Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Musibah Petani Kopi

Para petani kopi dibeberapa daerah terpukul. Harga dan kuota ekspor terus turun. Eksportir selalu banyak untung. kuota ekspor kopi Indonesia dikurangi jatahnya.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM beberapa tahun belakangan ini, Pasar Sidikalang di Kabupaten Dairi (Sum-Ut selalu sepi. Kedai-kedai kopi, warung bakmi atau toko-toko kelontong tak lagi ramai dikunjungi para petani kopi yang berdatangan dari berbagai desa di kabupaten yang terkenal sebagai penghasil kopi terbesar di Sum-Ut tersebut. "Dulu, tahun 1975, warung saya selalu penuh. Ketika itu harga kopi Rp 2.000 se kilo," kata A Kau, penjual bakmi di sudut pasar. Ketika itu memang banyak petani kopi kebanjiran duit. Mereka seakan-akan berlomba menghabiskannya. Ada yang memugar rumah dengan beton, membeli radio, televisi, sepeda motor, mobil. Ompu Lambot Manullang sempat membeli Chevrolet tua warna biru dari hasil kebunnya yang hanya setengah hektar. Tapi kini harga kopi jatuh dari hari ke hari. Awal bulan ini masih Rp 800/kg, beberapa hari kemudian melorot jadi Rp 700, bahkan kemudian Rp 600, lantas Rp 500/kg. Padahal kopi dari daerah ini yang disebut "kopi Sidikalang", terkenal enak. Karena harga terus meluncur turun, penduduk Desa Bunturaja di Kecamatan Si Empat Nempu, yang hampir 100% menggantungkan hidup dari kopi, enggan turun ke kebun memetik kopi yang mestinya sudah dipanen awal bulan ini. Pertama Kali Selain karena harga yang semakin anjlok ini semua gara-gara dikuranginya kuota (jatah) ekspor kopi bagi Indonesia, dari 192.000 ton (tahun lalu) menjadi 138.000 ton. Keputusan yang diambil dalam sidang Organisasi Kopi Internasional di London bulan lalu itu berlaku selama setahun sejak 1 Oktober lewat. Meskipun menurut Dharyono Kertosastro, Ketua Umum AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia harga kopi sudah anjlok sejak November 1980. Produksi kopi Indonesia rata-rata 325.000 ton/tahun di antaranya sekitar 250.000 ton/tahun yang layak ekspor. Jika kuota ekspor tahun 1981/82 sebanyak 138.000 ton, berarti masih tersisa sekitar 112.000 ton yang harus dipasarkan. Karena itu kini pemerintah sedang menjajaki kemungkinan ekspor kopi ke negara-negara nonkuota seperti Eropa Timur dan Timur Tengah. Di pasaran internasional harga kopi Indonesia ditetapkan antara US$ 1.20 sampai US$ 1.40 per Ibs (sekitar setengah kilogram)--atau sekitar Rp 1.500/ kg. Negara pengimpor yang utama adalah AS, disusul Negeri Belanda dan Jepang. Repotnya, menurut kalangan AEKI, mutu kopi ekspor kita masih belum memenuhi syarat, sebab kadar airnya sekitar 14%. Hal itu barangkali karena hampir 95 % produksi kopi di sini diolah secara tradisional. Untuk itu menurut Menteri Perdagangan Radius Prawiro, pemerintah akan meningkatkan mutunya antara lain dengan penyuluhan kepada para petani. Di Kabupaten Dairi selama ini masih banyak petani yang belum tahu cara memelihara kebun kopi. Tanaman keras itu dibiarkan tumbuh rimbun, padahal kopi akan berbuah lebat bila hanya berdahan dua atau tiga saja. Tak kurang pula petani yang bertanam cabe, cengkih, randu atau petai di sela-sela pohon kopi. Tanaman-tanaman sela tersebut sangat mengganggu pertumbuhan kopi. Petani kopi Dairi, selain memetik biji kopi yang sudah merah matang juga memetik yang masih hijau, termasuk yang kena hama. Setelah digiling lantas dijemur di halaman rumah tanpa alas. "Ada sekitar 4-5% kopi berhama dari seluruh produksi kabupaten ini," kata Kepala Dinas Perkebunan Rakyat Kabupaten Dairi. Ir. B. Girsang. Selain Sum-Ut, penghasil kopi adalah juga Aceh, Lampung, Sum-Sel, Ja-Tim dan NTT. Kualitas kopi Ja-Tim agak lebih baik karena ditanam di perkebunan yang sudah teratur. Tapi belakangan ini hampir semua petani di Desa Sukosari di lereng Gunung Ijen, Kabupaten Bondowoso, terpaksa gigit jari. Produksi kopi di sini menurun 70% dibanding sebeiumnya, karena hujan terlambat turun. Kemudian disusul turunnya haFga kopi. "Ini musibah besar yang baru pertama kali diderita petani kopi," kata H.M. Saleh, 70 tahun, sesepuh Desa Sukosari. Sehingga kini tak lagi terdengar bising pengeras suara di kampungkampung-tanda orang menyelenggarakan perhelatan sehabis panen. Pasar di Bondowoso pun sepi. "Saya mengalami penurunan omzet sampai lebih 50%," kata Ja'far Hadar, pedagang perabot rumah-tangga di pasar itu. Padahal sebelumnya bila panen dan harga kopi baik, para petani memborong alat-alat rumah-tangga di toko Ja'far. Buruh-buruh kebun kopi juga menganggur. Sebagian menuju kota menjadi buruh bangunan. Tahun lalu ketika panen baik, mereka bekerja sebagai pengumpul atau pengelupas biji kopi di Sukosari. "Lama saya tunggu pancn kopi, tapi tahun ini rupanya saya lagi tak beruntung," kata Sumiyem yang mengaku dapat membeli rumah papan dari hasil menjadi buruh kopi di Sukosari. Penduduk Desa Sungai Dua, Kenagarian Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu (Solok, Sum-Bar) juga menggantungkan hidup dari kopi. Di sini setiap KK ratarata memiliki 2 atau 3 hektar kebun kopi. Setiap tahun tak kurang dari 250 ton kopi dihasilkan oleh desa di tengah hutan tersebut. Dua tahun lalu ketika harga kopi Rp 3.000/kg, banyak penduduk berpesta-pora, ada pula yang menyimpan uang jutaan di bank. Tapi kini harga kopi di sana meluncur hingga di bawah Rp 500/kg. Tak heran kalau untuk membeli beras, ada penduduk yang terpaksa jadi buruh di desa lain. "Habis, mau apa lagi. Upah memburuh di ladang Rp 1.000 sehari, jauh lebih besar dari pada harga kopi sekilo," kata Sukinah, petani dari Sungai Dua. Keadaan seperti itu tentu saja membuat Pemda setempat serba salah. "Kalau mereka dibantu, sementara harga kopi jatuh, jelas mereka tidak akan bisa mengembalikan kredit. Kalau tidak dibantu, mereka terpukul," ujar Drs. Asril Saman Sekwilda Kabupaten Solok. Sampai minggu lalu Pemda belum mengambil kebijaksanaan apa-apa. Belum Terbentuk Di Kabupaten Lahat, salah satu daerah kopi di Sum-Sel, tingkat kemakmuran petani kopi bisa ditandai dari jurrllah jamaah haji. Pada musim haji 1978, ketika harga kopi Rp 2.000/kg, dari Lahat berangkat 505 jamaah haji alias 90% dari jumlah jamaah haji Sum-Sel. Begitu pula tahun berikutnya. Tapi pada 1980 ketika harga kopi turun jadi Rp 1.200/ kg, jumlah jamaah haji juga menurun jadi 243 orang. Tahun 1981 ini jumlah tersebut menjadi 21 orang. Tapi dalam bisnis kopi ini yang diuntungkan ternyata bukan semata-mata petani produsen. Para tengkulak dan pedagang perantara lebih banyak memungut keuntungan. Hampir di semua daerah, pengumpulan kopi sampai ke tanngan eksportir melewati jenjangjenjang pedagang perantara. Petani kopi seperti Cik Ali dari Desa Bumi Agung (Kecamatan Pagar Alam, Lahat) misalnya, menjual kopi Rp 400/kg. Kopi yang diangkut ke kota kecamatan itu kemudian dijual dengan harga Rp 425/kg. Dari sini dibawa ke kota kabupaten, dijual Rp 430/kg. Sampai di tangan eksportir di Palembang sudah menjadi Rp 675/kg--padahal eksportir menjual dengan harga lebih dari dua kali lipat dari pembeliannya. Di Sum-Sel yang setiap tahun rata-rata menghasilkan 40.000 ton kopi seperti juga di daerah penghasil kopi lainnya, memang sudah direncanakan membentuk KUD, sebagai jembatan antara petani produsen dan eksportir kopi--setidak-tidaknya agar petani mendapat tambahan harga dari eksportir. Tapi sampai harga kopi jatuh awal bulan ini, KUD tersebut belum juga terbentuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus