Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Konsensus apa lagi, opec

Opec bersidang lagi di jenewa untuk mencari konsensus baru (menstabilkan harga). diduga bakal seru, karena beberapa anggota tetap tak menurunkan kuota minyaknya. ekonomi as mulai terusik.(eb)

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA hari setelah melantik direksi Pertamina yang tetap dipimpin Dirut A.R. Ramly, Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Subroto terbang kembali ke Jenewa. Di sana ia akan melanjutkan sidang dengan para menteri perminyakan yang tergabung dalam OPEC. Sidang yang dimulai Selasa lalu diduga akan berlangsung seru, dan berakhir tanpa mencapai kesepakatan bersama yang berarti, untuk mengangkat harga minyak yang kini berantakan itu. Sidang sebelumnya, yang mencapai rekor sampai sembilan hari, juga mengalami jalan yang tak mulus: para anggota OPEC umumnya terbagi dua - yang setuju dan tak setuju dengan pengurangan jatah minyak. Bekas Ketua OPEC Subroto sendiri tadinya mengusulkan agar kuota OPEC yang 16 juta barel sehari diturunkan lagi barang 10 sampai 12,5 persen, menjadi sekitar 14 sampai 14,5 juta barel sehari. Tapi beberapa anggota OPEC menolaknya, termasuk Menteri Grisanti dari Venezuela yang kepada pers berkata, "Tak sebarel pun." Jatah resmi negeri itu seharusnya cuma 900.000 barel, tapi dalam praktek produksi mereka genjot hingga rata-rata 1,3 juta barel sehari. Sikap yang tak mematuhi konsensus OPEC sudah lama terjadi, antara lain di antara para anggota yang berhaluan keras seperti Iran, atau amat bergantung pada uang minyak untuk menolong ekonomi dalam negerinya yang babak belur seperti Nigeria. Indonesia, yang tadinya mendapat jatah resmi 1,3 juta barel, lalu diturunkan lagi menjadi 1,19 juta barel sehari, belakangan ini juga merasa sulit untuk mematuhi terus-terusan konsensus yang rapuh itu. Maka, produksi pun tetap dipertahankan pada tingkat 1,3 juta barel, termasuk jenis minyak konsendat yang tak masuk larangan OPEC. Bahkan beberapa sumber resmi bilang, produksi minyak kita sehari sudah di atas 1,5 juta barel, untuk mengimbangi harga minyak Indonesia yang jatuh di pasaran Jepang. Di Jepang minyak sejenis Minas seperti minyak ringan Arab Saudi (ALC), atau yang datang dari Cina, ditawarkan dengan harga US$ 12 per barel, sedang yang sejenis minyak berat Duri, yang sulit dijual, bisa diperoleh dengan harga US$ 9 per barel. Masuk akal kalau Menteri Subroto, dalam pidato pelantikan direksi Pertamina, mengajukan pertanyaan yang tak berjawab Sampai berapa rendah harga minyak ini akan jatuh? Menteri Perminyakan Uni Emirat Arab Al-Otaiba baru-baru ini mengingatkan harga bisa saja anjlok hingga 5 dolar sebarel, atau, seperti dikhawatirkan Subroto, akan sama dengan harga produksi sebarel, kalau semua produsen jor-joran menyedot minyak. Adalah alokasi dari kuota produksi yang menjadi soal bagi ke-13 anggota OPEC. Dan itu mungkin akan sedikit tertolong, bila Arab Saudi kembali bersedia tampil sebagai dewa penolong. Saudi, yang punya kemampuan memompa sekitar 11 juta barel minyak sehari, belakangan ini dikabarkan sudah mulai menekan produksinya, dari 4,3 juta barel menjadi sekitar 4 juta barel sehari. Jatah resmi mereka adalah 4,2 juta barel sehari. Subroto sendiri, ketika omong-omong dengan pers, selepas acara pelantikan, menyayangkan bahwa misi Wapres George Bush untuk menenteramkan produksi minyak di Arab Saudi dan negeri Teluk yang lain, tak banyak membawa hasil. Adalah Amerika Serikat yang akhirnya merasa gerah juga melihat harga minyak meluncur turun bagaikan eskalator. Beberapa senator dan para eksekutif minyak sudah menganjurkan agar pemerintah memasang pajak yang cukup tinggi untuk minyak impor, sekitar US$ 5 per barel, demi melindungi perusahaan-perusahaan minyak AS dari kemungkinan bangkrut. Melonjaknya harga minyak seperti dulu memang telah menyulut inflasi, tapi merosotnya harga bisa berakibat deflasi, yang, menurut ekonom senior Lester Thurow dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), akan berakibat jauh lebih buruk dari inflasi. "Dengan inflasi, pokok soalnya adalah siapa yang menjadi kaya lebih cepat," kata Thurow kepada Reuter. "Tapi kalau Anda menderita deflasi, ada yang jatuh bangkrut." Presiden Reagan, yang kabarnya lagi girang melihat angkatan udaranya mengebomi Libya, sampai awal pekan ini belum merasa perlu memproteksi minyaknya dengan jalan memajaki impor dari Laut Utara dan Afrika. Tapi kalau toh nantinya dia setuju untuk mengatrol sedikit harga minyak, ia masih perlu bicara panjang dengan rekannya di Inggris, Margaret Thatcher. Inggris, yang rupanya ingin mematuhi betul hukum permintaan dan penawaran, seperti dikatakan Menteri Keuangan Nigel Lawson pekan lalu, tak melihat manfaatnya melakukan pengaturan produksi minyaknya, "demi mempertahankan harga yang dibuat-buat," katanya. BAGAIMANA hasil sebenarnya dari sidang lanjutan OPEC di Jenewa baik kita tunggu. Tapi bagi Indonesia, soalnya sudah mulai jelas: Menggenjot produksi dengan menjual murah, rupanya, tak banyak menolong pundi-pundi negara. Itu sebabnya, Presiden Soeharto telah menginstruksikan kepada pembantu utamanya di bidang pertambangan dan energi, agar mengusahakan pengurangan kuota produksi untuk menolong harga minyak sekarang. Instruksi Presiden itu agaknya tak terlepas dari masa depan eksplorasi yang menurun di tahun 1985, dan masih akan surut selama masa banjir minyak belum mereda. Masih ada yang mengganjel. Dalam APBN 1986-1987, Pajak Penghasilan Minyak yang Rp 9,7 trilyun - sudah termasuk gas alam cair (LNG) - didasarkan pada harga patokan yang US$ 25 per barel, dengan produksi sehari 1,3 juta barel. Kalau jatah resmi Indonesia yang sekitar 1,2 juta barel harus turun lagi, menjadi misalnya 1 juta barel seharl, apakah harga minyak bisa kembali menanjak hingga US$ 20 per barel? Presiden Reagan sendiri melihat kemungkinan perlu dipasangnya apa yang ia sebut "harga politik" yang berkisar antara US$ 18-20 per barel untuk menolong jatuhnya harga minyak. Fikri Jufri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus