SUTIRAH ngotot. Ujarnya dengan bersemangat, "Begitu Romo Mangun berpuasa, kami juga akan berpuasa." Ibu dua orang anak yang bersuamikan tukang becak, dan mengaku telah tinggal di tepi Kali Code selama 25 tahun, ini menyatakan tekadnya lagi, "Kalau perlu, sampai mati." Suara-suara keras seperti dari Sutirah itu muncul, setelah terjadi heboh tentang rencana penggusuran permukiman di sepanjang Kali Code di Yogyakarta. Awalnya terjadi Maret lalu ketika terbetik berita, pelaksanaan penggusuran untuk menormalisasikan Code segera akan dilakukan pihak PU (Pekerjaan Umum) Daerah Istimewa Yogyakarta. Akhir Maret lalu, muncul surat terbuka budayawan, arsitek, dan rohaniwan Y.B. Mangunwijaya - biasa disebut Romo Mangun - untuk para wakil rakyat di harian Kedaulatan Rakyat. Romo Mangun, yang telah beberapa tahun tinggal di pinggir Kali Code, menyatakan, menentang rencana ini dan akan melakukan mogok makan serta siap masuk penjara atau mati sekalipun. Untuk membela penghuni tepi Code yang tergusur, sang Romo tidak menyetujui pernyataan Kakanwil Departemen PU merangkap Kepala Dinas PU, Ir. Moerwanto Martodinomo: berdasarkan studi kelayakan Bappeda dan Fakultas Teknik UGM, telah ditetapkan untuk membebaskan segala macam bangunan dari batas banjir tertinggi Code, tinggi 10 meter. Kemudian, 10 meter berikutnya harus merupakan daerah penghijauan. Tujuan: agar Kota Yogya tak terlanda ladu, alias lahar dingin, muntahan G. Merapi. Kawasan tebing Code di Terban - tempat Romo Mangun tinggal - dulu terkenal sebagai daerah hitam. Pelacur, gelandangan, dan bahkan maling sering bersembunyi di situ. Itu dulu. Sekarang meski penghuninya masih tergolong kelas bawah, kini harkat hidup mereka sudah cukup lumayan. RT 15 Terban yang kini dihuni 35 kk (kepala keluarga) mempunyai koperasi dan perpustakaan. Setiap Senin dan Kamis sore ada kelas belajar membaca untuk orang dewasa. Jumat sore ada pelajaran musik kolintang untuk para ibu. Kampung yang jauh dari mewah tetapi nyaman ini dibangun sejak 1977. Bersama GKJG (Gereja Kristen Jawa Gondokusuman), Pastor Mangun menata tebing-tebing Code yang tadinya sering longsor. Bermula dari program Tribina. Pihak Kelurahan Terban yang melakukan bina lingkungan. Pihak GKJG melakukan bina mental dan Romo Mangun menjadi pembina fisik lingkungan. Tahun-tahun berikutnya kawasan itu dilengkapi dengan sumur pompa untuk air minum, tangga-tangga ke tebing kali mulai disemen dan sebuah masyarakat yang baru pun lahir. Haruskah semua itu tergusur? Rupanya: nanti dulu. "Masyarakat tidak perlu resah," ujar Moerwanto pekan silam. "Normalisasi tidak dilakukan secara gegabah." Nada ucapannya mengendur. Baik Moerwanto maupun Ir. Tri Martini, Kepala Bagian Cipta Karya Dinas PU Yogya, menyatakan sekarang ini studi kelayakan normalisasi Code belum rampung. "Padahal, untuk pelaksanaan," kata Tri Martini, "diperlukan proses panjang." Tapi ternyata, menurut Ketua RK Ledok Ratmakan, Karman Soekarno, dari 362 kk di kawasannya, yang harus menyingkir ada 72 kk. "Dalam jangka 2 tahun ini harus pindah 20 keluarga," kata Karman. Rupanya, meski peraturan belum ada, pemindahan lambat atau cepat akan terjadi. Padahal, seperti diakui Sugeng Martopo, Kepala Pusat Penelitian dan Studi Lingkungan Hidup UGM, tim Normalisasi Kali Code belum mengukur ROI (garis batas) untuk penataan kawasan Code. "Justru strategi studi ini yang harus didandani," tukas Romo Mangun. Dia berpendapat, menangani sungai di tengah kota harus lain dengan sungai di tengah sawah. "Tak bisa diseragamkan, sebab setiap lekukan sungai di kota mempunyai problemnya sendiri," kata Mangun. Setiap 50 m on the spot harus diteliti dan dianalisa. Kalau tidak, bila penertiban Kali Code harus seragam, beberapa bangunan penting di tepinya juga harus hengkang - termasuk masjid Syuhada dan gedung RRI. "Itu kalau mau dilakukan dengan konsekuen," ujarnya. Menurut Mangunwijaya, normalisasi Sungai Code tidak kena kalau dengan mengusir penduduk. Penduduk, sebaiknya, justru diajak menjaga dan mengawasi tepi sungai. Adalah mustahil untuk menghapuskan kawasan-kawasan kelas bawah masyarakat dalam menangani urbanisasi. Selama pemerintah belum mampu membuat perumahan untuk kelas masyarakat terendah, menurut dia, sebaiknya mereka diajak berpartisipasi untuk menanganinya. Dan apa yang dia lakukan di tepi kali itu adalah satu contoh, yang bahkan pernah dipuji Menteri Kependudukan & Lingkungan Hidup Emil Salim. Toeti Kakiailatu, Laporan Biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini