Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah akan membuka konsesi bisnis restorasi di kawasan konservasi yang terdegradasi.
Kawasan konservasi tak ubahnya hutan produksi ketika diskresi kebijakan bisnis restorasi ekosistem.
Akal-akal mengubah status kawasan konservasi tanpa perlu persetujuan publik.
RENCANA Kementerian Kehutanan memberi izin pemanfaatan kawasan konservasi bagi dunia usaha makin menegaskan arah kebijakan lingkungan yang keliru. Kepentingan bisnis dan keuntungan ekonomi tampak lebih menonjol ketimbang komitmen nyata terhadap pemulihan hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan tengah menyusun rencana peraturan menteri tentang pemulihan kawasan konservasi. Skema pemulihan yang diusulkan mencakup pemberian izin konsesi restorasi hutan selama 30 tahun atau lebih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kehutanan mengklaim skema ini sebagai solusi saling menguntungkan antara pemerintah dan pengusaha. Keuntungan bagi pemerintah, kawasan konservasi seperti taman nasional dan suaka margasatwa yang rusak akan dipulihkan oleh pemegang izin. Sementara pemegang konsesi memperoleh keuntungan berupa kredit karbon—hak untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon—yang dapat diperdagangkan.
Mekanisme perdagangan karbon memungkinkan perusahaan membeli izin untuk mengeluarkan emisi sebagai kompensasi atas program pengurangan karbon di tempat lain. Kredit karbon seharusnya mencerminkan pengurangan emisi yang nyata. Namun, dalam banyak kasus, kredit karbon hanya menjadi alat kompensasi tanpa benar-benar menekan polusi. Perusahaan besar, alih-alih mengurangi emisi mereka sendiri, cukup membeli kredit karbon untuk menciptakan ilusi keberlanjutan.
Rencana pemerintah itu bertolak belakang dengan prinsip pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini diproteksi dari kepentingan bisnis. Memberikan hak mengelola kawasan konservasi kepada swasta sama saja menjadikan hutan konservasi seperti hutan produksi, yang lebih dulu memakai diskresi Menteri Kehutanan dalam bisnis restorasi ekosistem.
Dengan begitu, skema baru ini semacam jalan pintas mengubah status konservasi menjadi hutan produksi yang biasanya memakai persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan statusnya sebagai kawasan konservasi, pengusaha pemegang izin restorasi itu mendapatkan proteksi dari negara, tak seperti pengusaha restorasi di kawasan hutan produksi.
Karena itu, skema konsesi kawasan konservasi ini mudah tergelincir menjadi penyalahgunaan dan kepentingan tersembunyi. Pengusaha besar dan kroni kekuasaan akan dengan senang hati mengambil peluang ini karena pemulihan hutan yang mereka lakukan akan jauh lebih murah dibanding hutan produksi, namun dengan nilai karbon lebih mahal.
Dengan potensi keuntungan bisnis perdagangan karbon yang besar, ini tidak mengherankan bila sejumlah perusahaan telah menyatakan kesiapan mereka untuk merestorasi kawasan konservasi. Cara pemerintah merespons minat besar itu tampaknya tergesa-gesa tanpa menimbang prinsip pengelolaan hutan yang lestari.
Pemulihan kawasan konservasi seharusnya tidak diperdagangkan kepada swasta demi keuntungan ekonomi. Sebagaimana namanya, kawasan konservasi adalah benteng terakhir manusia melindungi bumi dari ancaman pemanasan global. Jika semua hutan dialokasikan untuk produksi, negara tak punya kontrol pada perlindungannya.
Kementerian Kehutanan harus mengkaji ulang rencana membuka konsesi di kawasan konservasi. Lain cerita bila pemerintah memang sengaja melakukan praktik greenwashing—membuat klaim menyesatkan suatu kebijakan ramah lingkungan, padahal dampaknya merugikan ekosistem. ●