DALAM beberapa tahun belakangan ini, Pasar Sidikalang di
Kabupaten Dairi (Sum-Ut selalu sepi. Kedai-kedai kopi, warung
bakmi atau toko-toko kelontong tak lagi ramai dikunjungi para
petani kopi yang berdatangan dari berbagai desa di kabupaten
yang terkenal sebagai penghasil kopi terbesar di Sum-Ut
tersebut.
"Dulu, tahun 1975, warung saya selalu penuh. Ketika itu harga
kopi Rp 2.000 se kilo," kata A Kau, penjual bakmi di sudut
pasar. Ketika itu memang banyak petani kopi kebanjiran duit.
Mereka seakan-akan berlomba menghabiskannya. Ada yang memugar
rumah dengan beton, membeli radio, televisi, sepeda motor,
mobil. Ompu Lambot Manullang sempat membeli Chevrolet tua warna
biru dari hasil kebunnya yang hanya setengah hektar.
Tapi kini harga kopi jatuh dari hari ke hari. Awal bulan ini
masih Rp 800/kg, beberapa hari kemudian melorot jadi Rp 700,
bahkan kemudian Rp 600, lantas Rp 500/kg. Padahal kopi dari
daerah ini yang disebut "kopi Sidikalang", terkenal enak. Karena
harga terus meluncur turun, penduduk Desa Bunturaja di Kecamatan
Si Empat Nempu, yang hampir 100% menggantungkan hidup dari kopi,
enggan turun ke kebun memetik kopi yang mestinya sudah dipanen
awal bulan ini.
Pertama Kali
Selain karena harga yang semakin anjlok ini semua gara-gara
dikuranginya kuota (jatah) ekspor kopi bagi Indonesia, dari
192.000 ton (tahun lalu) menjadi 138.000 ton. Keputusan yang
diambil dalam sidang Organisasi Kopi Internasional di London
bulan lalu itu berlaku selama setahun sejak 1 Oktober lewat.
Meskipun menurut Dharyono Kertosastro, Ketua Umum AEKI (Asosiasi
Eksportir Kopi Indonesia harga kopi sudah anjlok sejak November
1980.
Produksi kopi Indonesia rata-rata 325.000 ton/tahun di
antaranya sekitar 250.000 ton/tahun yang layak ekspor. Jika
kuota ekspor tahun 1981/82 sebanyak 138.000 ton, berarti masih
tersisa sekitar 112.000 ton yang harus dipasarkan. Karena itu
kini pemerintah sedang menjajaki kemungkinan ekspor kopi ke
negara-negara nonkuota seperti Eropa Timur dan Timur Tengah.
Di pasaran internasional harga kopi Indonesia ditetapkan antara
US$ 1.20 sampai US$ 1.40 per Ibs (sekitar setengah
kilogram)--atau sekitar Rp 1.500/ kg. Negara pengimpor yang
utama adalah AS, disusul Negeri Belanda dan Jepang.
Repotnya, menurut kalangan AEKI, mutu kopi ekspor kita masih
belum memenuhi syarat, sebab kadar airnya sekitar 14%. Hal itu
barangkali karena hampir 95 % produksi kopi di sini diolah
secara tradisional. Untuk itu menurut Menteri Perdagangan Radius
Prawiro, pemerintah akan meningkatkan mutunya antara lain
dengan penyuluhan kepada para petani.
Di Kabupaten Dairi selama ini masih banyak petani yang belum
tahu cara memelihara kebun kopi. Tanaman keras itu dibiarkan
tumbuh rimbun, padahal kopi akan berbuah lebat bila hanya
berdahan dua atau tiga saja. Tak kurang pula petani yang
bertanam cabe, cengkih, randu atau petai di sela-sela pohon
kopi. Tanaman-tanaman sela tersebut sangat mengganggu
pertumbuhan kopi.
Petani kopi Dairi, selain memetik biji kopi yang sudah merah
matang juga memetik yang masih hijau, termasuk yang kena hama.
Setelah digiling lantas dijemur di halaman rumah tanpa alas.
"Ada sekitar 4-5% kopi berhama dari seluruh produksi kabupaten
ini," kata Kepala Dinas Perkebunan Rakyat Kabupaten Dairi. Ir.
B. Girsang.
Selain Sum-Ut, penghasil kopi adalah juga Aceh, Lampung,
Sum-Sel, Ja-Tim dan NTT. Kualitas kopi Ja-Tim agak lebih baik
karena ditanam di perkebunan yang sudah teratur. Tapi belakangan
ini hampir semua petani di Desa Sukosari di lereng Gunung Ijen,
Kabupaten Bondowoso, terpaksa gigit jari. Produksi kopi di sini
menurun 70% dibanding sebeiumnya, karena hujan terlambat turun.
Kemudian disusul turunnya haFga kopi.
"Ini musibah besar yang baru pertama kali diderita petani kopi,"
kata H.M. Saleh, 70 tahun, sesepuh Desa Sukosari. Sehingga kini
tak lagi terdengar bising pengeras suara di kampungkampung-tanda
orang menyelenggarakan perhelatan sehabis panen. Pasar di
Bondowoso pun sepi. "Saya mengalami penurunan omzet sampai lebih
50%," kata Ja'far Hadar, pedagang perabot rumah-tangga di pasar
itu. Padahal sebelumnya bila panen dan harga kopi baik, para
petani memborong alat-alat rumah-tangga di toko Ja'far.
Buruh-buruh kebun kopi juga menganggur. Sebagian menuju kota
menjadi buruh bangunan. Tahun lalu ketika panen baik, mereka
bekerja sebagai pengumpul atau pengelupas biji kopi di Sukosari.
"Lama saya tunggu pancn kopi, tapi tahun ini rupanya saya lagi
tak beruntung," kata Sumiyem yang mengaku dapat membeli rumah
papan dari hasil menjadi buruh kopi di Sukosari.
Penduduk Desa Sungai Dua, Kenagarian Koto Baru, Kecamatan Sungai
Pagu (Solok, Sum-Bar) juga menggantungkan hidup dari kopi. Di
sini setiap KK ratarata memiliki 2 atau 3 hektar kebun kopi.
Setiap tahun tak kurang dari 250 ton kopi dihasilkan oleh desa
di tengah hutan tersebut. Dua tahun lalu ketika harga kopi Rp
3.000/kg, banyak penduduk berpesta-pora, ada pula yang menyimpan
uang jutaan di bank.
Tapi kini harga kopi di sana meluncur hingga di bawah Rp 500/kg.
Tak heran kalau untuk membeli beras, ada penduduk yang terpaksa
jadi buruh di desa lain. "Habis, mau apa lagi. Upah memburuh di
ladang Rp 1.000 sehari, jauh lebih besar dari pada harga kopi
sekilo," kata Sukinah, petani dari Sungai Dua.
Keadaan seperti itu tentu saja membuat Pemda setempat serba
salah. "Kalau mereka dibantu, sementara harga kopi jatuh, jelas
mereka tidak akan bisa mengembalikan kredit. Kalau tidak
dibantu, mereka terpukul," ujar Drs. Asril Saman Sekwilda
Kabupaten Solok. Sampai minggu lalu Pemda belum mengambil
kebijaksanaan apa-apa.
Belum Terbentuk
Di Kabupaten Lahat, salah satu daerah kopi di Sum-Sel, tingkat
kemakmuran petani kopi bisa ditandai dari jurrllah jamaah haji.
Pada musim haji 1978, ketika harga kopi Rp 2.000/kg, dari Lahat
berangkat 505 jamaah haji alias 90% dari jumlah jamaah haji
Sum-Sel. Begitu pula tahun berikutnya. Tapi pada 1980 ketika
harga kopi turun jadi Rp 1.200/ kg, jumlah jamaah haji juga
menurun jadi 243 orang. Tahun 1981 ini jumlah tersebut menjadi
21 orang.
Tapi dalam bisnis kopi ini yang diuntungkan ternyata bukan
semata-mata petani produsen. Para tengkulak dan pedagang
perantara lebih banyak memungut keuntungan. Hampir di semua
daerah, pengumpulan kopi sampai ke tanngan eksportir melewati
jenjangjenjang pedagang perantara. Petani kopi seperti Cik Ali
dari Desa Bumi Agung (Kecamatan Pagar Alam, Lahat) misalnya,
menjual kopi Rp 400/kg.
Kopi yang diangkut ke kota kecamatan itu kemudian dijual dengan
harga Rp 425/kg. Dari sini dibawa ke kota kabupaten, dijual Rp
430/kg. Sampai di tangan eksportir di Palembang sudah menjadi Rp
675/kg--padahal eksportir menjual dengan harga lebih dari dua
kali lipat dari pembeliannya.
Di Sum-Sel yang setiap tahun rata-rata menghasilkan 40.000 ton
kopi seperti juga di daerah penghasil kopi lainnya, memang sudah
direncanakan membentuk KUD, sebagai jembatan antara petani
produsen dan eksportir kopi--setidak-tidaknya agar petani
mendapat tambahan harga dari eksportir. Tapi sampai harga kopi
jatuh awal bulan ini, KUD tersebut belum juga terbentuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini