JANGAN sangka, urusan kelas desa sama dengan urusan kelas teri. Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud), sekarang, bukan hanya menangani distribusi pupuk, gula pestisida, kedelai, dan membeli gabah petani. Tapi juga mengurus kredit pengadaan mobil angkutan umum, mengelola supermarket, menyediakan jasa penggilingan beras, sampai gudang pengering. Perputaran uang dari aneka kegiatan dengan volume usaha sebesar Puskud itu, hitungannya bukan jutaan lagi, melainkan sudah puluhan milyar. Cuma, jangan kaget pula kalau pekan ini terdengar Puskud Jawa Timur "teler" melunasi pinjaman Rp 5,2 milyar ke Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kredit dengan bunga murah itu, tentu, tak akan memojokkan bila uang di laci cukup tersedia dan piutang di tempat lain gampang ditarik. Tapi, rupanya, dua sumber utama itu tersumbat. Pilihan terbaik yang dilihat tinggal: menjual sebagian kekayaannya, karena kemungkinan usaha memperpanjang kredit sudah tertutup. Kalau saja Puskud itu merupakan usaha komersial biasa, mungkin, sudah harus tutup buku. Tapi Menteri Koperasi Bustanil Arifin, yang sering menjenguk Puskud teladan ini, tak menghendaki langkah itu dilakukan. Menteri lebih suka membeli sebagian kekayaan dari Puskud, berupa penggilingan gabah, yang harganya akan ditentukan perusahaan penilai (appraisal). Dengan itu, koperasi diharapkan bisa melunasi kreditnya. "Saya tidak rela kalau ada tentara, polisi, kejaksaan ikut menangani Puskud," katanya. Campur tangan merepotkan itu tentu tak perlu terjadi kalau manajemen mengawasi dan mengelola dengan benar segala unit usahanya. Usaha menyalurkan gula pasir dengan CV Ibnu, misalnya, ternyata tidak mulus berjalan karena belakangan rekan swasta itu - jangan kaget - bisa menyatakan tidak bisa mengembalikan kredit hampir Rp 500 juta kepada Puskud. Sebagai barang agunan, pabrik beras milik swasta di Rambipuji, Jember, diambil alih koperasi. Pabrik tua itu dinilai Rp 725 juta - meskipun, menurut taksiran pasar, harganya cuma Rp 400 juta. Lucu? Mungkin. Sebab, seharusnya, dengan hanya mendistribusikan gula kepada 64 KUD - anggota yang dibinanya - Puskud sudah bisa mengantungi semacam uang jasa Rp 0,50 (dari Tebu Rakyat Intensifikasi) dan Rp 4,50 per kg (dari Tebu Rakyat Bebas). Hingga, menurut taksiran kasar, dari sana setiap tahun bisa diperoleh Rp 500 juta. Selain dari situ, koperasi juga memperoleh hasil pasti, dari mendistribusikan pupuk dan membeli gabah. Pendeknya, menurut Dirjen Bina Usaha Departemen Koperasi, Soelarso, beban koperasi selalu dinilai secara ekonomis. Sehingga, "Tidak mungkin pemerintah akan memberi beban yang tidak menguntungkan," katanya. Masalahnya, selain berhubungan dengan KUD, Puskud juga berhubungan dengan pihak swasta - umpamanya bekerja sama dalam memproses gabah dan menyalurkan gula. Sering terjadi, rekan usahanya itu tidak bisa memenuhi kewajibannya, hingga mengundang Puskud untuk mengambil alih sebagian kekayaannya. Tapi, tidak jelas di situ apakah usaha dengan swasta itu dilakukan berdasar patungan, rekanan, atau kontrak. Yang sudah pasti, "Modal Puskud yang seharusnya cair jadi mati pada barang-barang," tambah Dirjen Soelarso. Selain jadi uang mati, perputaran dana Puskud juga terganggu karena, antara lain, investasi hampir Rp 1 milyar di perkebunan hampir 600 ha di Kalitengah, Jember, yang berisi kopi, karet, dan cengkih, tidak menghasilkan uang cepat. Ekspor makanan ternak dan pabrik penggilingan berasnya juga rugi. Pukulan-pukulan itu membuat Puskud sulit memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Padahal, soal ini pernah diingatkan Kanwil Koperasi Jawa Timur. Pengawasan dan bimbingan mungkin kurang diberikan pada koperasi, yang seharusnya memusatkan perhatian pada usaha "perdagangan", yang memerlukan keterampilan dalam pengelolaan kecepatan perputaran uangnya. Bidang usaha Puskud juga telah melebar ke mana-mana, yang jauh dari usaha pokok semula, dari hanya menyalurkan sarana pertanian dan mengelola gabah. Kegiatan yang melampaui bisnis pokok koperasi itu, ternyata, juga dilakukan Puskud di daerah lain. Siapa sangka Puskud Jawa Tengah, yang beranggotakan 562 KUD itu, punya sebuah pabrik tapioka raksasa berharga Rp 2,2 milyar di Temanggung? Cuma, sial, tujuan pabrik untuk menyelamatkan petani dan harga singkong setempat malah jadi beban: suplai singkong ke pabrik, yang berkapasitas 30 ton - 50 ton itu, tidak cukup. Tidak jelas juntrungannya hingga Puskud itu berani-beraninya menanamkan uang sebesar itu tanpa, misalnya, didukung perkebunan sendiri. Lupa, agaknya, bahwa tidak semua urusan bisa dicampuri pemerintah, seperti urusan gabah dan pupuk. Karena itu, tidak heran, usahanya membiayai pengadaan 163 bemo di Semarang, sejak 1983, juga kurang lancar karena baru 19 mobil yang diangsur utangnya. Untung, pihak BRI mau memperpanjang waktu pembayaran pinjaman Rp 4 milyar. Kalau tidak, Puskud pasti akan tercekik oleh perputaran dana sendiri. "Uangnya masih kami pakai untuk dagang pupuk," ujar H. Gijono, Ketua Puskud Ja-Teng, menjelaskan pemakaian pinjamannya. Dalam situasi seperti itu, koperasi ini masih juga berani membangun kantor mentereng dua lantai seharga Rp 250 juta, bahkan mempersiapkan mendirikan pula stasiun pompa bensin dengan biaya Rp 150 juta dan pabrik pupuk alam di Kebumen Rp 300 juta. Peranan bank menilai kelayakan usaha dan kemampuan manajerial Puskud jadi boleh dipertanyakan. Sebab, dari contoh yang lain, terbukti utang Puskud Jawa Barat, sebesar Rp 8,1 milyar di tahun 1984, sempat tak bisa diangsur. Untung, Perum Pengembangan Keuangan Koperasi (PKK) bersedia memberikan "pinjaman penyangga" tanpa bunga. Sisanya utang pengurus lama, yang kemudian diwariskan kepada ketua umum baru, R.H. Lily Sumantri, ditaksir masih Rp 3 milyar lagi. Cicilan ke Bank Duta, sementara itu, masih Rp 9 juta setiap bulan. Beban makin terasa berat karena Puskud harus mengeluarkan uang Rp 120 juta untuk menggaji 600 karyawannya. PHK akhirnya tak bisa dihindarkan, hingga jumlah pegawainya kini tinggal 40%. "Dengan karyawan lebih kecil, kami sekarang hanya mengeluarkan Rp 11 juta per bulan," kata Lily, bekas bupati Bandung itu. Usaha untuk bangkit kembali ternyata tidak mudah karena sebagian besar piutang banyak yang macet di KUD, koperasi pasar, dan koperasi tahu tempe. Barang agunannya, termasuk berpuluh-puluh petak tanah, tersebar di pelosok-pelosok. Sesudah dibenahi, syukur, enam pabrik berasnya di Karawang, yang semula rugi terus, bisa menyetor laba Rp 30 juta tahun lalu. Juga usaha supermarket Pelangi. Toh, mulai berencana lagi mendirikan pengolah serat haramay, nilainya Rp 400 juta, untuk bahan baku pabrik tekstil. Hanya Puskud Sumatera Utara, agaknya, yang lolos dari cerita buruk - kendati piutangnya di pelbagai KUD masih Rp 1 milyar. DARI serangkaian kesulitan yang dihadapi pelbagai Puskud itu, kelihatan jelas, mekanisme pengawasan terhadap kelayakan pemberian kredit di KUD dan kerja sama dengan pihak swasta belum diperhatikan benar. Bidang usahanya juga terlalu banyak hingga sulit mengetahui tujuan usaha pokok jangka panjangnya. Sayangnya, "Kecepatan pertumbuhan bisnisnya itu tidak seimbang dengan perkembangan manajemennya," komentar Dirjen Soelarso. Belakangan, seperti baru disadari, usaha pemerintah memperlakukan Puskud sebagai distributor utama nyatanya malah menambah biaya dan keruwetan. Karena itu, dalam upaya memperpendek rantai distribusi, sejumlah KUD yang dianggap mampu boleh menerima pupuk langsung dari pemerintah, mulai Oktober lalu. "Unsur-unsur yang sifatnya birokratis kami hapuskan," ujar Dirjen Soelarso, "agar mereka bisa melayani petani secara lebih baik." Kalau sejak dulu terpikir bahwa usaha menyalurkan pupuk dan gula itu bukan soal sekadar bagi-bagi rezeki, niscaya tidak banyak uang dari pajak akan 'nyangkut, hingga Menteri Bustanil tak perlu repot melakukan berbagai operasi penyelamatan. Eddy Herwanto, Laporan semua Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini