Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Petani Minang Kembali ke Alam

Petani di Sumatera Barat meninggalkan pestisida dan pupuk kimia. Penggagasnya diganjar Kalpataru.

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASRIZAL, 60 tahun, petani Jorong Batang Laweh, Solok Selatan, Sumatera Barat, masih ingat jelas kejadian di awal 1980-an. Saat itu, ia biasa melihat ada pesawat kecil yang menyemprot sawahnya dengan endrin untuk membasmi hama tungro (virus yang ditularkan wereng hijau) yang memakan padi di kampungnya. Penyemprotan hama juga dilakukan para penyuluh lapangan.

Hama memang mati. Tapi belut dan ikan yang ada di dalam sawah pun jadi korban. Itik, kucing, dan ayam yang memakan ikan mati ikut putus napas pada sore harinya. Benar-benar mengejutkan. ”Sejak itu, saya mulai tidak suka dengan racun pestisida,” kata Masrizal pekan lalu. Ia memakai antihama organik yang ramah lingkungan. Dia kembali ke alam.

Masrizal tak sendiri. Di Sumatera Barat, petani ramai-ramai kembali ke alam. Gerakan ini berawal pada 20 tahun lalu atas prakarsa Ir Djoni, Kepala Dinas Pertanian Sumatera Barat, yang kala itu masih menjadi anggota staf Balai Perlindungan Tanaman Sumatera Barat.

Atas prakarsanya itulah Djoni meraih Kalpataru untuk kategori pembina lingkungan pada Juni lalu. Djoni dinilai konsisten melawan Program Bimbingan Masyarakat yang menerapkan pestisida sistem kalender ke petani di era Orde Baru.

Di era Orde Baru, petani memang diperintahkan memupuk dan menyemprotkan pestisida ke padi dan sayuran secara berkala melalui Program Bimbingan Masyarakat. Padi berumur delapan hari hingga menjelang panen harus terus dipupuk dan disemprot.

”Pupuk dan pestisida gampang didapat, tinggal ambil di koperasi unit desa, dibayar setelah panen,” kata Masrizal, anggota kelompok tani Saiyo Sakato, mengenang masa itu.

Hama memang musnah oleh pestisida, tapi sawah jadi mengeras dan lebih dangkal. Hasil panennya juga berkurang, meski bisa tiga kali panen setahun. Itu tak terjadi ketika ia mengolah lahan secara tradisional sebelum 1980-an. Tanam padi hanya setahun sekali. Setelah panen, tanah dibiarkan ditumbuhi rumput untuk makanan sapi dan kerbau, sehingga tanah dengan sendirinya subur kembali.

”Jika dibandingkan, hasil panennya sama saja antara panen satu kali setahun peninggalan nenek moyang dan tiga kali panen cara pemerintah,” kata Masrizal.

Era berganti, aturan pun berubah. Kini Dinas Pertanian malah mengimbau petani menerapkan pertanian organik dan tidak memakai pupuk kimia dan pestisida.

Djoni pun gencar mendekati para petani di delapan kelompok tani di Sicincin, Kabupaten Padang Pariaman, pada 1984. Di sana ia mengenalkan perihal ekosistem, apa saja yang ada di lahan pertanian, serangga yang merusak dan yang tidak merusak tanaman, serta hama padi.

”Kami mengamati ekosistem ini bersama petani dan belajar bersama bagaimana menjaga keseimbangan ekosistem. Ilmu ini dikembangkan terus ke petani lain, menjadi sebuah gerakan pertanian yang berwawasan lingkungan,” kata Djoni.

Kelompok petani yang dia bina kini meluas ke berbagai daerah di Sumatera Barat. ”Bila dibandingkan, 20 tahun lalu 100 persen petani menyemprotkan pestisida, sedangkan kini hampir tidak ada lagi petani yang menyemprotkan pestisida ke tanaman padinya,” kata Djoni.

Setelah menjadi Kepala Dinas Pertanian Sumatera Barat pada 2006, pria kelahiran Bukittinggi, 15 Agustus 1955, ini makin menggalakkan kampanyenya dengan gerakan padi tanam sebatang, nama lokal untuk metode System of Rice Intensification atau sistem intensifikasi beras.

Dalam sistem ini, budi daya tanaman padi dilakukan seintensif dan seefisien mungkin melalui pengelolaan tanah yang sehat, tanaman yang efisien, dan air yang hemat. Pupuk diganti dengan kompos jerami. Ribuan batang bibit tanaman untuk racun nabati pengganti pestisida dibagikan ke petani, seperti durian belanda dan surian.

Petani yang tidak membakar jerami di lahannya diberi intensif Rp 200 ribu per hektare lahan setiap tahun. Petugas pertanian dilatih untuk mengajari petani membuat kompos dan pestisida alami. Petani yang sudah ahli juga dijadikan penyuluh untuk petani-petani lain. Kini ketergantungan petani pada pupuk kimia tinggal 50 persen.

Dulu tidak ada petani yang mau memakai pupuk kandang. Sekarang tidak ada orang yang menanam sayur tanpa pupuk kandang. ”Ini kan sudah perbedaan luar biasa. Tahun depan kami targetkan tinggal 40 persen ketergantungan pada pupuk kimia dan kalau bisa tidak menggunakannya sama sekali,” kata Djoni.

Gerakan padi tanam sebatang yang juga didukung Universitas Andalas itu terbukti mendongkrak produktivitas padi, dari sekitar 4,5 ton menjadi 6,5 ton gabah kering giling per hektare. Pada 2008, produksi padi di negeri orang Minang itu mencapai 2 juta ton, naik dari 1,98 juta ton pada 2007 dan 1,88 juta ton pada 2006.

Djoni pernah mengusulkan pemerintah menghentikan subsidi pupuk serta subsidi bahan bakar minyak dan menggantinya dengan membelikan ternak untuk petani. ”Dari Rp 17 triliun subsidi pemerintah, itu bisa untuk membeli berjuta ekor kambing yang kotoran dan urinenya bisa dijadikan pengganti pupuk,” kata Djoni.

Setelah gerakan kembali ke alam itu berjalan, kini ekosistem di lahan pertanian di provinsi itu perlahan-lahan pulih. Petani juga mulai ada yang bertani secara organik. Luas pertanian organik di sana lebih dari 286 hektare dan ditargetkan tahun depan mencapai 300 hektare.

”Ini yang bertani organik bukan pengusaha, tapi benar-benar petani, dan mereka menjual hasilnya ke pasar tradisional atau dimakan sendiri karena lebih sehat. Mereka tidak merasa rugi, karena ongkos produksi jauh berkurang, karena tidak membeli pupuk kimia dan pestisida,” kata Djoni.

Masrizal dan kelompok taninya juga belajar kembali tentang pertanian alami. Mereka membuat ramuan hayati dari daun surian, tetunia, dan durian belanda sebagai pengganti pestisida. Mereka mengolah kompos jerami dengan rebung yang difermentasi.

”Sekarang saya sudah mengurangi pupuk kimia 50 persen dan menggantinya dengan kompos jerami. Pestisida dipakai kalau benar-benar diperlukan. Para penyuluh selalu mengatakan bahwa hak kami hanya memakai tanah untuk menumbuhkan padi, dan kesuburan tanah ini harus dikembalikan,” kata Masrizal.

Sementara Masrizal baru mulai belajar, Sutan Basa, 49 tahun, petani di Padang Panjang, malah sudah mahir bertani organik di atas lahannya seluas tiga hektare. Dua hektare lahannya dia tanami dengan padi dan satu hektare diisi sawi putih dan bawang daun.

Di belakang rumah, empat ekor sapinya menjadi ”pabrik” pupuk. Kotoran sapi dijadikan campuran kompos dari dedaunan dan jerami agar hasilnya lebih banyak. Urinenya ditampung dan disimpan beberapa hari di dalam bak penampung, lalu langsung dijadikan pupuk pengganti urea.

Sutan juga mahir meramu tumbuh-tumbuhan pengganti pestisida untuk mengusir ulat pelahap sayuran atau kepinding tanah pelahap batang padi. Ia juga menghancurkan daun surian dan daun titanium yang ekstraknya disemprotkan ke sayuran.

Untuk mengusir kepinding tanah, ia membuat perangkap berupa tumbukan keong emas yang diletakkan di sudut-sudut sawah. Kepinding tanah yang tertarik pada baunya akan terperangkap, lalu dibuang.

”Saya sudah merasakan nikmatnya beras organik, malah hasilnya sayang untuk dijual. Lebih baik dimakan sendiri dan untuk keluarga,” kata Sutan.

Salah satu kelebihan beras organik adalah daya tahannya. Sutan mengaku pernah mengikuti sebuah pertemuan petani tahun lalu di Boyolali, Jawa Tengah. Dari Padang Panjang, dia membawa nasi dari beras organik yang dibungkus daun. Dua hari kemudian, ketika bungkus dibuka, ternyata nasinya belum basi. Di hari-hari biasa, nasi yang ditanak Ernita, istrinya, juga tidak pernah basi.

”Sejak itu, saya semakin bertekad untuk menjadi petani organik. Sayuran yang ditanam juga gemuk-gemuk. Kerja memang bertambah karena harus mengolah pupuk sendiri,” ujar Sutan.

Setelah dua tahun ditanami padi organik, lahan pun kini lebih mudah diolah. Jerami tak lagi dijadikan kompos, tapi langsung ditebar bersamaan dengan proses pembajakan sawah. Jeraminya itu akan terurai sendiri. Di lahannya juga banyak lumut, tanahnya hitam, dan banyak burung, pertanda lahan yang subur.

Di musim kering seperti sekarang ini, petani tidak bisa menanam karena sawahnya keras dan poros (mudah menyerap air). ”Tapi saya tetap menanam. Sawah saya tanahnya tidak poros, tetap bisa mempertahankan air,” kata Sutan Basa.

Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus