Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memulai sidang pemeriksaan pendahuluan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang perkara nomor 132/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), serta perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum koalisi, Syamsul Alam Agus, mengatakan pengujian formil ini diajukan karena proses pembentukan UU KSDAHE dianggap tidak memenuhi sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
“UU 32/2024 tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, karena tidak memberikan kejelasan arah kebijakan dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,” kata Syamsul dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 8 Oktobe 2024.
Selain itu, Syamsul mengatakan UU ini juga tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan karena proses penyusunannya tidak melibatkan pemangku kepentingan terkait secara menyeluruh, terutama masyarakat adat yang paling terdampak.
“Asas keterbukaan juga diabaikan karena kurangnya transparansi dalam proses pembentukannya,” ujar Syamsul.
Judianto Simanjuntak, kuasa hukum lainnya, mengatakan koalisi meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan putusan sela kepada Presiden agar tidak menerbitkan peraturan pelaksana, seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden hingga Mahkamah memutuskan perkara tersebut.
Permintaan ini didasari oleh temuan tim advokasi yang menunjukkan adanya sepuluh ketentuan dalam UU KSDAHE yang perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. “Dengan adanya putusan sela, akan ada jaminan kepastian hukum bagi para pemohon yang sedang memperjuangkan hak-haknya,” kata Judianto.
Muhammad Arman, salah satu anggota tim kuasa hukum, menyatakan pengujian formil ini dilakukan karena adanya ketidakpatuhan terhadap UUD 1945, UU 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Oleh karena itu, koalisi menilai pembentukan UU KSDAHE harus dinyatakan tidak sah secara formil.
Fikerman L. Saragih, salah satu tim kuasa hukum juga meminta kepada MK agar permohonan ini dapat dikabulkan. Permintaan ini sesuai petitum pemohon, yakni agar majelis MK menyatakan UU KSDAHE ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan Akhir.
“Sehingga UU KSDAHE sebelumnya, tetap berlaku sampai Mahkamah Konstitusi Memberikan Putusan Akhir dan Mahkamah membatalkan UU KSDAHE yang ada serta mengembalikan pengaturannya kepada UU yang lama,” kata Fikerman L. Saragih.
Jika permohonan ini dikabulkan, UU KSDAHE yang lama akan diberlakukan kembali hingga dilakukan perbaikan terhadap UU yang baru. Fikerman mengatakan sidang pemeriksaan ini merupakan langkah awal perjuangan masyarakat adat dan organisasi lingkungan untuk mempertahankan hak-hak konstitusional mereka yang dirasa tercederai oleh proses pembentukan UU KSDAHE.