Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berita Tempo Plus

Ramai-Ramai Menutup Mata

Pemerintah daerah dan pengelola Leuser menolak pembalakan liar sebagai penyebab bencana banjir bandang di Sungai Bohorok.

16 November 2003 | 00.00 WIB

Ramai-Ramai Menutup Mata
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PAK Ketel mendadak jadi orang beken di sekitar Bohorok, tak lama setelah air bah menggerus habis kawasan itu. Rupanya, sejak dua bulan lalu, berkali-kali dia memberikan peringatan kepada orang-orang sekitar bahwa akan datang banjir besar yang menerjang Bohorok. Ketel bukan ahli nujum—dan tak berniat menjadi ahli nujum. Dia cuma seorang lelaki tua berumur 60 tahun yang mencari penghidupan dari memancing. Dalam perjalanannya mencari ikan hingga ke hulu Bohorok, ia cemas: dia menemukan timbunan kayu gelondongan dalam cerukan tanah, seluas kira-kira 20 hektare. Dia berpikir, bila hujan turun cukup deras, tentu kayu-kayu itu akan hanyut dan menghantam penginapan di hilir sungai. Dan benarlah perkiraan Pak Ketel. Dua pekan lalu, banjir besar telah menghancurkan kawasan hutan wisata Bukit Lawang, di tepi aliran Sungai Bohorok, sekitar 63 kilometer dari Kota Medan. Setelah air bah itu sedikit mereda, kawasan itu—dikelola oleh Kantor Dinas Kehutanan Langkat Sub-Unit Bukit Lawang—kini ganti dibanjiri air mata penduduk yang menderita dan kehilangan segala-galanya. Kawasan Bukit Lawang terletak di bagian hilir dari Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang menghadap ke bagian Sumatera Utara. Ekosistem seluas 2,5 juta hektare ini terdiri dari bentangan hutan tropis dengan keanekaragaman hayati yang dilindungi pemerintah. Menurut perhitungan pakar sumber daya alam Beukering dan Cesar tahun 2000, jasa ekologi Leuser terhadap kawasan di sekitarnya bernilai lebih dari Rp 1,9 triliun per tahun. Di Bohorok pula terdapat satu dari dua kawasan rehabilitasi orangutan di Indonesia. Tapi dalam lima tahun terakhir kawasan itu dirambah pembalakan liar. Menurut Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Longgena Ginting, 22 persen kawasan Leuser sudah rusak parah. Di sekitar Langkat dan Bohorok kerusakannya sudah mencapai sekitar 127 ribu hektare—ini hitungan pada tahun 2001. Sebagian kehancuran ini disebabkan pembalakan liar, sebagian lain karena pembukaan areal perkebunan (lihat tabel). Apalagi ada rencana Pemda Aceh membangun jalan menembus TNGL. Salah satu jalan akan memotong hutan sepanjang Lou Pakam-Bukit Lawang. Tapi Pemda Sumatera Utara dan kelompok pengelola Leuser ramai-ramai membantah kegiatan pembalakan liar di sekitar Bohorok. Kepada TEMPO, Manajer Unit Manajemen Leuser (UML), Yarrow Robertson, membeberkan kesimpulannya. Menurut dia, semua yang terjadi di Bukit Lawang itu merupakan bencana alam. Robert mengaku, awalnya dia juga menyangka pembalakan liar yang menjadi penyebab kehancuran hutan di situ. Tapi rupanya dia lantas berubah pikiran. "Kawasan illegal logging jauh dari wilayah Bukit Lawang," ujarnya kepada TEMPO. Lokasi terdekat perkampungan para penebang liar ini, yang terdiri dari para pengungsi Aceh, berada di Sei Lepan dan Sei Sekundur, jaraknya 60-80 kilometer dari situ. Robert menganalisis, dari rekaman video yang diambilnya lewat helikopter setelah kejadian itu, banyak terdapat daerah longsoran di dalam hutan di sepanjang daerah aliran Sungai Bohorok. Longsor ini—lagi-lagi menurut Robert—dipercepat oleh jenis tanah regosol dan tebing yang kecuramannya hingga 80 derajat. Maka muncullah tumpukan kayu sampai ribuan meter kubik. Akibatnya, ketika curah hujan sedang tinggi, kayu-kayu gelondongan ikut hanyut ke hilir. Bahkan, masih ada tumpukan kayu yang cuma berjarak empat kilometer dari Bukit Lawang. Staf humas Pemda Sumatera Utara, Eddy Sofyan, menyebut curah hujan di sekitar Bohorok, pada hari terjadinya banjir bandang, mencapai 345 milimeter—angka normal adalah 240 milimeter. Lantas apa kata Gubernur Sumatera Utara Rizal Nurdin terhadap penjelasan yang hanya bertumpu pada bencana alam ini? Eh, rupanya Pak Gubernur sepakat dengan analisis Robert. Sedangkan perihal kerugian harta benda yang begitu banyak, kepala Provinsi Sumatera Utara itu juga bukan tanpa jawaban: dia menyalahkan masyarakat yang membangun rumah dan tempat pelesiran di bantaran kali. Dan inilah "solusi"-nya. "Kita akan melarang mereka membangun di daerah aliran sungai," ujar Rizal Nurdin. Di depan rombongan para menteri dari Jakarta, Rizal menjelaskan penyebab banjir adalah jebolnya waduk alam yang berukuran sekitar 6 hektare. "Jebolnya waduk membawa kayu dan balok yang sudah ditebang sekitar 1-2 tahun. Kayu itu nilainya tidak tinggi," kata Rizal. Tapi Gubernur ikut mengakui bahwa penggundulan hutan dan penebangan kayu di Kawasan Ekosistem Leuser seluas sekitar 43 ribu hektare ikut memperbesar bencana tersebut. Lembaga swadaya masyarakat Gema Lestari, yang mengaku sering memeriksa kondisi aliran Sungai Bohorok, lain pula penjelasannya. Menurut Awaluddin, staf Gema Lestari, penduduk setempat menganggap banjir itu kejadian rutin. "Sehingga mereka mengabaikannya," katanya. Apalagi semua kayu yang hanyut masih membawa akarnya—jadi bukan balok kayu yang sudah diolah di penggergajian. Adapun Sofjan Tan, Ketua Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Bukit Lawang, tak menyangkal adanya penjarahan hutan di sekitar kawasan Bukit Lawang, terutama para pengusaha kayu. Tapi dia buru-buru menambahkan, penebangan itu tak ada hubungannya dengan tragedi yang baru saja merenggut ratusan nyawa itu. Cuma Bupati Langkat Syamsul Arifin yang berani bersuara lain. Kata Syamsul, pembalakan liar adalah penyebab bencana Bohorok. Pembalakan itu, dia menambahkan, dilakukan para pengusaha hutan yang izinnya sudah kedaluwarsa. " Mereka dilindungi aparat," ujarnya. Akibatnya, para cukong leluasa bergerak menjarah isi hutan. Siapa saja pentolan penghancur hutan Leuser ini? Syamsul memang tak menyebut si perusak ataupun aparat yang membekingi kegiatan haram tersebut. Tapi di Kota Medan ada nama yang ramai disebut: AC. Dituding sebagai cukong pembalakan, AC pernah masuk dalam daftar nama penggarong isi hutan yang dikirim ke Departemen Kehutanan dan Kejaksaan Agung. Perusahaan yang menampung kayu-kayu hasil jarahan adalah PT RJ. Kenyataan ini membuat Longgena Ginting sekata dengan Syamsul. Dia tak setuju dengan sikap para pengelola ekosistem Leuser yang menuding banjir itu merupakan bencana alam. Atau pejabat pemerintah yang menyalahkan masyarakat setempat sebagai biang keladi bencana di Bohorok. Buktinya, kalangan lembaga swadaya masyarakat yang mendapat hibah jutaan dolar untuk mengola kawasan itu mengakui pula hutan Leuser sudah rusak parah karena penebangan liar dalam beberapa tahun terakhir. Rekaman video Unit Manajemen Leuser, yang cuma diambil dua jam, dianggap Ginting tidak bisa memetakan kondisi daerah aliran sungai Bohorok, yang jumlahnya ratusan. Ginting menambahkan, para pengelola Leuser, Departemen Kehutanan, serta Pemda Sumatera Utara mestinya mengakui kegagalan mereka. Juga, mesti segera membeberkan ke masyarakat siapa saja yang telah merusak hutan Leuser. Tapi, menurut Ginting, Pemda dan pengelola Leuser tak mau dianggap gagal sehingga enggan membahas kerusakan ekosistem itu. Ginting menyodorkan data, ada enam kawasan hutan wisata lain di Indonesia yang hancur gara-gara banjir bandang. Setelah diperiksa, ternyata semua hutan itu bagian hulunya rusak karena pembalakan liar. Joni Sitompul dari Walhi Sumatera Utara meragukan cara UML menarik kesimpulan. "Mereka hanya memotret tepi Sungai Bohorok, tapi belum melakukan investigasi darat," ujar Joni. Dia mengatakan, bila penebangan liar itu tak terlalu luas, tak akan bisa terlihat dari udara. Hutan yang luasnya ratusan ribu hektare memang sulit diperiksa dalam waktu dua jam saja. Apalagi, ketika UML bertemu dengan koalisi LSM di Medan, Selasa pekan lalu, hasil citra satelit Landsat tahun 2002 yang dibawa Robert memperlihatkan beberapa spot tutupan hutan muda. Artinya, kayu-kayu di spot itu telah ditebangi, dan kawasan itu sekarang tinggal perdu, semak belukar, atau bisa juga padang yang rentan longsor saat hujan. I.G.G. Maha Adi (Jakarta), Bambang Soedjiartono (Bukit Lawang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus