Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Perjalanan Mencari Identitas

Q Film Festival ke-8 menyajikan film yang sangat beragam. Tapi yang paling menarik adalah tema remaja gay dan lesbian yang mengungkap diri.

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"AKU tidak tahu apakah aku seorang perempuan yang terperangkap di tubuh lelaki, atau seorang petinju yang terperangkap dalam sebuah sirkus.”

Itu ucapan Nong Toom, petinju Thailand terkemuka, yang sebelumnya dikenal sebagai waria, dalam film Beautiful Boxer. Penampilannya yang flamboyan—mengenakan make-up dan melakukan beberapa ritual tarian sebelum menghajar lawan—dan kemenangannya yang bertubi-tubi di atas panggung kickboxing membuat dunia tinju Thailand menjadi dunia yang berwarna. Tapi, bagi Nong Toom, ini menjadi problem identitas.

Persoalan identitas pada masa pubertas sebetulnya masalah universal, bukan hanya bagi kaum gay. Tapi tema identitas inilah yang sangat menarik dari film-film yang ditayangkan dalam Q Film Festival ke-8 yang diselenggarakan oleh Q-Munity—organisasi gay-lesbian Indonesia. Meski film yang ditayangkan tahun ini sangat beragam—dari tema khas masalah sosial kaum gay, lesbian, dan waria hingga film-film soal HIV—ternyata tema identitas adalah tema yang paling menonjol. Inilah sebagian film Q Film Festival yang menarik.

DOLLS (PUSINKY)
Sutradara: Karin Babinska
Pemain: Petra Nesvacilova, Sandra Novakova, Marie Dolezalova

TIGA orang remaja mencium udara kebebasan. Iska (dan adik lelakinya yang berfungsi menjaga Iska), Vendula, dan Karolina masing-masing mempunyai alasan sendiri untuk meninggalkan Cek menuju Belanda buat bekerja di pertanian selama musim panas. Mereka memutuskan akan menggunakan apa pun yang ada di tubuh mereka agar bisa nebeng mobil siapa pun menuju negeri itu: dengan merayu, menggoda, dan kalau perlu melepas baju agar para lelaki di dalam mobil terangsang dan mengajak ketiga cewek bandel ini.

Dalam perjalanan itulah setiap anak remaja ini mengalami berbagai peristiwa yang mengubah kehidupan mereka. Iska menyadari ia tertarik dan bergairah pada perempuan, pada temannya sendiri, Karolina. Sedangkan si cantik Karolina, yang kabur karena merasa orang tuanya tidak memperhatikannya, tak bisa membalas cinta Iska dan malah terus-menerus menggoda adik lelaki Iska, yang adrenalinnya tengah kelojotan. Vendula mengalami tragedi yang kemudian membuatnya penuh kemarahan sepanjang jalan.

Film ini adalah kisah perjalanan anak-anak remaja yang menemukan identitas dengan cara yang paling menyakitkan. Film ini berhasil menjadi drama coming of age sekaligus sebuah film perjalanan (road movie) yang menggetarkan.

Untuk tokoh Iska, ketertarikannya kepada Karolina bukan hanya karena mereka sudah bersahabat. ”Entahlah, mungkin aku tertarik cara dia menggulung bibirnya, mengerlingkan matanya… tapi aku tak tahu kenapa perasaan itu lahir,” kata Iska mencoba menjelaskan perasaannya ketika Vendula menyerangnya. ”Ya, ya, saya paham,” kata Vendula menghela napas.

Tapi dunia tak akan selalu paham. Ketika ketiga remaja ini akhirnya memutuskan untuk mencari jalan masing-masing, itu bukan berarti mereka akan selalu menemukan kehidupan yang mulus. Tapi perjalanan panjang itu telah mengungkap identitas mereka. Iska sudah menemukan dirinya.

Bidadari di Atas Panggung Tinju

BEAUTIFUL BOXER
Sutradara: Ekachai Uekrongtham
Skenario: Ekachai Uekrongtham

SEORANG anak lelaki yang begitu berbakat di panggung tinju; tapi menikmati keindahan bunga, kehalusan stocking sutra, dan polesan bibir merah darah di atas bedak seputih salju. Dia bernama Parinya Charoenphol, yang lebih dikenal dengan nama Nong Toom (Asanee Suwan), seorang petinju (kickboxer) terkemuka Thailand.

Diangkat dari kisah nyata, film ini menggunakan segala ramuan dan resep film biopic dan laga gaya Hollywood: artistik, penuh drama, penuh tantangan bagi tokoh utama, tapi akhirnya harus bahagia. Nong Toom sejak kecil memang merasa dirinya perempuan yang terperangkap dalam tubuh lelaki. Yang menarik, perempuan di sekeliling Nong sangat memahami dan sangat mendukung keinginannya untuk—suatu hari—menjadi perempuan. Ibunya dan istri pelatihnya adalah orang-orang yang sudah melihat kecenderungan Nong dan tak perlu terkejut melihat Nong akhirnya mengenakan rias wajah. Bahkan ayah Nong, dalam diamnya, tetap menginginkan putranya bahagia.

Keterlibatannya di panggung kickboxing—yang dikejarnya hanya untuk uang yang nantinya dipergunakan buat operasi kelamin—disajikan dengan tradisi film Raging Bull dan Rocky. Gerakan tinju yang dikoreografi: garang, sekaligus indah.

Asanee Suwan, petinju profesional, memerankan tokoh Nong Toom dengan baik. Jika skenario sedikit diperketat dan tak berpanjang-panjang pada bagian derita demi derita, film ini menjadi lebih kental. Tapi, di balik rangkaian derita dan upaya tokoh Nong Toom yang ingin sekali menjadi perempuan, film ini berhasil mengirim rasa optimisme.

Bagai Hidup di Dua Alam

TO EACH HER OWN
Sutradara: Heather Robin
Pemain: Hannah Hogan, Tracy Rae

JESSICA Sutterland adalah perempuan beruntung. Wanita dua puluhan tahun itu menikahi pria tampan, Trevor, yang sangat mengagumi dan mencintainya. Berdua mereka membangun keluarga baru. Mereka pun rajin-rajin bercinta demi mendapatkan bayi—hal yang sangat diidamkan sang suami.

Kebahagiaan itu rupanya hanya di permukaan. Jessica (Hannah Hogan) selalu merasa ada yang mengganjal di dalam hatinya. Entah apa.

Hingga suatu hari ia bertemu Casey (Tracy Rae), gadis sebayanya yang terang-terangan memproklamasikan diri sebagai lesbian. Jess tersentak. Ia bagai menemukan jawaban atas keresahannya selama ini. Pertemuan pertama dengan Casey mengubah seluruh hidupnya. Keduanya pun menjalin hubungan gelap.

Hari bergulir, kekasih lesbian itu kian terbentur masalah. Jess lelah setiap hari berpura-pura di depan suami dan keluarganya. Apalagi Trevor setiap malam selalu mengajak berseranjang agar sang istri cepat hamil. Sedangkan Casey kesal selalu dinomorduakan. Ia pun mengultimatum Jess untuk memilih salah satu: hidup bahagia demi orang lain atau demi dirinya sendiri.

Jess tahu persis apa yang diinginkan. Namun ia tak tega melukai hati suaminya yang begitu menyayangi dan menerima sang istri apa adanya. Jess pun bagai amfibi yang hidup di dua alam.

Ketika Jess tiba pada keputusan akhirnya, ia mendapati dirinya hamil. Semua senang. Kecuali dia. Film ini (produksi Kanada, 2009) mengisahkan pergulatan batin seorang lesbian. Jalan mana pun yang dipilih, ia akan melukai orang-orang yang dicintai dan mencintainya.

Cinta Menembus Batas Usia

DOSE
Sutradara: Senedy H. Que
Pemain: Fritz Chavez, Yul Servo

UMURNYA baru 12 tahun. Namun Edy (Fritz Chavez) tergila-gila pada dua film lama: Temptation Island dan Waikiki. Bocah ini tak hanya hafal dialog, tapi juga lenggak-lenggok para artis dalam kedua film itu. Diam-diam, ia sering ikut menari. Lengkap dengan kostum bra dari batok kelapa dan rok rumbai-rumbai.

Jika ketahuan ibunya, anak itu kerap diganjar bentakan atau pukulan. Teman-temannya pun sering menertawai perilaku kewanita-wanitaan Edy. Menjelang tahun ajaran baru, sang ibu—yang punya anak banyak—tak sanggup menyekolahkan Edy. Bocah itu pun dikirim ke rumah tantenya di kota.

Di rumah besar dengan halaman luas inilah Edy kelak mengenal dirinya sendiri. Sang tante—yang dua anaknya bersekolah di Amerika—hidup bertiga dengan pembantu dan tukang kebun, Danny (Yul Servo). Edy dan Danny cepat akrab. Kebetulan, keduanya sama-sama menggemari bunga. Lebih spesifik lagi, mereka menyukai jenis yang sama: ylang-ylang.

Ditolak oleh keluarganya dan dicemooh teman-temannya, Edy pun begitu memuja Danny. Baginya, tukang kebun itu adalah ayah, guru, sahabat, dan juga malaikat pelindung. Apa pun yang dikatakan Danny adalah kebenaran di mata Edy. Dari Dannylah anak lelaki itu menemukan jati dirinya sebagai gay.

Film Filipina ini berkisah tentang periode kanak-kanak dalam kehidupan seorang gay. Kisahnya sangat manusiawi. Sayangnya, meski dibungkus ”sehalus” mungkin, film ini tetap terasa vulgar dan mengandung sejumlah adegan yang ”mengganggu”. Terutama karena tokoh utamanya adalah kanak-kanak.

Suatu Hari di Tepian Sungai

DOWN THE RIVER (Taam Saai Nam)
Sutradara: Anucha Boonyawatana
Skenario: Anucha Boonyawatana

DUA remaja lelaki bersahabat: Krit dan Vin. Sebangku di kelas, ke mana-mana berdua, termasuk ke wihara, suatu hari mereka menjelajahi hutan. Bersama dua teman perempuan, mereka menuju Air Terjun Pachang untuk menyaksikan pemandangan indah di sana.

Tetapi Krit (Prakasit Horwannapakorn) punya tujuan lain. Dia berniat menjadikan perjalanan itu sebagai saat yang tepat untuk meningkatkan hubungannya dengan Vin lebih dari sekadar teman, atau setidaknya melewatkannya sebagai saat paling intim di antara mereka.

Mengikuti plot itu, film ini bergerak dengan ritme air sungai yang mereka telusuri. Kadang mengalir perlahan, kadang berkecipak, kadang bergulung-gulung. Hasrat Krit terombang-ambing di antara itu. Soalnya, Vin (Napong Viriyasomboon) ingin menepis kenyataan bahwa sebagian dari dirinya pun gay, tapi pada saat yang sama dia tak bisa menolak temannya.

Dialog-dialog di antara mereka memang terasa kaku di sana-sini. Tapi dengan komposisi secara keseluruhan yang bagai menghadirkan dunia entah-di-mana, terasa puitis, ditambah elemen ajaran Buddha yang pas dicangkokkan ke dalam cerita dengan dosis memadai, film ini sungguh tak mengesankan sebagai karya amatir. Padahal Anucha Boonyawatana, sang sutradara, menggarapnya untuk tugas akhir di Universitas Chulalongkorn.

Dengan karya awal seperti ini, tentulah bukan semata keberanian mengeksplorasi persahabatan dan keintiman antargay yang menjadi dasar bila ada harapan bahwa Anucha akan membuat film lagi yang lebih bagus.

Leila S. Chudori, Purwanto Setiadi, Andari Karina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus