DUA ekor anak orangutan (Pongo pygmaeus) mendeplok di tanah. Bulu gimbalnya sedikit basah dan bersaput lumpur cokelat, persis dengan warna bulunya. Setiap ada yang datang, mata keduanya mendelik, lalu tanpa ragu mereka menghampiri, mengejar, bahkan dengan nakal menarik-narik pakaian ataupun tas. Di sekeliling mereka hanya kehancuran yang terlihat berserak. Ada orang-orang dengan seragam yang sibuk mengais-ngais reruntuhan bangunan. Anjing-anjing pelacak yang tiada henti mengendus tiap tumpukan kayu gelondongan. Dengung gergaji mesin yang memotong-motong batang kayu. Suara bising orang-orang yang menangis, berharap agar bisa menjumpai sanak kerabat di balik tumpukan lumpur dan batu.
Suasana duka memang sedang menyelimuti Bukit Lawang di Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Tempat wisata yang sehari-harinya penuh tawa wisatawan berubah manakala banjir bandang datang menerjang awal pekan lalu. Sungai Bohorok meluapkan amarah air bahnya, menjadikan sungai favorit untuk berarung jeram itu sebagai kuburan massal.
Hingga akhir pekan lalu, banjir telah merenggut 117 nyawa manusia, menyisakan ratusan rumah yang porak-poranda, plus puluhan tempat penginapan yang hilang disapu air. Banjir menghantam pula pusat rehabilitasi orangutan Bukit Lawang. Begitu kuatnya arus air, alur Sungai Bohorok juga mengalami perpindahan sejauh 50 meter. Alur sungai yang dulu pernah diluruskan pada tikungan hampir 90 derajat di ujung perkampungan wisata Bukit Lawang kembali ke bentuk semula. Sedangkan tujuh jembatan gantung yang menghubungkan Bukit Lawang dengan kawasan penginapan di seberangnya hilang tertelan pusaran air.
Bencana datang tiba-tiba. Malam itu sebagian warga Bukit Lawang tengah bertadarus usai salat tarawih di Masjid Bustanul Mukminin. Seiring dengan bergeraknya malam yang diiringi lantunan ayat-ayat suci Al-Quran, sungai yang membelah kampung makin meluap. Lalu terdengar bunyi bergemuruh, bersama dengan batu, lumpur, dan kayu gelondongan datang menghantam, melindas apa pun yang dilewatinya. Semua berlangsung singkat—hanya 20 menit—lalu suara qariah yang merdu berubah menjadi tangis serta jerit ketakutan. Ratusan korban selamat mengalir menjadi pengungsi yang menyesaki Masjid Bustanul Mukminin.
Seperti biasa, usai bencana, ucapan simpati mengalir laksana air bah. Departemen Sosial menyiapkan dana segar Rp 300 juta, sementara Kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat menyediakan anggaran Rp 1 miliar. Tak kurang dari Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri yang menyampaikan rasa duka, begitu pula Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kofi Annan. Banjir itu memang mengundang perhatian dunia internasional. Sebab, selain jumlah korban yang besar, segera sesudahnya illegal logging, penebangan liar, dituding sebagai biang rusaknya hutan di hulu Bohorok.
Secara geografis, Bukit Lawang terletak di kaki Pegunungan Bukit Barisan. Kawasan seluas 42 ribu hektare itu dihuni oleh 300 kepala keluarga. Sungai Bohorok membelah Bukit Lawang dan kepalanya berada di Gunung Leuser. Menurut Manajer Proyek Unit Manajemen Leuser (UML), Dr. Yarrow Robertson, di hulu sungai terdapat tiga kawasan longsoran. Tanah di wilayah ini berjenis regosol, yang memang labil dan gampang terkena erosi. Daerah longsoran utama menyimpan kayu yang kemudian pindah ke daerah longsoran sedang. Kayu-kayu dan tanah yang longsor itu jatuh ke Sungai Bohorok sehingga membentuk semacam laguna alam seluas 20 hektare berisi gelondongan kayu yang letaknya sekitar 4 kilometer di atas Bukit Lawang.
Di daerah longsoran sedang itulah volume air bertambah akibat naiknya curah hujan. Dua hari sebelum banjir, Badan Meteorologi dan Geofisika Medan sudah memperingatkan kondisi ini seraya menyebut curah hujan naik 50 hingga 100 milimeter. Akibatnya, bendungan alam pun jebol, banjir tak dapat dicegah. "Ini musibah alam murni," ujar Yarrow.
Pendapat itu justru bertabrakan dengan apa yang diungkap Bupati Langkat, Syamsul Arifin. Menurut Syamsul, banjir terjadi akibat kerusakan hutan di kawasan konservasi. Ia menyebut, sejak 1985 hingga 2003 rata-rata laju degradasi hutan di wilayah ini mencapai 7 persen tiap tahunnya.
Syamsul menuding perambahan hutan yang tak terkendali di Taman Nasional Gunung Leuser sebagai penyebab kerusakan itu, bukan longsor seperti kata Yarrow. "Pelakunya para mafia kayu atas perintah cukong berdompet tebal yang dibeking orang-orang tertentu," ujar Syamsul geram. Akibatnya, menurut Syamsul, sedikitnya 42 ribu hektare kawasan di hutan lindung rusak berat.
Praktek penebangan liar itu beberapa kali dipergoki penduduk. Seorang korban bencana yang tergolek di Rumah Sakit Umum Dr. R.M. Djolham, Binjai, menuturkan ia kerap bertemu dengan sejumlah orang yang keluar-masuk hutan dengan membawa peralatan mesin buat menebang pohon. Tapi korban ini menjelaskan bahwa warga Bukit Lawang tak berani mencegah karena orang-orang itu "punya beking kuat".
Penebangan liar pula yang dituduh Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim sebagai penyebab rusaknya hutan di Bohorok. Saking kesalnya, Nabiel meminta agar praktek itu dikategorikan sebagai tindak kejahatan terorisme. "Membuat banjir sama dengan meledakkan bom, korbannya bisa siapa saja," katanya.
Selain menuding penebangan liar, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Longgena Ginting, menyebut alih fungsi lahan hutan menjadi vila dan proyek jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka) ikut punya peranan besar dalam membuat banjir di Bohorok. "Salah satu ruas jalan Ladia Galaska memotong daerah tangkapan air Sungai Bohorok," katanya. Proyek ini diperkirakan akan merusak Kawasan Ekosistem Leuser, suatu kawasan seluas 2,6 juta hektare di dalam Taman Nasional Gunung Leuser.
Padahal, dari sisi keragaman hayati, Kawasan Ekosistem Leuser amat kaya dan, menurut Mike Griffith dari Unit Manajemen Leuser, hanya bisa ditandingi Taman Nasional Lorentz di Papua. Proyek Ladia Galaska akan mengancam keutuhan Kawasan Ekosistem Leuser. Akibatnya, fungsi ekologinya tak lagi bisa dipertahankan, ancaman banjir dan longsor setiap saat akan membayangi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara.
Hal itu membuat Menteri Permukiman dan Prasana Wilayah Soenarno sebagai sponsor utama proyek Ladia Galaska tersentak. Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Panglima Darurat Militer Aceh, Gubernur Sumatera Utara, dan pengurus Walhi, ia berencana menelusuri jalur Ladia Galaska akhir pekan lalu. Agaknya Soenarno penasaran dan ingin membuktikan sendiri apakah jalan itu yang menjadi salah satu faktor penyebab kerusakan hutan yang menimbulkan banjir Bohorok.
Hingga saat ini, menurut Soenarno, belum ada pemikiran untuk menghentikan proyek tersebut secara keseluruhan. Yang paling realistis, katanya, adalah menutup sebagian ruas jalan yang memang terbukti menjadi penyebab kerusakan kawasan konservasi.
Nabiel sendiri berkali-kali menyebut ada banyak aturan lingkungan yang diterabas kalau proyek itu tetap diteruskan. Ia menilai, biarpun Ladia Galaska bukan penyebab langsung banjir bandang di Bohorok, keberadaan proyek itu amat mungkin disalahgunakan untuk mempermudah kegiatan penebangan liar. "Keputusan yang akan diambil tergantung hasil survei," kata Nabiel.
Sementara itu, di Bukit Lawang, Pitri, seekor orangutan, melangkah cepat-cepat. Wortel pemberian seorang wartawan yang datang seketika dikunyahnya. Ini makanan istimewa setelah beberapa hari perutnya hanya terisi dedaunan bersaput lumpur ala kadarnya. Nun di Masjid Bustanul Mukminin, usai menangis kehilangan sanak saudara, ratusan orang yang selamat kini pening membayangkan masa depan yang keruh seperti warna air bah.
Agus Hidayat, Nurdin Kalim, dan Bambang Soed (Bohorok), Dinda Joehana (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini