Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus I Nyoman Sukena cukup banyak mendapat atensi masyarakat. Pada bulan Maret 2024 lalu, I Nyoman Sukena ditangkap oleh jajaran Ditreskrimsus Polda Bali karena memelihara empat ekor landak jawa yang merupakan satwa yang dilindungi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas perbuatan tersebut, I Nyoman Sukena didakwa dengan Pasal 21 ayat (2) huruf a jo. Pasal 40 ayat (2) UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Denpasar pada 13 September 2024 lalu telah sampai pada sidang pembacaan tuntutan. Penuntut Umum menuntut I Nyoman Sukena dengan tuntutan bebas sebab tidak ditemukan adanya mens rea atau sikap batin yang jahat dalam diri terdakwa.
Institute for Criminal Justice Reform (IJCR) mengapresiasi tuntutan bebas jaksa tersebut. Namun terlepas dari tuntutan Jaksa di atas, sesungguhnya berdasarkan asas oportunitas, jaksa berwenang untuk menuntut dan tidak menuntut sebuah perkara pidana.
"Menilik kembali kasus I Nyoman Sukena, ICJR menilai seharusnya kasus ini sedari awal tidak perlu diajukan ke persidangan, adanya perubahan sikap Jaksa di persidangan juga jangan sampai dimaknai bahwa kasus ini dituntut bebas hanya karena telah viral di tengah masyarakat," ujar Direktur ICJR Erasmus Napitupulu, Selasa, 17 September 2024.
Alasan tuntutan bebas ini, kata Erasmus masih dapat diperdebatkan. Ia juga menilai sikap jaksa yang menyebut tidak adanya mens rea atau sikap batin yang jahat perlu menjadi catatan penting dalam cara Jaksa melakukan penuntutan di kasus-kasus lainnya.
"Jaksa harus konsisten mengimplementasikan contoh baik ini, khususnya di kasus-kasus serupa yang tersangka atau terdakwa menunjukkan tidak adanya niat atau sikap batin jahat," ucap dia.
Salah satu kasus yang sedang viral terjadi di kasus Septia yang dilaporkan pidana oleh Jhon LBF, seorang pengusaha yang dikritik oleh Septia di akun medsos miliknya.
Dalam kasus tersebut diduga terdapat pertentangan antara kepentingan hukum yang satu (hak untuk berpendapat dalam hal memperjuangkan hak-hak ketenagakerjaan) serta kepentingan hukum yang lain (UU ITE) sehingga sudah seharusnya catatan ini turut dipertimbangkan.
"Septia juga tidak memiliki sikap batin jahat karena apa yang disampaikannya adalah fakta dan jelas bagian usaha untuk menuntut hak ketenagakerjaan, kata Erasmus.