Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan itu menjadi bagian dari putusan sela yang dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, atas perkara nomor 132/PUU-XXII/2024, yakni uji formil atas UU itu yang diajukan oleh Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan. MK sebelumnya menyatakan menunda pemeriksaan persidangan sampai dengan selesainya persidangan penyelesaian perkara perselisihan hasil pilkada 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karenanya, MK memerintahkan pemerintah atau pihak lain untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU KSDAHE sampai dengan adanya putusan akhir Mahkamah Konstitusi. "Guna menghindari dampak yang lebih luas sebelum Mahkamah menilai konstitusionalitas pengujian formil atas proses pembentukan UU KSDAHE," bunyi pertimbangan hukum atas putusan sela itu seperti dituturkan kembali Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan, Jumat 15 November 2024.
Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Constitutional Lawyer Viktor Santoso Tandiasa, Greenpeace Indonesia, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menyerukan agar pemerintah mematuhi putusan sela ini. Kepatuhan itu ditekankan pula oleh Sekjen KIARA, Susan Herawati, karena ada setidaknya 10 ketentuan norma yang mendelegasikan
pengaturan dalam UU 32/2024 untuk diatur lebih lanjut di dalam peraturan
pemerintah.
Adapun Manajer Hukum dan Pembelaan Walhi, Teo Reffelsen, mengatakan putusan sela tersebut sesuai dengan permohonan provisi yang diajukan koalisi. Menurutnya, apabila aturan pelaksana UU KSDAHE dibentuk pemerintah selama proses pengujian formil berlangsung, maka tidak menutup kemungkinan aturan itu berdampak buruk pada masyarakat adat dan komunitas lokal serta lingkungan hidup.
“Oleh karenanya pemerintah dan pihak lainnya yang berhubungan dengan undang-undang ini tidak boleh mengambil tindakan apapun yang membangkang pada putusan sela ini sebelum adanya putusan akhir,” ucap Teo.
Koalisi melakukan judicial review karena menilai pembentukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tidak memenuhi asas kejelasan tujuan karena tidak mempertimbangkan subjek hukum, khususnya masyarakat adat yang ada dan hidup di wilayah konservasi. Selain itu, menilai tidak mengutamakan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan yang menggunakan pendekatan sentralistis dan conservationist-developmentalist.
Sehingga koalisi menilai aturan hanya berorientasi pada penguatan aspek pengawetan keanekaragaman hayati, tanpa melihat variabel-variabel lain yang dapat memperbaiki tata kelola kawasan konservasi dan pengelolaan keanekaragaman hayati, seperti partisipasi masyarakat dan pengetahuan tradisional.