Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Raksasa Sawit Penikmat Subsidi Biodiesel

Segelintir perusahaan sawit raksasa menikmati Rp 179 triliun subsidi biodiesel. Dana peremajaan sawit rakyat sangat kecil.

4 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas mengisi bahan bakar B30 pada kendaraan saat peluncuran B30 di kementerian ESDM, Jakarta, Juni 2019. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANSUETUS Darto sudah kenyang dengan janji muluk pemerintah yang akan meningkatkan produktivitas perkebunan sawit nasional. Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) itu bahkan hakulyakin bahwa niat tersebut ujung-ujungnya hanya menjadi angan-angan. “Kami tidak melihat ada keseriusan dari pemerintah dalam peremajaan sawit rakyat,” kata Darto kepada Tempo, Jumat, 3 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peremajaan sawit yang dimaksudkan Darto merupakan kebijakan penggantian sawit tua menjadi tanaman muda. Tujuannya untuk meningkatkan volume produksi secara nasional. Pemerintah menargetkan peningkatan produksi sawit rakyat setara dengan 5-6 ton minyak sawit mentah (CPO) per hektare dari realisasi yang hanya menyentuh 2-3 ton CPO per hektare.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Produksi terus digenjot lantaran pemerintah berupaya mengandalkan CPO—bahan baku asam lemak nabati alias fatty acid methyl ester (FAME)—sebagai bahan bakar nabati biodiesel. Hal ini dilakukan terutama ketika mengejar target transformasi dari biodiesel 35 (B35) menjadi B40, yakni campuran 40 persen kandungan CPO dalam solar. Tujuan besarnya adalah menurunkan emisi karbon untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC).

Butuh puluhan juta ton CPO per tahun untuk mengejar target program biodiesel dari B35 menjadi B40. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) atau Badan Sawit saban tahun menggelontorkan belasan hingga puluhan triliun rupiah untuk perusahaan pemasok FAME. Contohnya pada tahun ini, Badan Sawit menggelontorkan Rp 28 triliun untuk menyalurkan biodiesel sebanyak 13,4 juta kiloliter.

Pegawai menunjukkan bahan bakar biodiesel B40 usai uji jalan kendaraan B40 di Jakarta, 27 Juli 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Dana yang dikelola oleh BPDPKS tersebut berasal dari pungutan ekspor sawit sebesar US$ 75 per ton. Nilainya mencapai Rp 51 triliun dalam kurun waktu 2015-2019.

Darto menyesalkan sikap pemerintah yang tidak memperhatikan petani sawit sebagai penghasil CPO. Dia mengatakan seluruh subsidi dana sawit diberikan kepada produsen biodiesel yang memproduksi FAME. Mereka adalah perusahaan-perusahaan yang menguasai bisnis sawit dari hulu hingga hilir. “Semua penerima subsidi itu adalah perusahaan besar yang rantai pasoknya sama sekali tidak terhubung dengan petani sawit.”

Padahal 6,7 juta hektare perkebunan sawit yang dikelola petani memiliki sumbangsih untuk dikonversi menjadi biodiesel. Semestinya petani mendapatkan manfaat melalui subsidi dana sawit dari BPDPKS. Realitasnya, petani menjual sawit mentah berupa tandan buah segar (TBS) ke pabrik CPO. Penjualan mengikuti mekanisme pasar tanpa adanya intervensi pemerintah karena subsidi hanya diberikan setelah CPO menjadi FAME.

Keluhan Darto tersebut juga dipotret oleh peneliti dari Direktorat Kebun Yayasan Auriga Nusantara, Sesilia Maharani Putri. Analisis yang dilakukan Sesilia dan timnya mendapati Rp 179 triliun subsidi dikucurkan oleh Badan Sawit untuk 29 korporasi raksasa. “Nilai tersebut muncul dari akumulasi subsidi sejak 2015 hingga 2022 dengan nilai Rp 144,59 triliun dan ditambah subsidi biodiesel pada 2023 dengan nilai Rp 35 triliun,” ucapnya.

Sesilia kemudian mengelompokkan 29 korporasi itu berdasarkan masing-masing induk bisnis. Ditemukan 16 grup bisnis, tiga di antaranya adalah Wilmar, Royal Golden Eagle, dan Sinar Mas. Sesilia menyebutkan Wilmar tercatat menikmati subsidi yang mencapai Rp 56,6 triliun, Royal Golden Eagle senilai Rp 21,3 triliun, dan Sinar Mas senilai Rp 14 triliun.

“Akibatnya, insentif biodiesel ini hanya berputar di tingkat produsen atau refinery,” kata Sesilia. Padahal sumber dari insentif yang digunakan oleh biodiesel berasal dari penarikan pajak ekspor CPO yang dihasilkan oleh kebun sawit Indonesia. “Sudah selayaknya insentif tersebut kembali ke pemilik CPO, bukan hanya dinikmati oleh produsen biodiesel.”

Yayasan Auriga juga menelusuri rantai pasok perusahaan biodiesel. Didapati bahwa produsen biodiesel yang dimiliki korporasi-korporasi raksasa memonopoli bisnis sawit. Hal ini terjadi karena rantai pasok biodiesel berkaitan erat dengan rantai pasok bisnis sawit. Bahkan didapati jejak nama-nama pejabat pada perusahaan-perusahaan besar penerima subsidi biodiesel.

Pekerja menata Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit saat panen di Aceh Barat, Aceh, 30 April 2024. ANTARA/Syifa Yulinnas

Sesilia menggambarkan sumber biodiesel yang disuplai dari TBS sawit yang dikirim ke penggilingan. TBS umumnya berasal dari anak usaha korporasi besar yang kemudian mengolahnya menjadi CPO dan palm kernel oil (PKO). CPO dihasilkan dari daging buah sawit, sedangkan PKO dihasilkan dari inti biji sawit. Keduanya merupakan minyak yang kemudian diproses menjadi berbagai produk, tapi hanya CPO yang digunakan untuk biodiesel.

CPO lantas dikirim ke refinery untuk diproses menjadi FAME. Yayasan Auriga menemukan 902 penggilingan dari 25 provinsi menjadi pemasok FAME untuk bahan baku biodiesel. Sesilia mencontohkan bahwa Royal Golden Eagle memiliki refinery yang dipasok dari tiga anak usaha dengan alokasi 15,4 persen atau 2 juta kiloliter. Pabrik-pabriknya mayoritas berada di Sumatera dan Jawa.

Menurut dia, Badan Sawit semestinya berfokus meningkatkan produksi melalui program peremajaan. Selama ini pemerintah hanya mengalokasikan Rp 30 juta per hektare bagi petani sawit dengan nilai Rp 9,1 triliun dalam kurun waktu 2017-2013. Anggaran tersebut terbilang kecil dibanding alokasi subsidi biodiesel untuk korporasi. “Tak mengherankan program peningkatan produktivitas sawit selalu gagal dan solusinya justru memperluas lahan,” ucap Sesilia.

Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman belum merespons permintaan konfirmasi Tempo ihwal besaran alokasi subsidi biodiesel yang justru dinikmati korporasi raksasa. Sebelumnya, dia menyebutkan penyaluran subsidi diperkirakan lebih besar. “Berdasarkan perkiraan kami, insentifnya sekitar Rp 28 triliun,” katanya.

Nilai Rp 28 triliun tersebut untuk membiayai 13,4 juta kiloliter CPO pada 2024. Jumlah ini meningkat dibanding pada tahun sebelumnya yang hanya Rp 18,32 triliun atau 12,2 juta kiloliter CPO. Kenaikan ini akibat kebutuhan yang melonjak ditambah disparitas harga biodiesel dan solar. Sebagai gambaran, selisih harga subsidi biosolar pada Januari 2023, yakni Rp 715 per liter, dan berubah menjadi Rp 1.382 per liter pada Januari 2024.

Eddy menyebutkan pemerintah memang terus menggenjot penggunaan bahan bakar nabati. Dalam kurun waktu 2015-2023, alokasi subsidi biodiesel mencapai Rp 146,56 triliun. “Totalnya 48,19 juta kiloliter dengan jumlah dana Rp 146,56 (periode 2015-2023),” ucap Eddy pada Senin, 26 Juni 2023.

Tempo berupaya meminta penjelasan dari Wilmar, Sinar Mas, dan Royal Golden Eagle ihwal alokasi subsidi yang mereka dapatkan dalam jumlah besar. Namun ketiganya belum merespons. Annisa, staf hubungan masyarakat Sinar Mas, mengatakan akan meneruskan permintaan konfirmasi Tempo ke manajemen. 

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eniya Listiani Dewi menolak menjawab ihwal korporasi raksasa yang menikmati subsidi dana sawit. Dia menyebutkan BPDPKS bertugas membayarkan selisih harga pasar berdasarkan regulasi kepada semua perusahaan. “Bukan hanya satu-dua dan izin untuk menjadi badan usaha bahan bakar nabati bisa untuk semua industri yang mengajukan,” katanya.

Eniya mengatakan pemerintah saat ini berfokus bertransformasi ke penggunaan B40. Dengan demikian, diperlukan 17,57 juta kiloliter CPO untuk memenuhinya. Adapun kapasitas produksi nasional, dia mengklaim, dapat mencapai 18 juta ton CPO. Eniya optimistis pasokan tersebut cukup digunakan untuk bertransformasi dari B35 menjadi B40. “Ke depan, industri bahan bakar nabati bukan hanya biodiesel. Green gasoline dan bioetanol juga akan digalakkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Vindry Florentin berkontribusi dalam artikel ini.

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus