dari erosi, abrasi, dan intrusi. Selain itu, bakau di Muara Angke juga merupakan rumah besar untuk ratusan monyet ekor panjang, ular, dan kucing hutan. Sang monyet hidup dari buah dan pucuk tanaman serta ikan yang berkumpul pada akar hutan bakau. Pada gilirannya, ikan ini jugalah yang mendatangkan ribuan burung air dari Pulau Rambut ke Muara Angke (lihat Boks). Sekarang, hilangnya hutan bakau sudah dirasakan oleh penduduk Jakarta. Yang paling nyata, kata Ishemat, adalah intrusi (perembesan) air laut di dalam air tanah, yang diperkirakan sudah sampai di Jalan Thamrin dan terus meluas ke selatan. Penyebabnya, selain tekanan jet pump yang semakin besar, tidak pula ada bakau untuk menahan air laut yang mengalir bebas tanpa hambatan. Singkatnya, penduduk Jakarta terancam. Apalagi perubahan arus laut karena hilangnya bakau di Ancol dan Pluit terus menghantam deretan tanaman di Muara Angke. Dan ini masih diperburuk oleh timbunan sampah yang terbawa Sungai Muara Angke dan ikut merusak tanaman di sana. Agaknya, tanpa pelestarian yang serius, kelak bakau di Muara Angke mungkin akan senasib dengan hutan yang hilang di Ancol. Diah Purnomowati. Liston P. Siregar. Gabriel Sugrahetty D.K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini