Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULU, orang bilang ”lupakan judulnya, nikmati lukisannya”. Ini karena banyak judul karya seni rupa yang tak jelas kaitannya dengan karyanya. Judul, pada akhirnya, hanyalah tanda sebuah karya yang sering tak terkait dengan karya itu sendiri.
Kini, di zaman yang disebut kurator mutlak ada di setiap pameran, seruan itu tampaknya perlu diubah. ”Lupakan gemanya, nikmati saja pamerannya.” Tema, lazimnya dibikin oleh kurator, dijelaskan panjang-lebar di bagian awal katalogus, seolah itulah ”nyawa” pameran yang dikuratorinya itu. Ada penjelasan yang ”netral”—bisa dilupakan dan tak ada salahnya disimak. Ada yang justru menimbulkan tanda tanya karena sulit dikaitkan dengan pamerannya.
Menurut saya, pameran bertajuk Seni Rupa Rai Gedheg—harap maklum, ini bahasa Jawa, bukan kata-kata harfiah, melainkan sebuah ungkapan yang artinya ”Seni Rupa Tebal Muka” alias seni rupa tak tahu malu—termasuk yang ”netral”. Maksud saya, ada baiknya juga katalogus ini dibaca, terutama tulisan Sindhunata, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, majalah kebudayaan dan lain-lain. Sedangkan penjelasan kuratorial oleh Ong Hari Wahyu boleh dibaca boleh tidak, karena tak secara langsung ”menjelaskan” satu per satu karya. Ini merupakan ”konsep” tentang rai gedheg yang bisa dibaca tanpa perlu ada pamerannya. Mungkin ini jadi pegangan Ong memilih perupa, atau pegangan bagi perupa yang ikut serta.
Cobalah berkeliling di ruang pameran Bentara Budaya Jakarta (21-30 Juli), tempat Rai Gedheg untuk kedua kalinya dipamerkan (yang pertama di Bentara Budaya Yogya, sampai 3 Juli, dan ketiga di Malang, 8-15 Agustus). Terasa bahwasanya para perupa peserta Rai Gedheg mengalami kesulitan menerjemahkan makna ungkapan tersebut ke dalam bahasa rupa. Ada lukisan figur berlari dengan wajah raksasa Cakil (yang mulutnya menonjol ke depan bagaikan mulut babi) dan kedua kaki terjepit jebakan tikus. Judul karya ini Monumen Rai Gedheg. Ada pula gambar (mungkin) sebuah pernikahan: Petruk yang berjas-dasi berpegangan tangan dengan Limbuk yang mengenakan kerudung transparan, rok merah, dan kaus tangan panjang. Di antara keduanya, seekor anjing mempersembahkan bunga; di antara kepala Petruk dan Limbuk, dua burung putih terbang. Judulnya Limbuk-Petruk Koalisi.
Atau patung ”abstrak” Teguh Ostenrik. Bentuk kotak mirip pesawat televisi, di satu sisi ada lubang bundar, di tengah agak ke bawah ada celah karena ada irisan bidang yang ditekuk sedemikian rupa seperti jendela sedikit dibuka. Kesannya, seluruh bidang ini seolah wajah orang. Dan sejumlah karya lagi, termasuk Fatamorgana di Padang Pasir karya Djoko Pekik: wajah seorang bermahkota dengan lidah terjulur dan liur mengalir; di belakangnya wajah perempuan yang memandangi lelaki berliur ini.
Di mana rai gedheg-nya? Bisa saja dicari-cari bahwa makna rai gedheg itu bermacam-macam, tapi titik tolaknya satu: tak tahu malu. Dan ”tak tahu malu” ini bisa ditampilkan dari banyak sudut pandang. Misalnya tak tahu malu sebagai tokoh masyarakat yang ngiler perempuan tanpa mengingat waktu dan tempat (lukisan Djoko Pekik itu, umpamanya). Tak tahu malu bersinergi padahal sebelumnya luar-dalam, bawah-atas, bermusuhan total (misalnya Paduan Suara karya Dona Prawita Arissuta, atau patung binatang dua kepala, kepala anjing dan kucing, berjudul Koalisi, karya kelompok Hitam Manis). Tak tahu malu menawarkan diri sebagai kandidat dalam pemilihan umum, padahal sebagai manusia sudah rontok luar-dalam (God Save the Queen karya Sigit Santoso, wajah perempuan dengan gigi yang sudah rompal).
Juga, tak tahu malu bisa ditafsirkan sebagai nekad. Dan itulah judul lukisan Bayu Wardhana, menggambarkan wajah seorang lelaki mengurai rambut panjangnya dan di bibirnya sebuah cabai merah besar sekali terjepit antara barisan gigi atas dan bawah. Tapi di mana ”tak tahu malu” itu kalau hanya sekadar mengeremus cabai pedas? Jawaban tak ada di lukisan, melainkan di katalogus, di tulisan Sindhunata. Menurut Sindhu, itulah gambaran politikus yang nekat sehingga cabai yang sudah jelas pedas pun dikeremusnya mentah-mentah. Tapi lebih jelas lagi parikan bak dalam pertunjukan ludruk yang dibuat oleh Sindhu juga. Coba simak: Lombok abang adhuh pedhese/ Lah kok dikremus sakahyange/ Wakil rakyat cek nggragase/ DPR dileg sak kursine (Cabai merah sungguh pedasnya/ Kenapa dikeremus sekuat-kuatnya/ Wakil rakyat sungguh rakusnya/ DPR ditelan bersama kursi-kursinya).
Antara gagasan atau tema dan pemerupaannya ke dalam karya seni rupa adalah sebuah jarak, sebutlah itu ”jarak imajinasi”. Dalam kata-kata, sebuah konsep tentang budaya tak tahu malu bisa jadi jelas teruraikan. Sebab, dengan kata-kata itu antara nama, peristiwa, dan kesimpulan bisa disambungkan menjadi sebuah kesimpulan. Sedangkan dalam bahasa seni rupa, ”penyambungan” itu tidak mudah dilakukan. Antara pedasnya cabai dan rakusnya wakil rakyat tak secara langsung bisa digambarkan. Itulah kenapa parikan Sindhu lebih komunikatif daripada lukisan Nekad itu. Orang nekat karena ingin mencapai tujuan lalu menggunakan segala cara lebih mudah diuraikan dalam kalimat daripada dalam lukisan.
Diperlukan kepiawaian untuk menjembatani ”jarak imajinasi” itu. Tidakkah menerjemahkan sebuah konsep atau gagasan ke dalam bentuk seni rupa adalah menciptakan konsep atau gagasan ”baru”? Bahasa kata dan bahasa seni rupa sungguhlah berbeda. Penerjemahan ”lurus” berisiko hasil terjemahan tidak komunikatif atau, risiko paling ringan, tidak mencerminkan konsep yang diterjemahkan.
Adalah wafatnya Sultan Hamengku Buwono IX pada 1988 yang membuat seluruh Yogyakarta berduka. Syahdan, prosesi pemakaman pun diiringi berjuta orang. Dan seorang Djoko Pekik yang begitu terkesan oleh peristiwa ini memindahkan peristiwa itu ke kanvasnya. Ia tak menggambarkan secara frontal kereta jenazah dan berduyunnya warga Yogya. Ia membuat komposisi jalan bak ular melingkar-lingkar dan di sepanjang tubuh ”ular” itu ia gambarkan manusia-manusia berjejal. Bagi saya, lukisan ini termasuk yang sukses menerjemahkan konsep atau gagasan itu.
Dan sebenarnya setiap karya seni rupa adalah terjemahan dari ”konsep”—apa pun konsep ini—yang terlebih dulu muncul dalam kepala sang senimannya. Tapi, karena lazimnya ”konsep” itu tak disertakan pada karya, kita tak lalu pusing mencocok-cocokkan antara ”konsep” dan karya. Bisa jadi—dan ini sesuatu yang wajar—”konsep” awal berubah di tengah proses penciptaan.
Jadi, sebagaimana ditulis di awal ulasan ini, nikmati saja pamerannya, lupakan temanya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo