Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Potret orang-orang kalah

Belasan suku asli di maluku harus berhadapan dengan 34 pemilik HPH dan investor lainnya. yang sudah dan sedang terjadi adalah ketercabutan akar budaya, penyempitan wilayah, dan proses pemiskinan yang mengenaskan.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hira i ni entub i ni, it did entub fo it did (Milik orang tetaplah milik orang, milik kita tetaplah milik kita) ITULAH sebagian kutipan dari hukum adat Kei yang diucapkan Raja Maur Ohoiwut, J.P. Rahail. Suaranya terdengar lirih. Raja rupanya sedang menghadapi persoalan yang amat pelik. Laut yang menjadi hak ulayat milik suku Evav, sebutan suku asli Pulau Kei di Maluku Tenggara, telah disewakan oleh pemerintah Republik Indonesia kepada perusahaan dari luar. Sejak itulah suku Evav, sebutan orang asli Kei, sulit memungut hasil lautnya. Perusahaan penangkap ikan modern telah menguras hasil laut di perairan itu, hingga ikan menjadi barang langka bagi pribumi Evav. Akibatnya, mereka harus mengarungi lautan sejauh 23 kilometer, hanya dengan perahu dan peralatan sederhana. Padahal, dahulu, ikan tuna seberat 15 kg dapat diperoleh hanya dalam jarak satu kilometer dari pantai. Dalam pada itu, kehadiran PT Mina Sinega, milik Pusat Koperasi Angkatan Darat, tidak pula membawa kebaikan bagi penduduk asli. Tak seorang pun dari pribumi Kei Besar yang bekerja di situ. Sebaliknya, hanya bau busuk dari timbunan bangkai ikanlah yang kini dijejalkan kepada mereka. Selain lautnya terkuras, rencana pemerintah menjadikan kawasan hutan lindung telah menghambat langkah orang Evav untuk memungut hasil hutan di sana. "Padahal, hutan itu warisan nenek moyang kami. Mengapa kami dilarang ke sana?" J.P. Rahail menggugat. Sejak dahulu kala, hutan merupakan sumber kehidupan suku Evav. Pohon sagu, yang merupakan sumber makanan pokok mereka, begitu melimpah, bahkan dapat diperoleh di belakang rumah. Tapi, kini mereka harus berjalan puluhan kilometer untuk mendapatkan sagu. Yang lebih memprihatinkan, bagi orang Evav, kehilangan hutan bukan saja kehilangan mata pencarian, melainkan juga unsur kebudayaan. Kesimpulan itu dirumuskan oleh Yayasan Sejati dan Baileo Maluku, yang sejak Mei -- Juli 1993 meneliti keadaan masyarakat tradisional Maluku. Hasil penelitian kedua lembaga itu akhir Januari silam diseminarkan di Jakarta oleh Yayasan Sejati. Menurut Roem Topatimasang dari Baileo Maluku (forum komunikasi orang-orang Maluku), kini hampir sebagian besar suku-suku di Maluku kian terdesak oleh industri yang masuk ke sana. Berbagai industri, mulai dari perkebunan pisang sampai industri kayu milik konglomerat Prajogo Pangestu, bercokol di Maluku. Tapi kehadiran industri itu secara ekonomis tak membawa efek menetes ke bawah (trickle down effect). Masyarakat tradisional tak terangkat tingkat hidupnya. Justru hutan mereka digunduli dan akar budaya mereka tercabut dari buminya sendiri. Di Maluku kini hidup sepuluh kelompok besar masyarakat tradisional, seperti orang Tobelo, Sahu, Modole, Sawai & Bacan, Buru, Huaulu, Waemale, Evav & Atnabar Evav, Jarjui, dan orang- orang Tenggara Jauh. Sedikit atau banyak ada perbedaan budaya dan bahasa di antara mereka, tapi semuanya kini sama-sama menderita. Orang-orang Tobelo Dalam, misalnya, yang penduduk asli Pulau Halmahera, Maluku Utara, tengah menjalani proses pemukiman kembali. "Mereka ini dicap sebagai orang Togutil, ...yah, semacam orang utan. Padahal, anggapan itu tidak betul sama sekali," kata Roem. Jumlah orang Tobelo Dalam yang dimukimkan kembali, menurut Departemen Sosial, mencapai 4.750 jiwa. Ironisnya, orang Tobelo harus keluar dari kawasan miliknya yakni wilayah Subaim, Kecamatan Wasilie. Mengapa? Karena tanahnya dijadikan permukiman bagi transmigran. Mereka sendiri, melalui Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT), dimukimkan jauh di pedalaman Halmahera Tengah. Padahal, prasarana seperti sekolah dan kesehatan justru dibangun di daerah transmigrasi. "Kami ini terisolasi di tanah leluhur sendiri," kata Raja Berti Ririmase, kepala adat Haru. Sudah tergusur, mereka semakin tak berdaya karena tak mendapat pendidikan formal. Pada saat yang sama, kehidupan ekonomi mereka semakin tergencet oleh industri yang bercokol di sana. Seperti diketahui, di Pulau Halmahera kini berdiri pabrik kayu terbesar dan termodern di Asia Tenggara milik PT Barito Pacific Timber (BPT). Perusahaan milik Prajogo Pangestu ini menguasai hampir seluruh konsesi di Halmahera. Tak heran bila eksploitasi hutan yang dilakukan BPT telah mempersempit lahan mereka. Sementara itu, kawasan hutan perawan yang membentang dari ujung ke ujung Halmahera kini tinggal beberapa bagian saja. Saat ini di Maluku tercatat 34 perusahaan HPH, namun tak jelas berapa hektare hutan Maluku yang diekploitasi. Yang pasti, hanya dalam lima tahun (1985 -- 1989), eksploitasi hutan telah menambah hutan kritis di Maluku sampai tiga kali lipat menjadi 1,2 juta hektare. Sementara itu, reboisasi baru meliputi areal 2.200 hektare. Kerusakan hutan yang paling parah terlihat jelas di sepanjang jalan lintas Halmahera. Bekas-bekas tebangan hutan terserak tak beraturan. Dan belum ada tanda-tanda dari BPT untuk penanaman kembali. Tampaknya, para pengusaha itu hanya sibuk menjarah sumber daya alam Halmahera. Tak seujung kuku pun mereka peduli akan dampaknya pada kehidupan penduduk asli. Orang Tobelo tergeser ke pinggiran, tanpa sempat terintegrasi ke sektor formal yang dikuasai kaum pendatang. Di daerah perkotaan dan pesisir, orang Tobelo Luar hanya menjadi buruh kasar berupah Rp 1.000 sehari, yang untuk membeli sagu pun tentu tak cukup. "Sekarang kami serba kekurangan. Dahulu, meskipun tak punya uang, kami tak pernah kekurangan makan," keluh Rahail. Ia benar. Dahulu, orang-orang Tobelo memenuhi kebutuhan sehari-hari dari alam sekitarnya. Di pedalaman, kesulitan yang lebih parah telah melanda mayoritas orang Tobelo Dalam. Di situ terjadi penyempitan hutan sebagai kawasan meramu, berburu, dan berladang. Yang juga menyedihkan adalah kehidupan suku Behuku di Kecamatan Buru Selatan. Lebih dari 300 ribu hektare hutan tradisional mereka dibabat para pemegang konsesi, sementara penduduk asli yang tertampung di PT Gema Sanubari -- pemegang konsesi di Buru Selatan -- hanya 20 orang. Padahal, penduduk asli Buru diperkirakan mencapai 35 ribu jiwa. Protes? Ya, pernah dicoba. Tapi ironisnya, ketika memperjuangkan hak ulayat tanah tradisional, mereka tak pernah berhadapan langsung dengan pengusaha. "Yang kami hadapi selalu oknum bersenjata," kata Raja Haruku, Eliza Kissya. Peraih penghargaan Kalpataru 1985 ini menambahkan, hampir semua perusahaan di Maluku dijaga oleh oknum tentara atau polisi. Kehadiran pengusaha selalu saja membuahkan konflik. Malah tak sedikit yang berakhir dengan bentrok fisik berdarah, seperti yang terjadi di Pulau Yamdena tahun 1991. Gara-gara memperjuangkan hak ulayatnya di wilayah konsesi PT Alam Nusa Segar, mereka harus berhadapan dengan oknum. Akibatnya, beberapa luka parah, sejumlah lainnya ditahan dan diinterograsi. Seperti orang Tobelo, suku Modole di Halmahera Tengah juga tergusur. Roem Topatimasang memperkirakan, populasi orang Modole sekarang tinggal 500 hingga 2.500 orang saja. Eksploitasi hutan secara besar-besaran telah mempersempit kawasan rimba yang menjadi habitat tradisional orang-orang Modole. Tak kurang menyedihkan adalah nasib suku Huaulu, penduduk asli Pulau Seram. Kendati tak jauh dari Pulau Ambon -- tempat ibu kota Provinsi Maluku -- kondisi mereka tak terperhatikan. Orang Huaulu, yang masih menganut agama asli mereka, jumlahnya kini tak lebih dari 197 orang. Padahal, mereka -- menurut Elliza Kissya -- merupakan cikal bakal penduduk Maluku. Lain lagi peruntungan orang Jarjui, pribumi Pulau Aru di tenggara Maluku. Mereka ikut menebangi hutan bakau untuk kepentingan pembudidayaan mutiara. Di Aru terdapat 28 perusahaan budi daya mutiara, hingga wilayah perairan Aru kini habis dikapling-kapling. Kendati terlibat dalam arus industrialisasi, orang Jarjui terdesak juga. Kini mereka dilarang mencari mutiara dan terpaksa menganggur. Mereka banyak berkeliaran di Dobo, ibu kota Kepulauan Aru. Yang masih bekerja harus bersedia menerima upah sebagai buruh kasar Rp 500 sehari. "Biasanya, mereka jadi preman di pelabuhan," Roem menambahkan. Sementara itu, Dobo berkembang sebagai kota dolar dan, maaf, pusat pelacuran. Maklum, di Aru tinggal ratusan pekerja dari Eropa, Amerika, Australia, Jepang, Korea, dan Taiwan. Para pendatang -- baik asing maupun Indonesia -- memetik manfaat dari pertumbuhan ekonomi di Maluku, tetapi semua suku asli di kepulauan itu justru dianaktirikan oleh pertumbuhan yang sama. Terlalu kasar kalau mereka dikatakan sebagai orang- orang yang dikorbankan untuk sebuah sukses pembangunan. Tapi harus diakui, itulah memang yang terjadi. Kini menurut J.P. Rahail, raja-raja dari Maluku sedang meperjuangkan haknya dengan upaya melegitimasi hutan dan perairan ulayat yang merupakan warisan dari leluhur mereka. "Biarlah kami sendiri yang mengelola hutan-hutan itu walaupun cuma konsesi," kata Rahail pula. Menurut Rahail, langkah pertama adalah membuat peta atas tanah dan perairan adat mereka. Hasil pemetaan itu, sebelum dibawa ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), akan dimusyawarahkan dahulu di antara mereka. Langkah berikutnya adalah mengajukan legitimasi. Suku Evav, misalnya, akan mengajukan konsesi atas hutan adat. Seperti disinggung di awal cerita, hutan adat milik suku Evav akan dijadikan hutan lindung. Upaya serupa juga sudah dilakukan oleh suku Haruku. Bahkan mereka sudah mendirikan sebuah yayasan -- namanya Yayasan Lea Rissa Kayeli -- yang akan mengajukan konsesi kawasan wisata di Pulau Haruku. "Jalan ini diharapkan bisa mengangkat kehidupan penduduk asli," kata Roem. Berhasil tidaknya upaya legitimasi itu memang belum bisa diperkirakan. Tapi jika berhasil, terbukalah jalan untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Bagaimana tidak? Selain kaya hasil hutan dan laut, Maluku juga kaya bahan tambang. Pulau Haruku, misalnya, diketahui mengandung tambang emas. Belum lagi pulau-pulau lainnya. Namun, akan tak terbayangkan bagaimana jadinya bila upaya legitimasi gagal di tengah jalan. Akankah saudara-saudara kita di Maluku itu mengalami nasib seperti orang Indian di Amerika Serikat -- yang karena pemukiman kembali -- tergusur dari sumber alamnya yang kaya, tercerabut dari akar budayanya, dan mengalami proses pemiskinan yang sedemikian rupa? Akankah mereka menjadi kaum miskin baru, di negeri yang bersiap-siap lepas landas menuju tahun 2000?Bambang Aji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum