Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soenjono Dardjowidjojo*
*) Guru besar linguistik Unika Atma Jaya
LIRIK lagu-lagu Indonesia sejak kita merdeka sampai kini mengalami perubahan yang mencolok. Perubahan macam kosakata ini sangat dipengaruhi oleh bergesernya pandangan kita tentang dunia (Weltanschauung) tempat kita tinggal.
Jika kita kaji lagu-lagu 1940-an, akan kita dapati bahwa tema saat itu terpusat pada beberapa hal: alam, tempat/peristiwa bersejarah, flora, dan romantika keindahan alam. Liriknya menggambarkan betapa indahnya negeri, sungai, kota, dan tempat rekreasi kita. Perhatikan lirik lagu Tirtonadi berikut:
Tirtonadi yang permai, di tepi sungai
sungguh indah dan permai nyiur melambai
Atmosfer perjuangan memunculkan lagu tentang tempat/peristiwa bersejarah. Perhatikan lirik Halo-halo Bandung berikut:
… sekarang telah menjadi lautan api. Mari, bung, rebut kembali
Lirik lagu saat itu juga tecermin pada flora yang dianggap indah, misalnya Bunga Anggrek, yang mengandung pula sedikit romantisisme:
Bunga anggrek mulai timbul, aku ingat padamu
Waktu kita masih kumpul, kau duduk di sampingku
Pada Aryati kita temukan perasaan cinta dalam bentuk kata cium:
Dosakah hamba mimpi berkasih dengan tuan
Ujung jarimu kucium mesra tadi malam…
Lirik lagu ini sangat romantis dan disajikan secara halus: dikau mawar asuhan rembulan, dikau gemilang seni pujaan. Lirik ini merambat ke wujud fisik, tetapi ciuman itu terbatas pada ujung jari saja dan dalam mimpi.
Setelah belasan tahun merdeka, pada 1960-an, pandangan masyarakat lebih terfokus pada kehidupan sehari-hari, khususnya yang berkaitan dengan kasih sayang dan cinta. Tetapi, karena masih jauh dari pengaruh globalisasi dan masih kuatnya norma budaya lokal, cara pengungkapan kasih sayang dilakukan secara tidak langsung dan sangat halus. Perhatikan lirik lagu Di Wajahmu Kulihat Bulan:
Di wajahmu kulihat bulan… bersembunyi di sudut kerlingan
Sadarkah tuan kau ditatap insan… yang haus akan belaian
Di wajahmu kulihat bulan… menerangi hati gelap rawan
Biarkan daku mencari naungan… di wajah damai rupawan
Lirik lagu ini sangat romantis tetapi dikemas begitu halus sehingga tidak ada satu pun kata kasih, sayang, atau cinta. Kehalusan romantika terletak terutama pada kolokasi kata seperti wajahmu…bulan; haus akan belaian; daku mencari naungan.
Aspek lain adalah pendidikan. Hal ini dipicu oleh munculnya kebutuhan untuk mengisi kemerdekaan dengan manusia terdidik. Satu masalah muncul: institusi pendidikan terpusat di Jawa. Kebutuhan akan bekal hidup dan kasih sayang pada seseorang muncul dalam beberapa lagu, seperti Teluk Bayur:
Ku kan mencari ilmu di negeri orang/bekal hidup kelak di hari tua
Pendidikan menyebabkan perubahan sikap dan pandang tentang dunia, khususnya dalam hubungan pria dan wanita. Perubahan ini umumnya mengenai asmara dan cinta, seperti pada lagu Doa dan Restumu, Tanpamu, dan Hatiku Hatimu.
Sejak 1980-an hingga kini, persentuhan budaya Indonesia dengan budaya Barat telah memberikan pengaruh. Film dan lagu Barat dengan segala kelugasannya makin membanjir dan meresap ke aliran darah budaya Indonesia. Secara pelan tapi pasti, semua aspek budaya kita telah kemasukan unsur Barat yang lebih eksplisit.
Simaklah lagu Kugadaikan Cintaku dengan lirik eksplisit berikut:
Bercanda mesra dengan seorang pria, kau cubit, kau peluk, kau cium
Bahwa peluk-cium (yang lebih dari Aryati) mulai masuk ke lirik lagu saat itu tampak pula pada lagu seperti Sepanjang Jalan Kenangan:
Sepanjang jalan kenangan... kupeluk dirimu mesra
Pertambahan jumlah penduduk dan kehidupan ekonomi yang makin menekan memunculkan kelompok tenaga kerja para ibu. Pria yang dikenal sebagai pemicu kehidupan seleweng memiliki lebih banyak peluang untuk selingkuh. Kaum wanita yang kini memiliki kancah pergaulan yang lebih luas tidak mustahil pula melihat adanya ”rumput tetangga yang lebih hijau”.
Keadaan seperti ini tecermin dalam lirik lagu selingkuh Ketahuan:
… saatku melihatmu, kau sedang bermesraan dengan seorang yang kukenal
Wo, o,… kamu ketahuan pacaran lagi dengan dirinya, teman baikku
Sementara itu, budaya yang makin terbuka ini memunculkan lagu-lagu dengan lirik yang, menurut norma lama, tidak layak diungkapkan. Awal tahun 2000-an, ketika telepon seluler memberikan peluang untuk berkomunikasi dengan ”si dia”—bahkan sambil duduk di sisi suami atau istri, lahirlah lagu SMS dengan lirik:
Bang SMS siapa ini bang…bang pesannya pake sayang-sayang
Bang nampaknya dari pacar abang… bang hati ini mulai tak tenang
Dari lirik ini kita lihat bahwa masuknya teknologi ke masyarakat kita memicu komponis untuk menciptakan lagu yang sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu.
Kehidupan seksual masyarakat kita juga berubah signifikan. Meskipun tidak sejauh seperti lagunya Jo Stafford pada 1950-an, Make Love to Me, tampak ada lagu kita yang liriknya vulgar pada Cucak Rowo:
… Manuke-manuke cucak rowo… cucak rowo dowo buntute
Buntute sing akeh wulune… yen digoyang ser, ser, aduh enake
Lirik lagu-lagu kita telah mengalami pergeseran filosofis, yang semula tertutup dan berkiblat pada budaya lokal, menjadi lirik yang menyerap budaya global. Konsekuensi dari perubahan ini membuat lirik kita lebih eksplisit dan mencakup segala macam lorong kehidupan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo