Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan
Korporasi Di Kawasan Konservasi

Berita Tempo Plus

Jika Kawasan Konservasi Dibuka untuk Bisnis Restorasi

Pemerintah susun aturan restorasi kawasan konservasi oleh swasta, organisasi nonpemerintah, atau masyarakat. Bisa bisnis karbon.

2 Maret 2025 | 08.30 WIB

Petugas memadamkan api yang berkobar di Taman Nasional Way Kambas di Lamung Timur. Foto/waykambas.restorasi.earth
Perbesar
Petugas memadamkan api yang berkobar di Taman Nasional Way Kambas di Lamung Timur. Foto/waykambas.restorasi.earth

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pemerintah bakal membuka kawasan konservasi untuk bisnis restorasi.

  • Kementerian Kehutanan pernah bekerja sama dengan Yayasan Auriga Nusantara menghutankan kembali padang ilalang di Taman Nasional Way Kambas.

  • Perusahaan harus menanam kayu spesies endemis dan bisa memperdagangkan karbon.

TERPERENYAK Arum Mutazim ketika mendapati hutan yang dia tanami dan rawat selama satu dekade di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, tiba-tiba ludes terbakar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Luas hutan yang ditanami kembali oleh penanggung jawab resor dari Yayasan Auriga Nusantara itu memang hanya 5 hektare, tapi berada di pusat zona yang paling rimbun di Blok 2 Rawa Kadut seluas 1.250 hektare. “Saya menduga kebakaran itu disengaja oleh para pemburu rusa,” kata Arum pada Kamis, 27 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dugaan Arum itu didasari temuan bekas bakaran api yang hanya melahap rerimbun pohon. Dia mengungkapkan, mustahil kebakaran dapat muncul di tengah pohon yang rindang saat musim hujan.

Justru kebakaran biasanya terjadi di padang ilalang, area taman nasional yang belum direstorasi. Arum mencurigai ini perbuatan pemburu karena mereka sering kali menggunakan cara tersebut untuk menjebak satwa.

Pembakaran luput dari pantauan Arum semenjak perjanjian kerja sama restorasi hutan tak diperpanjang Kementerian Kehutanan—dulu bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—pada 2023. Pria 44 tahun itu tidak tahu alasannya. Yang jelas, dia dan timnya yang biasanya menanam pohon sekaligus berjaga di dalam taman nasional disuruh hengkang.

Kegiatan restorasi hutan Auriga dimulai pada 2013 bersama konsorsium Aliansi Lestari Rimba Terpadu atau AleRT. Kegiatan itu bermula dari niat menyediakan tanaman pangan bagi satwa liar dan menghijaukan kawasan konservasi yang gundul. Aktivitas mereka lalu meluas menjadi gerakan pencegahan kebakaran hutan yang acap melanda wilayah itu.

Seekor gajah berada di tengah Taman Nasional Way Kambas di Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur. kemenparekraf.go.id

Di Rawa Kadut, Auriga memiliki empat blok tanam. Organisasi lingkungan hidup tersebut membangun wilayah persemaian, menyiapkan tanah, dan menanaminya dengan beragam pohon, seperti mentru, sungkai, laban, jambon air, sempu, gaharu, dan sejumlah tanaman endemis.

Meski kawasan itu tak seberapa luas dibanding bentangan Taman Nasional Way Kambas yang mencapai 130 ribu hektare, Auriga dianggap berhasil menghubungkan koridor satwa-satwa dilindungi.

Selepas restorasi Auriga berakhir, belakangan Arum mendengar mereka akan digantikan pihak lain. Sejawatnya di Balai Taman Nasional Way Kambas bercerita, Kementerian Kehutanan akan menyiapkan korporasi bakal akan melakukan penghijauan hutan. “Katanya akan ada yang masuk untuk restorasi ekosistem, sekitar 7 kilometer dari sisi Rawa Kadut,” ujar Arum.

Cerita yang didengar Arum ternyata diamini Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan Satyawan Pudyatmoko. Dia mengatakan wilayah Taman Nasional Way Kambas akan dicanangkan sebagai salah satu percontohan area konsesi untuk restorasi ekosistem. “Misalnya di Taman Nasional Way Kambas kan ada 40-50 ribu hektare yang terbakar setiap tahun. Kalau dipulihkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara butuh berapa banyak dananya?” ucap Satyawan pada Jumat, 14 Februari 2025.

Karena pertimbangan tersebut, pemerintah membuka peluang investor membantu pemulihan taman nasional. Skemanya dapat berupa kerja sama dalam jangka panjang atau pemberian izin dengan konsep saling menguntungkan. Namun usulan yang paling realistis adalah pemberian konsesi restorasi hutan selama 30 tahun untuk menjamin ekosistem pulih.

Ketua Umum Indonesia Carbon Trade Association (ICTA) Riza Suarga. carbonmarketinstitute.org

Gagasan pemberian konsesi kepada pihak swasta muncul saat Kementerian Kehutanan menghadapi efisiensi anggaran yang mencapai Rp 1,21 triliun pada 2025. Sebagian besar alokasi yang dipangkas berasal dari Direktorat Jenderal KSDAE untuk urusan konservasi. Kenyataan ini yang membuat Satyawan membuka peluang bagi badan usaha, organisasi nonpemerintah, dan masyarakat untuk berdagang karbon dengan skema restorasi ekosistem.

Sebagai pemegang izin, perusahaan wajib memenuhi sejumlah syarat krusial, terutama menanam kayu dari spesies endemis. Keuntungan yang diperoleh korporasi adalah dapat memperdagangkan karbon dengan catatan tidak mengganggu target capaian penurunan emisi nasional. Mereka juga diusulkan melibatkan masyarakat sekitar, misalnya dengan cara pemanfaatan hasil hutan nonkayu dan pemberdayaan untuk persemaian tanaman.

Tak hanya dilakukan di Taman Nasional Way Kambas, cara ini juga akan diterapkan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang meliputi sebagian wilayah Gorontalo dan Sulawesi Utara. Di sana sudah lebih dulu ada pihak yang bersedia mengelola 7.000 hektare hutan untuk program restorasi ekosistem.

Peluang yang sama turut dibuka di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, yang menghadapi deforestasi. “Kan, peta sudah ada. Jadi kami mulai menjajaki komunikasi dengan berbagai pihak. Namun kami tidak langsung membuka semua taman nasional,” tutur Satyawan.

Detail mekanisme restorasi, Satyawan menambahkan, sedang dirumuskan oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan. Gambarannya, nanti akan lahir aturan turunan yang dibuat menteri yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam regulasi itu, nantinya pemulihan konservasi dapat menggunakan sumber-sumber pendanaan lain yang diperoleh secara sah.

Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas M.H.D. Zaidi mengaku belum mendapat arahan ihwal rencana pemerintah membuka keran konsesi restorasi ekosistem di wilayahnya. Dia menganjurkan Tempo menanyakan skenario pemberian izin kepada Satyawan. “Kami belum ada arahan. Kita tunggu saja kebijakan Kementerian,” kata Zaidi ketika dimintai konfirmasi pada Kamis, 27 Februari 2025.

Ketua Yayasan Auriga Nusantara Timer Manurung menyatakan kesiapan institusinya bila diminta pemerintah memperluas area konsesi pemulihan hutan seluas 40-50 ribu hektare di Taman Nasional Way Kambas. Namun tujuan utama mereka bukan bisnis perdagangan karbon. “Target kami menghutankan kembali Taman Nasional Way Kambas dengan melibatkan masyarakat untuk membangun ekowisata sekaligus tempat riset pemulihan spesies,” ucap Timer.

Dia mengungkapkan, hasil-hasil kegiatan restorasi mereka nanti dapat diklaim pemerintah untuk memenuhi target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional atau NDC. Untuk saat ini, dia tengah menunggu skema yang disiapkan pemerintah. Timer tak ada masalah bila nanti perikatan dibuat menggunakan cara pemberian konsesi restorasi ekosistem. Dia berharap cara itu dapat menyelamatkan hutan kritis yang berupa padang ilalang.

•••

WACANA pemberian konsesi restorasi ekosistem di kawasan konservasi mulai diperbincangkan di kalangan pelaku bisnis perdagangan karbon. Ketua Umum Indonesia Carbon Trade Association Riza Suarga mulanya mendengarnya dari hasil diskusi dengan petinggi di Kementerian Kehutanan. “Sebetulnya itu langkah paling bagus bila berkaca pada Afrika yang menyerahkan pengelolaan taman safari mereka kepada swasta,” kata Riza pada Rabu, 19 Februari 2025.

Riza menganjurkan pemerintah memperjelas aturan main bisnis stok karbon di kawasan konservasi. Misalnya pemerintah dapat menggunakan skema perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) seperti di kawasan hutan dengan durasi 60-90 tahun atau merujuk pada metode ekosistem hutan yang butuh minimal 30 tahun untuk pulih. Penentuan jangka waktu ini penting bagi pelaku industri karbon dalam menghitung keuntungan.

Potensi laba bisnis karbon di kawasan konservasi sangat tinggi, apalagi jika perusahaan berhasil memulihkan taman nasional yang telah rusak. Keuntungan itu diukur dari tingkat ancaman yang dihadapi tiap kawasan konservasi. Taman Nasional Tesso Nilo, misalnya, bakal berpeluang mendatangkan cuan karena hampir separuh wilayah itu mengalami deforestasi akibat alih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Namun terdapat hal yang paling penting bagi pelaku usaha, yakni kepastian hukum. Riza tak ingin pengalaman pengelolaan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di masa pemerintahan sebelumnya terulang.

Ketika itu asosiasi berhasil memboyong beberapa negara yang berpeluang menjadi market dalam pasar sukarela. Namun penjajakan itu gagal ketika pemerintah tiba-tiba memberlakukan moratorium perdagangan karbon pada 2021 dengan dalih mengganggu target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional.

Belakangan, Riza mendengar kabar menggembirakan ihwal peluang kembali dibukanya pasar karbon. Beberapa negara yang berminat menjadi pembeli bahkan mengajak berkomunikasi dengannya. Namun Riza menganjurkan mereka berdiskusi dengan Kementerian Kehutanan untuk memastikan regulasi.

Dia menganjurkan pemerintah tak ragu segera membuka pasar karbon. Riza menjelaskan, pemerintah dapat membentuk badan karbon yang bertugas menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk membangun negosiasi dengan pihak swasta.

Targetnya adalah para perusahaan minyak raksasa global yang potensial menjadi calon pembeli. Jika tidak, pemerintah disarankan menggunakan asosiasi atau tangan ketiga agar bisa menjembatani kepentingan pasar.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyebutkan pemerintah memang sedang menyiapkan regulasi perdagangan karbon untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan lain (FOLU).

Aturan baru nanti akan merinci pemanfaatan kawasan hutan untuk peningkatan nilai ekonomi. “Terutama bagi masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan,” tutur Antoni pada Kamis, 23 Januari 2025.

Seorang sumber Tempo yang mengetahui persiapan Kementerian Kehutanan mengatakan pasar karbon ditargetkan diluncurkan pada Mei-Juni mendatang. Pemerintah sempat mengumpulkan puluhan korporasi pemegang PBPH restorasi ekosistem untuk persiapan. “Target awalnya ada delapan perusahaan yang siap launching dalam tiga bulan ke depan dan sudah harus melakukan mutual recognition arrangement (MRA),” ujar sumber itu.

Mekanisme MRA yang dia maksud adalah kerja sama untuk saling mengakui. Tujuannya adalah meningkatkan kepercayaan dari hasil akreditasi, peningkatan volume, dan pemfasilitasan kerja sama karbon internasional.

Kerja sama juga perlu dilakukan dengan lembaga-lembaga sertifikasi internasional, seperti Verified Carbon Standard atau Verra, Gold Standar Impact Registry, dan Plan Vivo.

Saat ini pemerintah tengah mendata perusahaan-perusahaan yang telah berproses mengurus akreditasi di lembaga sertifikasi internasional. Mereka mulai menghitung potensi stok karbon yang dihasilkan di tiap area konsesi.

Proyek-proyek itu masih berada di kawasan hutan, belum menjamah kawasan konservasi. “Ambisi pemerintah dapat menghasilkan penjualan Rp 19 triliun per tiga bulan,” tutur sumber yang sama.

Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Ary Sudijanto tak menampik kabar bahwa saat ini pihaknya berupaya mengenalkan pasar karbon ke luar negeri melalui mekanisme MRA. Hal ini perlu dilakukan karena pasar karbon dalam negeri masih terbatas. “Nanti carbon developer mendaftar ke Sistem Registri Nasional dan menggunakan skema internasional yang sudah ada,” ucap Ary.


•••

UPAYA pemerintah dalam menyelamatkan kawasan konservasi melalui perdagangan karbon seolah-olah jalan yang mulia. Padahal, dalam banyak kasus, pemberian konsesi justru memicu monopoli tata kelola hutan oleh korporasi. “Pemberian konsesi restorasi di taman nasional justru berpotensi melanggar amanat Undang-Undang Konservasi yang semestinya menjadi tanggung jawab negara,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Iqbal Damanik.

Iqbal justru melihat gejala pemerintah berupaya melepaskan tanggung jawab pemulihan kawasan konservasi dengan mengalihkannya kepada perusahaan. Dia mencontohkan pembiaran perambahan hutan yang memicu deforestasi di Taman Nasional Tesso Nilo seluas 59.938 hektare selama dua dekade. Bentangannya mencapai 73,28 persen dari total luas Taman Nasional Tesso Nilo 81.793 hektare—membuat wajah taman nasional itu nyaris seperti hamparan kebun sawit.

Iqbal sudah bisa membayangkan konflik akan meletup bila Taman Nasional Tesso Nilo dibebani izin restorasi untuk korporasi. Sebab, di sana telah bercokol para cukong yang bekerja sama dengan masyarakat membangun perkebunan sawit secara ilegal dan tak tersentuh hukum. Ujung-ujungnya, hal ini bakal mengorbankan masyarakat adat sekaligus spesies penting yang semestinya dilindungi.

Petugas menunggangi gajah di Taman Nasional Tesso Nilo, di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Foto/wikipedia.org

Pengalaman konflik itu dihadapi oleh ketua tim kuasa hukum Yayasan Riau Madani, Surya Darma, ketika menggugat pemerintah atas penyerobotan kawasan hutan oleh korporasi kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo.

Pada 22 Maret 2024, Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru telah menetapkan eksekusi yang menginstruksikan pemerintah membatalkan izin-izin di area 1.200 hektare taman nasional. Masalahnya, pemerintah tak kunjung menjalankan perintah pengadilan tersebut.

“Sebenarnya sudah bertahun-tahun kami dalami soal penanaman sawit di kawasan taman nasional ini,” ujar Surya pada Selasa, 25 Februari 2025. Yayasan Riau Madani menyelidiki kasus perambahan sejak 2020 ketika mendapat informasi dari sejawatnya di Dinas Kehutanan. Benar saja, di sana ternyata telah bercokol hak guna usaha yang telah diterbitkan.

Surya merasa perlu melayangkan gugatan karena Taman Nasional Tesso Nilo satu-satunya rumah bagi habitat gajah sumatera di Riau. Tentu bakal mengancam satwa bila kondisi kawasan konservasi makin rusak. Perkiraan Surya, hutan alam yang tersisa hanya 30 persen. “Pelaku perambahannya masyarakat dan perusahaan.”

Tempo berupaya meminta penjelasan Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo Heru Sutmantoro tiga pekan belakangan. Namun pesan pendek dan panggilan ke nomor telepon selulernya tak kunjung direspons.

Heru sebelumnya jarang berbicara tentang deforestasi. Ia sekadar mengumumkan gajah-gajah sumatera yang satu per satu ditemukan mati. Temuan memprihatinkan didapati pada 10 Januari 2024 saat gajah jinak diculik lalu ditemukan mati tanpa gading. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Penswastaan Pemulihan Kawasan Konservasi

Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus