Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa pekan yang lalu, puluhan paus pemandu sirip pendek (short-finned pilot whale) terdampar di pesisir Kecamatan Pureman, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Fenomena ini bukan yang pertama kali terjadi di Indonesia, namun ini dapat menjadi pertanda terjadinya gangguan terhadap ekosistem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari College of Science and Engineering, James Cook University, Australia, Putu Liza Kusuma Mustika menjelaskan, terdamparnya puluhan paus itu kemungkinan disebabkan oleh faktor alamiah maupun faktor antropogenik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Icha, sapaan akrab Putu Liza Kusuma Mustika, menyatakan, paus merupakan mamalia laut yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, seperti penggunaan sonar di bawah laut, pencemaran air, kontaminasi sampah laut, hingga badai matahari. Itu yang menyebabkan gangguan elektromagnetik pada kutub-kutub bumi.
Paus, kata Icha, menggunakan sonar untuk sistem navigasinya sehingga bisa terganggu oleh penggunaan perangkat yang memancarkan gelombang elektromagnetik atau sonar di dalam laut seperti pada kegiatan eksplorasi migas.
"Menurunnya kualitas air juga dapat menurunkan imunitas paus. Semakin banyaknya sampah laut -terutama plastik- menyebabkan lebih banyak paus yang mati karena menelan sampah-sampah tersebut," kata Icha.
"Fenomena terdamparnya paus, seperti pada paus sperma, dapat juga berkaitan dengan terjadinya badai matahari," kata Icha dalam Media Lounge Discussion (MELODI) secara online pada Rabu, 25 September 2024.
Icha menyataan, ada juga faktor alami lain seperti penyakit atau usia tua yang dapat membuat paus lebih rentan terdampar. "Paus yang sakit atau tua sering kali kehilangan kemampuan navigasinya, atau terpisah dari kawanan, yang menyebabkan mereka lebih rentan terdampar di pantai," ucap Icha.
Terdamparnya paus ini, kata Icha, perlu mendapatkan perhatian serius karena paus merupakan spesies yang dilindungi. Upaya penyelidikan lebih lanjut mengenai penyebab spesifik terdamparnya paus juga perlu dilakukan melalui nekropsi atau bedah bangkai hewan.
Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Achmad Sahri mengatakan, BRIN juga bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan peneliti dari College of Science and Engineering, James Cook University, Australia, untuk melakukan riset terkait ekologi paus dan kejadian terdampar guna memahami tingkah laku biota ini dan mencegah terulangnya kejadian serupa.
Riset yang dikerjakannya bersama Icha menelaah data kejadian terdampar selama 26 tahun dari tahun 1995-2021. "Selama periode 1995-2021, setidaknya ada 26 spesies paus dan lumba-lumba yang terdampar di perairan Indonesia. Satu dari enam spesies yang paling sering terdampar adalah paus pemandu sirip pendek yang juga terdampar di perairan Alor NTT beberapa minggu lalu," kata Sahri.
Sahri menambahkan, dengan memahami pola sebaran spasial dan temporal dari kejadian mamalia laut terdampar di Indonesia, dapat mendukung upaya penyelamatan biota tersebut. "Informasi ini sangat penting bagi penanganan kejadian terdampar, terutama berguna untuk pengalokasian personil atau kemungkinan mendatangkan alat berat," katanya. "Identifikasi area rawan tersebut juga dapat meningkatkan kesempatan bagi keberlangsungan hidup biota yang terdampar."